Rabu, 15 Juli 2009

Quo Vadis Golkar Pascapilpres?


R Siti Zuhro
Peneliti Utama LIPI



Dewi fortuna kembali tak berpihak ke Golkar. Setelah kalah dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2009, Golkar kembali harus menelan pil pahit dengan tumbangnya pasangan capres-cawapres HM Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Wiranto). Berdasarkan hasil quick count, perolehan suara mereka sekitar 11,87%-13,89%. Ini berada di bawah perolehan suara Golkar dalam pileg lalu (14,50%). Pertanyaannya, quo vadis Golkar pasca-Pilpres 2009?

Kekalahan JK dalam pilpres disebabkan beberapa hal. Persoalannya bukan sekadar tingkat elektabilitasnya yang dinilai rendah, melainkan juga karena secara internal proses pemilihannya dinilai kurang demokratis dan kurang mendapat dukungan yang signifikan, baik di tataran elite maupun akar rumput. Secara internal, soliditas kader dan elite Partai Golkar cenderung melemah.

Kurang solidnya dukungan Golkar merupakan indikasi penting bahwa ada friksi atau faksi-faksi di tubuh Golkar. Pertama, kelompok yang menginginkan Golkar tetap berkoalisi dengan Partai Demokrat. Kedua, kelompok yang menginginkan agar Golkar independen dan mencalonkan capresnya sendiri. Ketiga, kelompok yang menginginkan Golkar berkoalisi dengan PDIP.

Saat ini ketiga kelompok tersebut tidak hanya sangat berpengaruh, tapi juga akan menentukan nasib Golkar ke depan. Beberapa elite Golkar, seperti Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Akbar Tandjung, Muladi, Jusuf Kalla, dan Surya Paloh, sangat berpengaruh dan memegang peran penting dalam meredam gejolak politik di Golkar.

Jangan sampai gejolak yang ada saat ini menjadikan Golkar berada di persimpangan jalan. Di tengah-tengah kegamangan menghadapi situasi pascapilpres sekarang ini, tarikan untuk mendekati Demokrat semakin menguat, terutama bagi elite Golkar yang sejak awal menginginkan berkoalisi dengan Demokrat.

Partai Golkar perlu mengambil keputusan yang paling tepat. Golkar harus cermat memilih: apakah akan bersama pemerintah atau di luar pemerintah. Keputusan Golkar kali ini akan mengukir sejarah partai ini ke depan, apakah tradisi asli Golkar yang lekat dengan kekuasaan akan menjadikan partai ini besar atau malah mengerdilkannya.

Pertanyaan lain, apakah membangun oposisi dengan PDIP, Gerindra, dan Hanura merupakan pilihan yang lebih elegan? Lebih-lebih bila hal tersebut dimaksudkan untuk membangun check and balances dalam konteks sistem presidensial.

Tantangan terbesar bagi Golkar saat ini adalah bagaimana citra elegan tetap bisa dihadirkan dengan menjadi elemen politik yang positif dalam membangun tradisi demokrasi dan menjauhkan diri dari kesan pragmatis dan oportunis.

Namun, kecenderungannya jelas Golkar lebih menyukai merapat ke Demokrat ketimbang berada di luar pemerintah. Jika itu yang terjadi, Golkar akan stagnan. Golkar kembali gagal menyumbangkan tradisi politik yang positif bagi kehidupan demokrasi Indonesia, tidak siap menjadi "oposisi".***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar