Jumat, 08 Desember 2006

Reformasi Birokrasi

161867
R Siti Zuhro

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


Sulit dimungkiri bahwa birokrasi kita lebih mencerminkan sebagai "abdi pemerintah", mengabdi kepada penguasa, ketimbang sebagai "abdi masyarakat". Jargon-jargon birokrasi sebagai "abdi masyarakat" hanya bersifat retoris.

Karena itu kuatnya tuntutan agar birokrasi direformasi sungguh amat logis. Sistem birokrasi yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan membuat institusi ini tidak responsif terhadap kepentingan rakyat dan mengabaikan pelayanan publik. Rendahnya political will, political commitment, dan law enforcement pemerintah dalam bidang ini membuat kita tertinggal oleh Singapura, Malaysia, juga Thailand.

Secara umum, birokrasi kita masih menunjukkan karakteristik tradisional atau patrimonial yang sarat dengan hubungan patron-klien, tidak akuntabel, dan cenderung mengabaikan merit system.

Di era transisi sekarang ini, misalnya, isu korupsi semakin meningkat. Ibarat kanker stadium empat, korupsi telah menggerogoti semua cabang kekuasaan, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif di tingkat pusat dan daerah.

Ironinya, semakin banyak lembaga pemberantasan korupsi, jumlah koruptor juga semakin bertebaran di berbagai cabang kekuasaan. Keadaan ini menunjukkan pelecehan secara terang-terangan terhadap lembaga pemberantasan korupsi, sekaligus merupakan perlawanan terhadap ketetapan hukum.

Dalam bidang pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan usaha, birokrasi belum mampu berperan secara maksimal. Birokrasi bahkan terbukti tidak mampu mengendalikan pembangunan ekonomi dan perubahan sosial.

Meski agak terlambat, Indonesia perlu berusaha keras menata kembali birokrasi dan membebaskan diri dari ciri patrimonialisme. Birokrasi diharapkan bisa lebih profesional dalam melayani masyarakat, dan netral secara politik (dalam pemilu/pilkada).

Ke depan, birokrasi kita perlu memiliki ciri-ciri, pertama, mendukung partisipasi publik, memberdayakan masyarakat, dan meningkatkan kreativitas. Kedua, mampu berkompetisi satu sama lain dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik. Ketiga, mampu mendukung implementasi desentralisasi dan otonomi daerah bagi terwujudnya good governance dan bersih KKN.

Dengan birokrasi yang akuntabel, transparan, dan partisipatif, tugas administrasi pusat dan daerah diharapkan lebih bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Ciri-ciri tersebut diperlukan untuk menarik investasi dan menciptakan daya saing. Sampai saat ini hambatan yang dirasakan investor tidak hanya masalah sosial politik dan keamanan, tetapi juga efisiensi pemerintahan -- termasuk di daerah -- dalam mendukung dunia usaha.

Karena itu, ke depan diperlukan realisasi inovasi kelembagaan/organisasi dalam praktik penyelenggaraan pemerintah pusat dan daerah.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar