Bangsa Indonesia tidak boleh lagi terjerembap ke jurang kehancuran karena salah memilih pemimpin dan wakilnya di parlemen.
Untuk itulah, menjelang Pemilu 2014, masyarakat harus disadarkan untuk menentukan pilihan secara objektif.
"Masyarakat
harus mulai kritis, jangan hanya terbujuk iming-iming sesaat, misalkan
politik uang," kata mantan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah
Ahmad Syafii Maarif kepada Media Indonesia, akhir pekan lalu.
Ia
mengatakan seharusnya masyarakat sipil bisa membangun aliansi yang
lebih sehat di tengah krisis kepemimpinan Indonesia. Dengan demikian
bisa menjadi sebuah kekuatan yang mampu menggerakkan setiap orang untuk
melakukan perubahan. Terutama ketika harus memilih pemimpin bangsa yang
akan membawa arah masa depan dengan baik.
Namun
persoalannya, ungkap Syafii, masyarakat Indonesia masih banyak yang
miskin. Sehingga dalam setiap perhelatan pesta demokrasi, terpaksa tidak
punya pertimbangan objektif lain, selain hanya menerima tawaran politik
uang.
"Inilah
memang yang menjadi cacat dan kelemahan demokrasi yang berlangsung di
Indonesia saat ini. Karakter bangsa ini sudah dirusak dengan budaya
politik uang," ujar Syafii.
Namun,
lanjutnya, kemenangan Joko Widodo dalam Pemilu Kada DKI Jakarta 2012
yang modalnya jauh lebih kecil daripada para pesaingnya memunculkan
optimisme bahwa masyarakat sudah mulai sadar. Fenomena Jokowi, panggilan
akrab Joko Widodo, tak hanya menyuplai energi bagi masyarakat yang
sudah jenuh dengan aksi pemimpin-pemimpin saat ini, tapi juga
menyadarkan masyarakat tentang keberadaan sosok pemimpin sejati.
"Bahwa uang bukan jalan utama untuk memilih pemimpin negeri ini," tegas Syafii.
Dia
juga menyoroti perilaku partai politik yang masih belum bertransformasi
dan cenderung menjadi bagian dari masalah. Elite parpol yang ada saat
ini hanya menempatkan politik sebagai mata pencaharian. Tidak ada yang
berusaha untuk menjadi seorang negarawan.
"Partai mulai kehilangan legitimasinya dari rakyat," tandas Syafii.
Proaktif
pengamat
politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro
menyebutkan masyarakat jangan mudah tergiring pencitraan politisi yang
hanya peduli menjelang pemilu.
Menurutnya,
sikap proaktif diperlukan untuk memunculkan pemimpin yang benar-benar
peduli terhadap rakyat. Pemilu harus menjadi momentum untuk menghukum
politisi korup yang hanya sibuk mengurusi kepentingan partainya.
Siti
mengatakan masyarakat mesti waspada terhadap politik pencitraan.
Pasalnya gaya politik tersebut cenderung menyesatkan. Ia juga
mengingatkan agar rakyat tidak tergoda dengan iming-iming pencitraan
jika menginginkan perubahan. Jangan terpengaruh iklan maupun uang.
Siti
menyebutkan saat ini masyarakat tidak membutuhkan pemimpin yang
dibesarkan oleh uang dan iklan, tetapi pemimpin rakyat. Karena itu dalam
pemilu kada, menurut dia, harus dikurangi dominasi politik pencitraan.
Siti menilai politik pencitraan itu menyesatkan dan berpotensi menimbulkan dusta terhadap publik.
"Masyarakat
saat ini butuh pemimpin yang kembali ke konsep awal demokrasi, yaitu
dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan benar-benar pemimpin yang
bisa memimpin, bukan pemimpin berdasarkan iklan maupun uang," ungkap
Siti.
Ia
menegaskan, untuk menyaring pemimpin yang berkualitas diperlukan
kebangkitan bersama di tengah-tengah masyarakat. Ia berharap fenomena
kebangkitan kesadaran rakyat yang terjadi pada pemilu kada DKI harus
menyebar ke seluruh masyarakat Indonesia.
Masyarakat,
tambahnya, juga harus mencari banyak referensi tokoh-tokoh untuk
memimpin bangsa ini. Mencari sosok yang transformatif. Pasalnya,
fenomena baru saat ini ialah kekuatan elektabilitas figur jauh lebih
tinggi ketimbang elektabilitas parpol.
Apalagi,
lanjut Siti, tingkat kepercayaan publik terhadap parpol yang menurun
memengaruhi sikap pemilih untuk mendukung capres alternatif.
"Sekarang
banyak komunitas yang membuat prasyarat capres. Tapi, masyarakat tidak
mau memilih kucing dalam karung. Konstitusi kita juga memberikan hak
kepada siapa pun yang menjadi capres alternatif. Jadi, nanti akan ada
seleksi alam. Parpol yang memaksakan kehendaknya juga akan gigit jari,"
ungkap Siti.
Menurut
dia, kandidat capres yang sudah dimunculkan parpol saat ini
diperkirakan tidak akan bisa bergerak leluasa pada Pemilihan Presiden
2014. Ada beberapa capres yang sudah muncul akan saling mengorek dosa
masa lalu.
Dia
menilai capres yang mulai diusung parpol terkesan memaksakan kehendak
kepada masyarakat. Namun, masyarakat sudah mampu memberikan parameter
tersendiri terhadap capres 2014.
Pengamat
politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Arie Sudjito
mengatakan harus ada terobosan ideologi pada Pilpres 2014. Ia berharap
masyarakat mulai bisa melihat seorang figur berdasarkan visi dan
prioritas kerjanya.
Menurut
dia, jika hanya mengandalkan aktor atau figur, tidak akan berbeda
dengan pilpres sebelumnya. Artinya, tidak akan ada terobosan mendasar
yang akan dihasilkan. Padahal demokrasi sudah berkembang selama 10 tahun
lebih.
Dia
menegaskan bahwa peningkatan kualitas capres harus ditonjolkan. Jika
tidak, Pilpres 2014 hanya akan menjadi mekanisme rutinitas politik
sebagai gejala yang biasa saja.
Terobosan
itu, papar Arie, bukan hanya dilakukan dengan mengandalkan peran parpol
saja. Yang utama ialah mendorong pemilih sebagai subjek yang paling
menentukan karena sudah menjadi haknya untuk bersuara.
"Pendidikan
politik harus didorong pada bagaimana rakyat bersuara. Kemudian juga
organisasi sipil harus bisa mengontrol parpol yang condong oligarkis,"
jelas dia. (sumber : MICOM )