Sabtu, 19 Juni 2010

Peningkatan Parliamentary Threshold Bukan Membunuh Demokrasi

Siti Zuhro
Peningkatan Parliamentary Threshold
Bukan Membunuh Demokrasi


Sabtu, 19 Juni 2010
Sejumlah kalangan menilai, wacana menaikkan besaran batas minimal perwakilan keterwakilan partai politik di parlemen (parliamentary threshold) dapat merangsang peningkatan kinerja partai politik. Aturan baru itu, apabila direalisasikan dalam revisi Undang-Undang (UU) Pemilihan Umum (Pemilu), akan menjadi cara yang tepat untuk menyederhanakan sistem dan partai politik.
Ide menaikkan parliamentary threshold (PT) dari 2,5 persen menjadi 5 persen sebagaimana pernah diusulkan Partai Golkar merupakan hal positif untuk menyederhanakan sistem parpol. Kalau PT lima persen, kelak hanya akan ada 5-6 partai saja di DPR. Bahkan ide tersebut juga dianggap akan mempermudah terwujudnya konsensus di parlemen.
Parliamentary threshold adalah ketentuan batas minimal yang harus dipenuhi partai politik untuk bisa menempatkan calon legislatifnya di parlemen. Batas minimal yang diatur dalam Pasal 202 Ayat (1) UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif adalah 2,5 persen dari total jumlah suara dalam pemilu.
Berikut petikan wawancara wartawan Harian Umum Suara Karya Muhamad Kardeni dengan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro di Jakarta, Kamis (17/6). Tema yang dibahas terkait masalah munculnya wacana perlunya meningkatkan parliamentary threshold dalam upaya menyederhanakan sistem partai politik di Tanah Air yang hingga kini masih mendatangkan pendapat pro dan kontra.

Saat ini muncul wacana perlunya peningkatan angka parliamentary threshold (PT). Bagaimana komentar Anda?
Terus terang, saya sangat mendukung gagasan ini. Sebab, sudah saatnya kita harus sungguh-sungguh menata sistem politik di negara kita. Kita perlu menata sistem pemilu dan partai politik, termasuk bagaimana merampingkan partai politik tanpa mengurangi esensi demokrasi itu sendiri. Artinya, tidak menghalangi kemerdekaan masyarakat untuk berasosiasi.
Usulan meningkatkan persyaratan keterwakilan partai politik di parlemen menjadi lima persen sebagaimana yang digagas oleh Partai Golkar, cukup ideal dalam upaya penyederhanaan partai dan mendukung sistem presidensial.

Dengan kata lain, PT adalah upaya perampingan partai politik secara alami?
Betul! Dengan adanya PT lima persen, memang diharapkan dapat merampingkan partai politik. PT lima persen juga untuk menjaring secara serius partai-partai politik yang memiliki basis massa. Jadi, partai politik yang berdiri itu nantinya betul-betul memiliki massa di akar rumput.

Lantas, bagaimana dengan partai politik yang tidak mencapai PT?
Partai politik yang tidak mencapai PT bisa melakukan fusi ke partai politik lain. Misalnya, partai yang berbasis agama bisa saja berfusi dengan partai tengah.

Peningkatan angka PT bukan berarti membunuh demokrasi?
Silakan masyarakat untuk mendirikan partai politik, tapi persyaratan partai politik untuk ikut pemilu itu yang harus sungguh-sungguh diatur secara tegas.
Artinya, atas dasar parameter apa suatu partai politik bisa ikut di pemilu. Sebab, bagaimanapun, sudah dibuktikan bahwa banyaknya partai politik saat ini--dari pemilu tahun 1999 sampai pemilu tahun 2009--menunjukkan banyak partai politik timbul tenggelam. Yang terjadi hanya ganti-ganti nama atau bolak-balik nama, sementara orangnya itu-itu saja.

Sebenarnya apa yang menjadi esensi dari peningkatan angka PT itu?
Dalam upaya memperkuat sistem presidensial, hal itu tidak akan tercapai kalau tidak didukung atau ditunjang dengan sistem multipartai yang sederhana.
Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah peraturan sedemikian rupa yang bisa diterima dan dipertanggungjawabkan, namun tetap mendorong demokratisasi. Dan, saya kira, peningkatan angka PT tujuannya memang ke arah sana.

Tapi, bukankah gagasan kenaikan angka PT dianggap hanya menguntungkan partai politik besar?
Saya tidak setuju jika kenaikan PT dianggap berlawanan dengan demokrasi. Semangat diberlakukannya PT sebenarnya tetap mendorong upaya demokratisasi. PT bukan saja memberikan peluang, tapi juga prasyarat sehingga partai politik yang ikut pemilu lebih rasional dan mempertanggungjawabkan dirinya sebagai partai politik yang benar-benar sebagai partai politik.

Pada Pemilu 2009 PT ditetapkan 2,5 persen. Saat ini muncul gagasan dinaikkan menjadi 5 persen. Sebenarnya angka yang ideal untuk PT itu berapa?
Kalau Pemilu 2009 dengan aturan PT-nya 2,5 persen saja, yang ikut pemilu ada sekitar 38 partai politik. Bagi saya, itu masih terlalu banyak. Saya setuju jika PT dinaikkan pada kisaran angka lima persen.
Ini bukan untuk membunuh partai politik atau hanya ingin memenangkan Partai Golkar, tidak. Ini adalah cara untuk menghentikan ketidakpuasan para elite politik yang mendirikan partai politik.

PT selama ini hanya diberlakukan di DPR. Apa perlu PT juga diberlakukan di tingkat DPRD?
Seharusnya begitu. Sebab, sistem presidensial itu tidak hanya untuk pemerintah pusat saja, tapi juga harus memperkuat efektivitas sekaligus memperkuat pemerintah daerah juga. Tapi, mungkin untuk pemberlakuannya ke tingkat DPRD dilakukan secara bertahap.
Yang pasti, semangat perampingan partai politik merupakan kebutuhan mendesak bagi Indonesia yang ingin konsisten merealisasikan sistem presidensial. Dan, demokrasi tanpa konsistensi tidak akan mungkin berjalan. Konsistensi dibutuhkan ketika pilihan kita sudah menetapkan sebagai negara yang menganut sistem presidensial.***

BIODATA
- Peneliti senior Pusat Penelitian Politik-LIPI dan The
Habibie Center.
- Menyelesaikan studi S1 jurusan Ilmu Hubungan Internasional
FISIP Universitas Jember.
- Mendapatkan gelar MA ilmu politik dari The Flinders Univer-
sity, Adelaide, Australia dan PhD ilmu politik dari
Curtin University, Perth, Australia.

Buku-buku karyanya:
- Konflik dan Kerja Sama Antar-Daerah: Studi Kasus Pengelolaan
Kewenangan di Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Bangka Beli
tang. (Jakarta: LIPI, 2004)
- Menata Kewenangan Pusat-Daerah yang Aplikatif-Demokratis.
(Jakarta: LIPI, 2005)
- Profesionalitas dan Netralitas Birokrasi: Menuju Daya
Saing Ekonomi Daerah, Studi di Empat Provinsi. (Jakarta: The
Habibie Center dan Hanns Seidel Foundation, 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar