Kamis, 28 November 2013

PEMILU 2014: Berantas Calo Suara

JAKARTA (Suara Karya): Peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) R Siti Zuhro menilai pembangunan institusi partai politik yang rendah memberi ruang gerak calo suara pada pemilihan umum di Tanah Air.
"Ini harus diberantas. Mengapa jasa calo suara muncul? Mengapa calon-calon anggota legislatif menggunakan jasa calo suara tersebut? Hal ini tak lepas dari rendahnya pembangunan institusi partai politik (parpol), ketidakmampuannya dalam mengeliminasi kecenderungan karakter mental menerobos," katanya di Jakarta, Rabu (27/11). Padahal, tutur pakar yang akrab disapa Wiwieq ini, mental itulah yang menyuburkan politikus-politikus karbitan dan para anggota dewan level pemula.
Asumsi bahwa suara rakyat miskin bisa dibeli dalam pemilu, menurut pengamat politik dari LIPI itu, membuat para politikus, khususnya yang malas dan hanya mengandalkan tenar dan atau yang punya uang senang menempuh cara tersebut. "Idealnya institusi parpol membangun kualitas sistem pengkaderan untuk menghasilkan kader-kader dan politikus-politikus yang andal yang bisa disiapkan sebagai calon pemimpin unggulan," kata Prof Wiwieq.
Namun, lanjut alumnus Curtin University, Perth, Australia itu, realitasnya parpol senantiasa dihadapkan pada ketidak cukupan waktu dalam merekrut dan mempersiapkan kader.
Parpol, menurut Wiwieq, bahkan lebih tertarik mengurus hal-hal yang terkait langsung dengan kepentingan dan kekuasaan, seperti pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik tingkat provinsi maupun kota/kabupaten, yang total lebih dari 1.000 pilkada.
Siti Zuhro juga menyatakan bahwa Indonesia perlu menata ulang sistem pemilu. "Perlu tata ulang Pemilu dengan cara membuat Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal," ujar Siti.
Dia menjelaskan, bahwa untuk pemilu nasional, baik pemilu presiden mau pun pemilu legislatif, dapat dilakukan secara bersamaan, selain efisien dia menilai pemilu yang diadakan secara bersamaan ini masih memiliki nuansa Presidensial. Selain itu, pemilu nasional yang diadakan serentak juga mampu merealisasikan perampingan partai sehingga politik transaksional juga dapat dicegah.
Siti mengatakan, bila Pemilu Legislatif diselenggarakan lebih dulu, maka risiko politik transaksional akan semakin besar karena partai politik akan sibuk untuk membentuk koalisi. "Sementara koalisi yang dibentuk itu sumbu pendek, berdasarkan pragmatis, oportunistis, dan transaksional, lantas yang terjadi kemudian adalah bagi-bagi kekuasaan," katanya.
Siti juga mengungkapkan, bila politik transaksional masih terjadi pada Pemilu 2014, maka upaya untuk membuat reformasi birokrasi Indonesia tidak akan terwujud.

Siti kemudian menambahkan bahwa salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menata ulang Pemilu adalah dengan perampingan partai. "Siapa pun bisa mendirikan partai tapi belum tentu bisa ikut Pemilu," kata Siti. (Kartoyo DS/Ant/Feber S)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar