Senin, 11 Mei 2009

DRAMATURGI KOALISI PARPOL DALAM PILPRES

R. Siti Zuhro (Peneliti Utama LIPI)
Media Indonesia, Senin, 11 Mei 2009

Di bawah kecemasan banyak pihak akhirnya hasil pemilu legislatif (pileg) 2009 diumumkan KPU. Tak ada kejutan berarti karena secara umum hasilnya sudah diketahui publik melalui quick count. Sesuai dengan ketentuan sejumlah parpol yang merasa dirugikan langsung melayangkan gugatan sengketa pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketika mulai dibuka ada sekitar 100 kasus yang diterima MK. Selain karena kualitas kinerja KPU yang dianggap lemah, pemberlakuan sistem suara terbanyak pada pemilu 2009 telah membuat suhu politik jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Dengan sistem tersebut kepentingan caleg acapkali tampak lebih mengemuka ketimbang parpol. Tidak sedikit caleg yang merasa dirugikan oleh teman separtainya atau oleh parpolnya sendiri.
Selain masalah penggelembungan suara, masalah DPT merupakan masalah yang paling menonjol dipersengketakan. Yang terakhir ini, bahkan, sampai membuat pemerintah cukup “gerah” karena selain dituding tak becus dan memanipulasi suara, beberapa elit parpol sampai mewacanakan kemungkinan “memboikot” pemilu presiden 8 Juli 2009. Karena dianggap bisa menimbulkan opini publik yang tidak sehat dan implikasi sosial yang destructive, SBY, bahkan, sampai terpancing membuat pernyataan politik yang agak “mengancam”.
Suhu politik yang kian memanas menjelang pilpres sebenarnya merupakan hal yang wajar. Meskipun demikian, munculnya wacana “ancaman pemboikotan” pilpres 2009 yang dilontarkan sejumlah elit parpol jelas tak bisa dipandang remeh. Selain akan berpengaruh pada legitimasi pilpres, bukan tidak mungkin implikasi ancaman tersebut bisa mengembalikan arah jarum demokrasi kembali ke titik nadir. Yang lebih berbahaya adalah bila hal tersebut sampai menjadi “bola liar” dan dipolitisasi ke dalam ranah SARA sehingga menimbulkan kekacauan sosial (chaos). Oleh karena itu, tanggapan keras tentang hal tersebut cukup bisa dipahami. Persoalannya ini bukan sekadar masalah “black campaign” terhadap SBY dan partainya, melainkan karena implikasi negatifnya yang bisa mencerai-beraikan persatuan nasional mengingat persoalan SARA teramat sensitif.

Koalisi Burung


Di bawah lemahnya kinerja KPU dan bayang-bayang ancaman boikot pilpres, adalah tidak mudah bagi pemerintah untuk meyakinkan kepada publik bahwa pilpres mendatang akan berlangsung secara jujur, adil dan aman. Kualitas kinerja KPU yang tak kian membaik jelas sangat mencemaskan. Bagi pemerintah tak ada kata yang lebih baik selain dari memperbaiki secara sungguh-sungguh masalah DPT dan mengawal pelaksanaan pilpres dengan baik.
Meskipun UU Pemilu menegaskan kepada para pemilih untuk bersikap proaktif, pemerintah tampaknya tak ingin terkubur di lubang yang sama kembali karena risiko politiknya yang tak bisa dipandang enteng. Di beberapa daerah pemerintah, bahkan, melakukan pendataan dan pengecekan pemilih kembali secara door to door. Persoalannya adalah apakah dalam penyelenggaraan pilpres nanti KPU akan mampu menjalani tahapan-tahapan pilpres sesuai dengan jadwal dan memperbaiki kinerjanya? Bila tidak, tak hanya KPU yang akan kehilangan kredibilitas atau integritasnya, tapi juga pemerintah. Meskipun penyelenggaraan pemilu merupakan tanggung jawab KPU, sulit bagi pemerintah untuk menyatakan tak ikut bertanggung jawab.
Lepas dari persoalan tersebut, yang menarik adalah bahwa sejak pengumuman hasil quick count pileg, semua parpol yang lolos parliamentary threshold (PR), khususnya, sibuk melakukan komunikasi politik dan menjajaki pembentukan koalisi dengan sesama mereka, terutama, guna menghadapi pilpres. Dengan jumlah parpol yang besar, tidak satu parpol pun yang bisa menjadi kekuatan politik yang dominan, baik di pemerintahan maupun di parlemen, tanpa berkoalisi dengan parpol lainnya. Berdasarkan hasil pileg yang ditetapkan KPU, partai Demokrat memperoleh 20,85% (148 kursi), Golkar 14,45 (108 kursi), PDIP 14,03% (93 kursi), PKS 7,88% (59 kursi), PAN 6,01% (42 kursi), PPP 5,32% (39 kursi), PKB 4,94% (26 kursi), Gerindra 4,46% (30 kursi), dan Hanura 3,77% (15 kursi). Adapun suara 29 parpol lainnya berada di bawah PR.
Sebagai parpol pemenang pemilu dan ditambah dengan elektabiltas SBY yang tinggi, Partai Demokrat seolah menjadi “gadis cantik” yang mengundang banyak pria. Sejumlah parpol kecil yang tak lolos PR dan partai menengah, seperti PBB, PKS dan PKB, langsung merapat ke Demokrat tanpa kendala politik internal berarti. Hal yang sama juga ditunjukkan Golkar. Menyadari perolehan suaranya yang lebih kecil daripada Demokrat, Golkar mengusung kembali pasangan SBY-JK. Tapi keinginan Golkar tersebut tampaknya “ditampik” SBY. Meskipun sangat membutuhkan Golkar, SBY agak kurang sreg untuk bersanding kembali dengan JK dan karena itu meminta Golkar mengajukan cawapres lainnya. Pengalaman SBY berduet dengan JK selama periode 2004-2009, membuatnya relatif hati-hati. Selain karena pemerintahannya dinilai banyak orang memiliki “dua sopir”, Golkar juga mengesankan bermain mata dengan PDIP yang diawali dari pertemuan kedua parpol tersebut di Palembang tahun 2007. Keberatan terhadap JK juga secara jelas dinyatakan elit PKS.
Penolakan halus SBY terhadap JK telah membuat Golkar beralih ke PDIP dengan mengusung JK sebagai capres. Keadaan tersebut telah membuat peta koalisi besar beralih dari blok SBY ke blok Megawati. Golkar, PDIP, Gerindra, Hanura, dan sejumlah parpol kecil lainnya pun mendeklarasikan “koalisi besar” di parlemen. Tetapi, keceriaan tersebut seolah terhenti ketika mereka tak bisa menemukan titik temu untuk mengusung capresnya. Sebab semua pimpinan parpol berlindung di balik amanat parpolnya untuk hanya menjadi capres dan bukan cawapres.
Tanpa mengesampingkan faktor lainnya, seperti elektabilitas, jalan buntu yang dihadapi blok Megawati tersebut agaknya juga disebabkan oleh usia para capres masing-masing parpolnya. Usia rata-rata mereka yang di atas kepala 6 dan mendekati kepala 7 telah membuat mereka tak melihat kesempatan lain, kecuali dalam pemilu ini. Itulah sebabnya mengapa realitas perolehan suara pileg masing-masing parpol seperti dikesampingkan.
Dengan motto “lebih cepat lebih baik”, Golkar – Hanura melompat ke luar dan mendeklarasikan JK-Wiranto sebagai pasangan capres-cawapres dan sekaligus membuyarkan impian “koalisi besar” blok Megawati dan sekaligus ancaman boikot pemilu. Jalan buntu yang dihadapi PDIP – Gerindra pun semakin tampak karena masing-masing pihak tak juga bergeming dari pendiriannya. Sementara itu, pilihan untuk mencari cawapres dari parpol lain semakin sulit. Sebab PAN dan PPP sudah menunjukkan kecenderungannya untuk merapat ke Demokrat. Seolah menyertai keduanya isu terakhir yang mengejutkan banyak pihak adalah adanya kabar angin yang menyebutkan bahwa PDIP telah menjalin komunikasi dan menjajaki kemungkinan berkoalisi dengan Demokrat.
Melihat jalannya drama koalisi politik tersebut, tampak sekali bahwa pembangunan koalisi antarparpol sangat dipengaruhi oleh faktor kepentingan partai dan elitnya. Ibarat seekor burung mereka bisa hinggap di mana saja tanpa terbebani oleh perbedaan ideologi, platform dan misi partai masing-masing. Fenomena ini sesungguhnya bukan hal baru. Pada masa Orde Lama, misalnya, dua partai Islam terbesar, yakni NU dan Masyumi saling berseberangan. NU lebih memilih merapat ke Sukarno, sedangkan Masyumi justru memilih menjadi rivalnya Sukarno.
Kalaupun pernah terjadi koalisi antarparpol Islam dalam bentuk “Poros Tengah”, koalisi tersebut bersifat sangat rapuh karena sarat dengan kepentingan politik. Meskipun koalisi tersebut berhasil menjadikan Gus Dur sebagai presiden pertama era reformasi, masa koalisi tersebut tak lebih dari seumur jagung yang pupus seiring dengan dilengserkannya Gus Dur dari kursi kepresidenannya, khususnya, oleh kelompok mereka sendiri.
Fenomena yang sama juga dialami oleh SBY dan partainya. Tidak sedikit kebijakan pemerintah yang tak didukung oleh parpol yang mengaku berkoalisi dengan Demokrat. Sejumlah hak angket di DPR, misalnya, juga dimotori oleh beberapa anggota DPR dari parpol yang berkoalisi dengan pemerintah, termasuk PKS dan Golkar. Oleh karena itulah, jauh-jauh hari SBY sudah menyatakan hanya akan membangun koalisi dengan kontrak politik yang jelas.

Blessing in Disguise


Melihat drama politik tersebut di atas tak ubahnya seperti dagelan ketoprak atau lenong yang ceritanya berakhir dengan antiklimaks dan happy ending. Meskipun suhu politik menjelang pilpres akan semakin memanas, isu tentang pemboikotan pemilu tampaknya akan tenggelem dengan sendirinya. Runtuhnya “koalisi besar” Megawati cs menjadi blessing in disguise bagi SBY cs. Faktor kepentingan elit dan partai yang lebih mengemuka membuat peta perubahan politik sulit diprediksi. Apalagi karena elit parpol sering bersembunyi di balik ungkapan “tak ada yang tak mungkin dalam politik”. Komunikasi politik yang dilakukan Demokrat dan PDIP bukan saja telah mengejutkan publik, melainkan juga JK-Wiranto. Maka, bukan tidak mungkin bila akhir drama politik pilpres ini akan berujung, terutama, pada pertarungan besar antara Golkar-Hanura dan Demokrat cs yang notabene masih merupakan saudara sekandung.
Lepas dari itu, zigzag politik yang dilakukan para elit parpol dengan mengedepankan kepentingan sempit mereka jelas tidak memberikan pendidikan politik yang baik pada masyarakat. Hal tersebut bisa jadi telah mencederai kepentingan politik para pemilihnya. Sebab, harapan rakyat untuk memperbaiki nasibnya akan semakin jauh dari kenyataan. Bagi rakyat akhirnya yang membuat mereka masih bisa bernafas lega adalah kemungkinan terselenggaranya pilpres 2009 yang aman dan legitimate. Dalam kemiskinan hanya “rasa aman” yang membuat mereka masih bisa tersenyum. Pertanyaannya adalah apakah kali ini para elit parpol, baik yang terpilih di parlemen maupun di pemerintahan masih memiliki “mata hati” untuk tidak terus mencederai rakyat? ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar