Rabu, 28 Februari 2007

Menanti Palu Paduka

167510

R Siti Zuhro

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


Jakarta kebanjiran itu sudah biasa. Rakyat juga tahu diri bahwa mereka turut bersalah. Soal "kerugian", mereka pasrahkan kepada Yang Maha Kuasa. Mana mungkin berharap kepada pemerintah. Yang terendam lumpur di Jatim saja tak jelas penyelesaiannya. Kini agenda mereka sudah ke soal lain, yakni ancaman penyakit dan "perut".

Mestinya pemerintah tak merasa beruntung atas ketabahan rakyat. Rakyat memang sangat pemaaf dan cepat lupa. Kalau pun ada kritik, tak pernah bergreget. Bahkan terhadap masalah yang mendera rasa kemanusiaan mereka, seperti kasus orang hilang, kerusuhan Mei, dan tragedi Semanggi. Kecuali kalau persoalan sudah menyangkut soal "perut".

Meski hampir 62 tahun merdeka, kondisi kita makin buruk karena hampir separo penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan atau rentan terhadap kemiskinan. Kecuali kebebasan berbicara, program-program pembangunan -- khususnya menyangkut soal "perut" -- boleh dibilang gagal. Kini banyak rakyat kembali mengonsumsi thiwul dan nasi aking. Ironinya, ketika harga beras melangit, nasib petani padi tak kunjung terdongkrak.

Alih-alih memikirkan secara serius ketahanan pangan dan swasembada beras, sejumlah politisi justru sibuk memolitisasikan soal beras demi Pemilu 2009. Wakil-wakil rakyat di daerah malah berdemo menolak revisi PP 37/2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD ketimbang mengawasi operasi pasar beras murah yang bermasalah di banyak tempat.

Ketidakmampuan mengatasi masalah beras mencerminkan buruknya kinerja birokrasi pemerintah. Niat (good will) SBY-JK tentang "perubahan" bukannya tidak ada. Tetapi seperti presiden-presiden sebelumnya, implementasi niat itu hanya sebatas kata. Keduanya tak cukup tegas mengatasi ketidakbecusan dan resistensi birokrat.

Hingga kini reshuffle kabinet masih sekadar wacana, meski sejumlah menteri tak menunjukkan kinerja yang baik. Antarinstansi, misalnya, tak memperlihatkan sikap tegas terhadap mereka yang bertanggung jawab atas krisis pangan, termasuk kesimpangsiuran data ketersediaan beras dan tentang siapa yang bertanggung jawab atas terbitnya PP 37/2006.

Kini rakyat menunggu "palu" pemerintah untuk memberlakukan reward and punishment terhadap pembantu dan pegawai yang nakal. Sebuah jabatan tak selalu harus berorientasi pada reward seperti tampak saat ini, tetapi juga pada punishment.

Kompromi dan pemaafan atas ketidakbecusan mereka bukan sikap mendidik. Transparansi dan pelayanan publik yang cepat, murah, dan tak berbelit merupakan hak rakyat. Persoalan "perut" (termasuk ketiadaan pekerjaan) yang dihadapi banyak rakyat dewasa ini bukan soal sepele. Kesabaran rakyat pasti ada ujungnya. Sejarah membuktikan bahwa kekuasaan besar Soekarno dan Soeharto berakhir karena soal "perut".***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar