Rabu, 31 Januari 2007

Depdagri Biarkan Daerah Bergerak Liar

EVALUASI KABINET

MENTERI Dalam Negeri M Ma'ruf, setahun belakangan ini termasuk menteri yang paling banyak disorot kinerjanya.

Menurut penilaian sejumlah pihak, Mendagri dianggap sebagai figur menteri yang kurang tegas dalam memfasilitasi, sekaligus "mengendalikan" roda pemerintahan daerah. Muncul kesan, pemerintahan di daerah jalan sendiri, tidak sejalan dengan pemerintah pusat.

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dr Siti Zuhro, menunjukkan contoh terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 37/2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. PP ini menunjukan ketidakberdayaan pusat menghadapi tekanan pemerintah daerah.

Siti Zuhro mengatakan, dari pemberitaan di media massa, terungkap bahwa motivator terbitnya PP itu justru pimpinan dan anggota DPRD provinsi, kota, dan kabupaten. Padahal, Depdagri yang seharusnya menjadi leading sector dalam pelaksanaan otonomi daerah harus membuat pedoman yang wajib diikuti pemerintah daerah atas nama kepentingan bersama. Bukannya daerah yang memaksa pemerintah pusat membuat peraturan yang hanya menguntungkan kepentingan elite daerah.

"Di bawah M Ma'ruf, Depdagri kurang berwibawa di mata pemerintah daerah. Contohnya, banyak pemerintah daerah justru membuat peraturan daerah (perda) atau kebijakan yang jelas-jelas bertentangan dengan UU di atasnya. Kecenderungan ini dibiarkan Depdagri," kata Siti.

Banyak perda yang jelas-jelas bertentangan dengan peraturan di atasnya dibiarkan begitu saja oleh Depdagri. Sebutlah perda bernuansa syariat agama, perda yang menghalangi usaha ekonomi dan perda yang hanya "memeras" rakyat atas nama restribusi atau pajak . Depdagri dinilai lamban menginvetaris serta mengkaji perda-perda bermasalah itu, sekaligus mencabutnya.

Selain itu, banyak persoalan pemilihan kepala daerah yang seharusnya menjadi domain Depdagri tidak bisa diselesaikan segera dan tuntas. Yang paling aktual adalah kontroversi Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Lampung. Dualisme pemerintahan di provinsi itu tidak bisa diselesaikan Mendagri. Masalahnya baru beres setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla turun tangan membenahinya.

Siti Zuhro menilai, kinerja Depdagri di bawah M Ma'ruf dalam konteks desentralisasi, revitalisasi, dan otonomi daerah jauh dari mengesankan. Sebab, tidak banyak yang dilakukan Ma'ruf berkait dengan upaya desentralisasi, revitalisasi, dan otonomi daerah. Depdagri lamban membuat PP yang diperlukan sebagai implementasi dari sejumlah undang-undang bidang otonomi daerah.

"Undang-undang harus ditindaklanjuti oleh peraturan pemerintah. Misalnya saja tentang PP yang menyangkut urusan daerah; yang dulu disebut dengan istilah wewenang daerah itu banyak yang belum keluar. Padahal, di tingkat teknis PP itu sangat diperlukan sebagai petunjuk daerah merumuskan kebijakan desentralisasi," ujarnya.Kelambanan ini, kata dia, dapat dilihat ketika ada revisi UU No 22/1999 ke UU No 32/2004 dengan judul yang sama tentang Pemerintahan Daerah. UU itu disahkan begitu saja pada 2004. Tetapi, selama 2005 sampai 2006, pemerintah pusat, dalam hal ini Depdagri, masih menggodok pembahasan sejumlah PP-nya.

"Kelambanan ini menyulitkan daerah. Sebab, dalam melaksanakan otda pada masa transisi UU lama ke UU baru, daerah belum dilengkapi PP tersebut. Sangat tidak menguntungkan daerah. Akibatnya, daerah seperti dipanggang oleh peraturan itu," ujarnya.

Selama enam tahun pelaksanaan otonomi daerah, Depdagri juga tidak bisa melakukan penilaian prestasi dan kontraprestasi otonomi daerah. Sebaliknya, yang sering diembuskan justru wacana revisi UU Otonomi Daerah. Bahkan, Depdagri justru sudah berniat untuk merevisi UU No 32/2004. "Revisi sah-sah saja. Tetapi yang benar adalah mengevaluasi dulu pelaksanaannya," katanya.

Jika komitmen pimpinan tertinggi negeri sudah didapat, langkah berikutnya adalah memperbaiki kualitas pelaksanaannya. Harus diakui dengan lapang dada bahwa desentralisasi yang telah dilaksanakan enam tahun ini baru sebagian saja yang berdampak positif bagi daerah.

Kritik terhadap kinerja Mendagri juga datang dari anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, A Mudjib Rochmat. Dia minta Mendagri bersikap sebagai menteri dan melaksanakan tugasnya demi kepentingan bersama, bukan kepentingan satu atau beberapa pihak tertentu.

Kritik ini mungkin berkait dengan sejumlah pilkada yang merugikan kader Partai Golkar akibat "campur tangan" Mendagri. Sebut saja kisruh Pilkada Lampung dan Pilkada Depok.

"Jangan kemudian karena ada kedekatan dengan kekuasaan lalu merugikan masyarakat dan menguntungkan kelompoknya sendiri," ujar Mudjib.

Bagi Mudjib, kinerja Mendagri adalah kinerja politik dalam negeri. "Kalau dia (Mendagri-Red) tidak menempatkannya secara objektif, akan berbahaya, bukan saja pada pemimpin republik ini, tapi juga negara ini," ujarnya.

Meski demikian, Mudjib lebih memilih Mendagri memprioritaskan penyegaran orang-orang di departemennya. "Saya lebih setuju jika Mendagri membuat penyegaran dalam timnya. Sebab, perubahan kebijakan di departemen tanpa disertai penyegaran tim tetap akan menimbulkan persoalan. Bagi saya, perubahan tim itu harus berdasarkan objektivitas, kompetensi, kapabilitas, dan rekam jejak orang-orang dalam tim itu," katanya. (M Kardeni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar