Senin, 11 Mei 2009

Pasangan JK-Wiranto


R Siti Zuhro

Peneliti Utama LIPI


Kecemasan publik akan kebuntuan yang dihadapi para elite parpol dalam menentukan pasangan capres-cawapres yang akan menjadi pesaing capres SBY akhirnya terjawab sudah dengan deklarasi pasangan JK-Wiranto, 1 Mei 2009. Deklarasi itu menepis kekhawatiran kemungkinan boikot pemilu atau calon tunggal dalam Pilpres 8 Juli 2009. Bagi Partai Golkar, bergabungnya Wiranto tak ubahnya seperti orang yang menemukan kembali saudara kandungnya. Sebagaimana diketahui, pada Pilpres 2004 Wiranto menjadi capres Golkar.

Moto JK "lebih cepat lebih baik" tepat karena bersama Wiranto, keduanya berhasil mendeklarasikan pasangan capres-cawapres pertama. Deklarasi itu sekaligus menyebabkan posisi koalisi PDIP dan Gerindra menjadi sulit dan cenderung deadlock. Apabila keduanya tak juga mendapatkan titik temu, bukan tidak mungkin salah satunya urung menjadi capres dan mengikhlaskan partainya berkoalisi ke partai lain atau sekadar menjadi penonton. Prinsip "siapa cepat dia dapat" akan menentukan nasib kedua partai itu. Sebab, sisa suara yang tersedia untuk mendapatkan pasangan lain terlalu kecil untuk dibagi berdua.

Bagi JK, pengalamannya akan menjadi bekal memimpin Indonesia. Dengan kepemimpinan yang tegas dan kuat, dia yakin akan sukses menjalankan roda pemerintahan apabila terpilih. Tetapi, masalahnya bukan saja pesaingnya dipandang lebih tangguh, melainkan JK juga memiliki persoalan internal yang cukup mengganggu. Pertama, dalam tubuh Golkar terdapat sejumlah DPD II yang kurang mendukung pencapresannya. Apalagi berpasangan dengan Wiranto. Setidaknya, terdapat 200 DPD II yang menyatakan dukungannya kepada Akbar Tandjung sebagai cawapres SBY. Hal ini mengharuskan JK melakukan konsolidasi internal partainya.

Kedua, konsolidasi itu juga harus dilakukan pada sebagian jajaran elite Golkar di Jakarta yang juga kurang puas dengan keputusan JK. Dengan kata lain, baik secara institusional maupun individual, elite Partai Golkar harus solid agar suara Golkar di akar rumput tak beralih ke kandidat lain.

Bagi JK-Wiranto, impian menjadi RI-1 dan RI-2 tidak mudah. Pertama, dari berbagai survei, elektabilitas ketokohan pasangan JK-Wiranto selama ini jauh di bawah SBY, Megawati, dan Prabowo. Kedua, meski partai cukup solid, suara Partai Hanura menempati ranking terbawah di antara parpol yang lolos parliamentary threshold (PR). Ketiga, Wiranto merupakan capres yang pernah gagal pada putaran I Pilpres 2004. Keempat, sulit dimungkiri bahwa pasangan JK-Wiranto terkesan dipaksakan karena tiadanya partai lain yang dapat diajak bekerja sama.

Atas dasar itu, selain harus membangun soliditas yang tinggi dalam tubuh Golkar, JK harus mampu meningkatkan pencitraannya dengan mewujudkan "warna baru". Dengan kerja keras, "suara rakyat suara Tuhan" bukan tak mungkin berpihak kepada mereka sebab pesaing tertangguhnya juga saudara kandungnya sendiri, Partai Demokrat.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar