Rabu, 18 April 2007

Quo Vadis IPDN?

171040

R Siti Zuhro

Peneliti The Habibie Center Jakarta


Kematian Cliff Muntu, mahasiswa IPDN, pada 3 April 2007, merupakan bukti konkret bahwa IPDN melakukan praktik kekerasan dan tindak kriminal. Sejauh ini tercatat lebih dari 30 praja IPDN meninggal.

Kasus itu menyulut pro-kontra dalam masyarakat. Ada yang ingin agar sistem pendidikan di IPDN dirombak total dan ada desakan agar IPDN dibubarkan saja.

Kelompok pertama menilai, IPDN patut dipertahankan namun sistem yang selama ini diterapkan harus dirombak total, termasuk sistem rekrutmen dan kurikulumnya. Dengan kata lain, sistem di IPDN perlu diformat ulang, termasuk apakah harus tetap nyantol ke Depdagri atau menjadi lembaga pendidikan pencetak pamong praja yang independen.

Tuntutan bagi kelompok kedua bukan tanpa alasan. Tak sedikit kalangan yang menilai IPDN sarat dengan warisan masa lalu. Budaya kekerasan telah menodai sistem pendidikan yang diterapkan. Praja dibekali budaya kekerasan dan budaya kekuasaan yang sama sekali tidak penting dan tidak relevan dengan tujuan pendidikan di IPDN.

Layaknya sebuah lembaga pendidikan, mestinya IPDN mampu menghasilkan lulusan yang berdedikasi tinggi dan siap mengabdi kepada negara dan masyarakat. Penerapan sistem pendidikan yang salah selama ini berpengaruh negatif terhadap kualitas pamong praja yang diharapkan menjadi garda depan pelayanan publik dan pelaksana pembangunan Indonesia. Meskipun hasil lulusan IPDN bukan satu-satunya yang menyebabkan buruknya kinerja birokrasi Indonesia, setidaknya kualitas lulusan yang masih jauh dari harapan juga ikut memperburuk kondisi birokrasi kita.

Fenomena di IPDN menunjukkan bahwa budaya kekerasan dan budaya kekuasaan harus diakhiri. Sistem di IPDN harus dikembalikan ke esensi pendidikan yang benar, yang mendidik dan membekali praja supaya menjadi pamong praja yang baik. Payung hukum juga diperlukan agar keberadaan IPDN tidak melanggar UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Akan lebih baik lagi bila IPDN dan pendidikan kedinasan di luar militer dan polisi ditata ulang berdasarkan UU Sisdiknas.

Solusi atas kasus IPDN tidak cukup hanya dengan ditundanya penerimaan praja baru untuk tahun ajaran 2007/2008, penonaktifan Rektor IPDN I Nyoman Sumaryadi, dan pembentukan Tim Evaluasi IPDN yang diketuai Ryaas Rasyid. Adalah penting dipikirkan dan dipertimbangkan secara jernih dan serius, apakah IPDN layak diteruskan, baik ditinjau secara substansial maupun secara finansial.

Beban anggaran yang harus ditanggung APBN (juga APBD) sungguh tidak kecil. Ini mengisyaratkan bahwa Indonesia mestinya lebih memfokuskan upaya keluar dari kemiskinan ketimbang mendanai IPDN yang tidak memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan nasib bangsa.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar