Jumat, 22 Oktober 2010

Usulan Golkar Takkan Bunuh Hak Berdemokrasi

PARLIAMENTARY THRESHOLD
Usulan Golkar Takkan
Bunuh Hak Berdemokrasi
>

Siti Zuhro, Peneliti LIPI.

Jumat, 22 Oktober 2010

JAKARTA (Suara Karya): Usulan Partai Golkar agar ambang batas keterwakilan partai politik di parlemen (parliamentary threshold) pada Pemilu 2014 dinaikkan patut didukung untuk menciptakan penyederhanaan jumlah partai politik di parlemen. Usulan Partai Golkar ini juga tidak akan membunuh hak konstitusional berdemokrasi.
Demikian pendapat peneliti LIPI Siti Zuhro dan anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR Taufiq Hidayat secara terpisah di Jakarta, Kamis (21/10). Dalam pernyataan politik sebagai hasil Rapimnas I/2010, Selasa lalu, Partai Golkar mengusulkan peningkatan parliamentary threshold menjadi 5 persen. Usulan tersebut dimaksudkan untuk menyederhanakan sistem kepartaian dalam rangka memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
Siti menilai, wacana peningkatan parliamentary threshold sejalan dengan reformasi partai politik. Bahkan, itu dapat berdampak signifikan terhadap penegakan sistem presidensial yang berlaku di Indonesia.
Siti menuturkan, demokrasi dengan multipartai saat ini hanya menyebabkan kekacauan sistem presidensial. Dia beranggapan, sistem multipartai yang berlaku saat ini tidak memberikan manfaat besar terhadap pemerintah. "Jika melihat pengalaman, pemilu lalu yang menghasilkan banyak partai ternyata tidak berpengaruh positif terhadap aktivitas maupun peningkatan kinerja pemerintahan," katanya.
Siti tidak memungkiri, wacana peningkatan parliamentary threshold ini akan menimbulkan perdebatan terutama dari kalangan partai politik menengah dan kecil.
Karena itulah, dia meminta pemerintah bersama DPR menyosialisasikan masalah tersebut sebagai upaya pembelajaran masyarakat. "Kita tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti terjadi saat Pemilu 2009. Sebab, banyaknya partai politik ternyata hanya menimbulkan kegaduhan dan tidak berkontribusi positif terhadap demokrasi," katanya.
Siti menilai, sistem multipartai juga dikhawatirkan makin membebani anggaran negara sebagai konsekuensi pendirian partai politik. "Dari Pemilu 1999 maupun Pemilu 2009, banyak partai politik yang timbul tenggelam. Yang terjadi, mereka hanya ganti-ganti nama, sementara orang-orangnya itu-itu juga," ujarnya.
Menurut Siti, pembelajaran terhadap masyarakat mengenai arti demokrasi harus dilakukan pemerintah dan DPR. Ini perlu agar paradigma yang salah selama ini mengenai berdemokrasi berubah.
Siti juga menilai, peningkatan parliamentery threshold pada pemilu mendatang juga diharapkan meningkatkan kualitas kader partai politik. Sebab, yang terjaring hanya partai-partai politik yang memiliki basis massa kuat.
"Mendirikan partai politik bukan solusi yang tepat untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan aturan yang dapat merampingkan jumlah partai politik, maka diharapkan partai politik yang dapat bertahan hanya yang memiliki akar tunjang, artinya massa yang kuat," katanya.
Taufiq Hidayat juga mengatakan, jika melihat sistem presidensial yang dianut Indonesia, peningkatan parliamentary threshold merupakan cara efektif untuk meningkatkan kualitas partai politik.
"Sistem ketatanegaraan yang kita anut adalah presidensial. Jadi, idealnya partai politik yang ada juga tidak banyak, terutama yang berada di parlemen," katanya.
Sampai saat ini, Taufiq mengakui, di dalam pembahasan revisi UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, termasuk masalah peningkatan parliamentery threshold, antarfraksi masih terjadi tarik-menarik. "Belum selesai. Pembahasan soal parliamentery threshold masih ditunda. Kemungkinan kita bahas pada pekan mendatang. Pendapat fraksi masih beragam. Tapi, range kenaikannya berkisar antara 2,5 hingga 5 persen," ujarnya.
Taufiq menilai, peningkatan angka parliamentery threshold juga berdampak semakin memudahkan pembahasan perundang-undangan di parlemen. Dia mengungkapkan, salah satu kendala yang selama ini membuat proses legislasi molor adalah perdebatan yang sangat alot akibat perbedaan pendapat antarfraksi.
"Kita juga harus memperhatikan demokrasi yang sehat sehingga dapat mendorong perwujudan kesejahteraan rakyat. Jika proses pembuatan kebijakan lebih cepat, perbaikan kesejahteraan rakyat juga semakin cepat," ujar Taufiq.
Namun, dia mengingatkan agar perbaikan sistem politik melalui peningkatan parliamentery threshold ini harus dilakukan secara alami. Menurut dia, perbaikan dapat dilakukan dengan membuat regulasi yang dapat menjadi payung hukum dalam berdemokrasi.
"Sekaligus pemerintah dan DPR juga bekerja sama dalam menyosialisasikan ini kepada masyarakat, sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran yang berlebih di masyarakat," kata Taufiq.
Sementara itu, dalam pernyataan politik Partai Golkar usai Rapimnas I/2010, Sekjen Partai Golkar Idrus Marham menyampaikan, revisi undang-undang bidang politik dilakukan berdasarkan konstitusi yang lebih permanen dan berjangka panjang. Karena itu, ujarnya, penyederhanaan sistem kepartaian perlu dilakukan sehingga sistem presidensial pun menjadi lebih kuat.
"Untuk itu, Partai Golkar berpandangan, ketentuan tentang parliamentery threshold perlu dinaikkan menjadi 5 persen," kata Idrus.
Menurut dia, kenaikan parliamentary threshold penting dilakukan sebagai bagian upaya penataan sistem politik guna menjamin stabilitas politik, efektivitas kinerja lembaga-lembaga negara, dan mencegah pemborosan dalam proses politik, khususnya di DPR. (Tri Handayani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar