Kamis, 29 Mei 2008

Parpol Masih Sakit

R Ferdian Andi R

INILAH.COM, Jakarta – Sepuluh tahun reformasi terasa tak cukup untuk mendesain partai politik yang mampu menciptakan pemimpin berkualitas. Selain proses demokratisasi yang masih belum matang, tragedi pembunuhan potensi yang dilakukan selama 32 tahun oleh rezim Orde Baru telah mengakibatkan sistem pengkaderan parpol tak pernah berkembang.

30523Menurut peneliti senior LIPI, Siti Zuhro, dibutuhkan sedikitnya tiga periode pemerintahan untuk menghasilkan kader parpol yang betul-betul berkualitas. “Pemimpin tidak lahir dalam waktu setahun dua tahun,” kata Siti Zuhro kepada INILAH.COM, di Jakarta, Rabu (28/5).

Di tengah menghangatnya suasana politik menjelang pemilihan umum, Siti Zuhro sengaja membahas isu kepemimpinan nasional serta prospek Pemilu 2009 terhadap proses demokratisasi di Indonesia. Berikut ini petikan wawancaranya:


Anda melihat Pemilu 2009 sulit menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Bisa dijelaskan lebih jauh?

Sebagai gudang kader, partai politik kita ternyata masih sakit. Sehingga tidak mungkin dalam tempo satu tahun langsung menglahirkan kader-kader yang bagus. Kader yang tidak karbitan, dalam sejarahnya itu, selalu memakan waktu yang cukup lama. Jadi Pemilu 2009 tidak akan mendapatkan kader-kader yang benar-benar kita harapkan.


Termasuk partai politik yang baru muncul menjelang Pemilu 2009 ini?

Ya. Jadi saat ini adalah masa kebangkitan partai politik. Tapi bukan masa kebangkitan kemunculan kader-kader yang unggulan. Karena, Orde Baru sudah berhasil memangkas kaderisasi yang sangat intens. Proses reformasi selama sepuluh tahun ini memang menumbuhkan masyarakat sipil. Tapi sepuluh tahun belum cukup bagi kita untuk bisa mengejar ketertinggalan akibat proses 32 tahun oleh Orde Baru tersebut.

Kita masih butuh waktu yang agak lama untuk menghidupkan semangat yang telah dibunuh sekian tahun oleh Orde Baru. Saat ini, kebangkitan politik lokal belum betul-betul mampu memberikan porsi yang yang tepat untuk memunculkan kader yang betul-betul baik. Pemimpin karbitan memang banyak. Tapi yang berkuaitas, belum.


Bagaimana Anda melihat proses koalisi partai-partai politik selama ini?

Partai politik di Indonesia tidak mengikuti aturan (fatsoen) politik yang bagus. Koalisi yang selama ini berlangsung, tidak memiliki format yang jelas. Karena dari pusat ke daerah, tidak ada bentuk yang pas dan cocok. Sehingga menyulitkan hubungan antara pusat dan daerah. Akibatnya proses desentralisasi terhambat karena munculnya sistem multipartai.


Jadi Pemilu 2009 masih belum akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas?

Belum. Kita tidak bisa berharap banyak dalam Pemilu 2009. Mungkin pada pemilu selanjutnya, yaitu pada 2014, agak berbeda. Mudah-mudahan. Tapi dalam tempo periode tiga periode (15 tahun) kita tidak bisa menuai dengan cepat, kecuali kader karbitan yang tidak memiliki nuansa kenegarawanan. Kaderisasi pemimpin itu adalah proses yang alami. Setelah 15-20 tahun baru kita akan mendapatkan kader yang berkualitas.


Bagaimana dengan penolakan oleh beberapa pemda dan kepala desa atas program bantuan langsung tunai (BLT) yang dicanangkan pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga BBM?

Penolakan itu adalah dampak yang sangat konkrit dari realisasi otonomi daerah. Jadi daerah memang sudah tidak bisa didikte lagi oleh pusat, terutama kabupaten dan kota, termasuk desa. Selain itu, memang ada kekecewaan yang lama terhadap pemerintahan pusat.

Baik di Jawa maupun di luar Jawa tingkat kekecewaannya kepada pemerintah pusat, sama. Karena pusat dianggap tidak konsisten berkaitan dengan kebijakan dari pusat yang menyangkut daerah. Jadi daerah merasa terkekang dan tidak mendapat porsi yang semestinya.


Bagaimana sebenarnya format hubungan antara pusat dan daerah dalam ketatanegraan kita?

Dalam bentuk ketatanegaraan kita, provinsi bertanggung jawab kepada pusat. Tentu saja kabupaten dan kota juga demikian. Kita tidak memiliki satu pengawasan yang bagus, ketika desentralisasi diterapkan. Jadi pada 2001 itu realisasi desentralisasi terjadi. Namun pengawasan dan pendampingan dari Depadgri tidak terjadi. Akhirnya ada semacam distorsi di level praksis.

Jadi meski desentralisasi berjalan, tapi tidak kemudian lepas sama sekali. Ini bukan negara federal. Untuk konteks BLT, bagi pemda yang menolak, maka akan mendapat sanksi secara administrasi. Ini bukan pembangkangan juga, tapi bagian dari bentuk kemandirian daerah. Ini kan era otonomi daerah, daerah juga punya hak untuk menolak sesuatu dari pusat. Itu sah-sah saja.

Tapi dalam konteks BLT kan kebijakannya top down. Jadi jangan dipisahkan kebijakan BLT dalam konteks kebijakan stabilitas nasional. NKRI harus terjaga. Supaya terjaga, maka diadakan BLT. [P1]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar