Rabu, 26 September 2007

Keterbukaan Informasi dan Reformasi Birokrasi

183002

R Siti Zuhro

Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


Selama periode 1998-2007, tuntutan agar birokrasi Indonesia direformasi cenderung menguat. Besarnya tuntutan tersebut didorong oleh kenyataan maraknya korupsi di birokrasi yang makin terbuka. Masalah korupsi tampaknya makin sulit diatasi. Beberapa kasus korupsi besar sejauh ini belum dapat dituntaskan. Oleh karena itu, rakyat menuntut pemerintahan agar secara sungguh-sungguh mengatasi masalah korupsi di birokrasi.

Mereformasi birokrasi berarti memperbaiki kualitas birokrasi. Utamanya memperbaiki kinerja pegawai dalam melakukan pelayanan publik, mengubah perilaku pejabat agar tidak korupsi, menata jumlah pegawai negeri agar sesuai beban pekerjaan, dan mengurangi keengganan birokrat untuk lebih bersikap transparan dalam menjalankan tugas. Pengaruh partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan publik juga masih terkesan kurang signifikan, sehingga ini berdampak pula terhadap akuntabilitas dan kredibilitas pemerintah.

Demokrasitisasi di Indonesia menyaratkan direalisasikannya pemerintahan yang terbuka. Dalam konteks itu, aktivitas pemerintah dapat dimonitor dan melibatkan partisipasi masyarakat. Hak memperoleh informasi, hak menyatakan pendapat, dan hak mendapat perlindungan atas pengungkapan fakta pun seharusnya dimiliki rakyat. Masalahnya, bagaimana masyarakat mau berpartisipasi dalam kegiatan program pemerintah bila mereka tidak mendapatkan informasi yang memadai?

Dalam konteks kebijakan publik, yang diperlukan masyarakat bukan hanya hasil final suatu keputusan pemerintah, tapi yang lebih penting adalah keterlibatan mereka dalam proses pembuatannya. Pengabaian terhadap eksistensi dan partisipasi masyarakat justru bertentangan dengan tekad pemerintah era reformasi yang hendak membuat "perubahan".

Lalu, bagaimana masyarakat bisa ikut serta membantu memberantas korupsi bila kebebasan memperoleh informasi publik yang menjadi keharusan dalam sistem pemerintahan yang transparan dibatasi atau ditutup? Hak-hak politik masyarakat dibatasi, terutama partisipasinya. Belum disahkannya RUU Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP) adalah salah satu indikasinya.

Meskipun birokrasi Indonesia sekarang ini dapat diklasifikasikan ke dalam bureaucratic pluralism--yang relatif lebih melibatkan partisipasi masyarakat--bukan berarti ini sudah final. Akan lebih demokratis bila menguatnya masyarakat sipil (civil society) di Indonesia saat ini tidak diinterupsi oleh pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan politik warga negara.

Artinya, upaya-upaya memberdayakan mereka perlu dilakukan secara berkesinambungan dengan memberikan peluang untuk berperanserta dalam proses pembuatan kebijakan publik. Inilah esensi reformasi birokrasi. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar