Senin, 17 Desember 2012

Jangan Tempatkan Politik sebagai Mata Pencaharian

Bangsa Indonesia tidak boleh lagi terjerembap ke jurang kehancuran karena salah memilih pemimpin dan wakilnya di parlemen. 

Untuk itulah, menjelang Pemilu 2014, masyarakat harus disadarkan untuk menentukan pilihan secara objektif. 

"Masyarakat harus mulai kritis, jangan hanya terbujuk iming-iming sesaat, misalkan politik uang," kata mantan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif kepada Media Indonesia, akhir pekan lalu. 

Ia mengatakan seharusnya masyarakat sipil bisa membangun aliansi yang lebih sehat di tengah krisis kepemimpinan Indonesia. Dengan demikian bisa menjadi sebuah kekuatan yang mampu menggerakkan setiap orang untuk melakukan perubahan. Terutama ketika harus memilih pemimpin bangsa yang akan membawa arah masa depan dengan baik. 

Namun persoalannya, ungkap Syafii, masyarakat Indonesia masih banyak yang miskin. Sehingga dalam setiap perhelatan pesta demokrasi, terpaksa tidak punya pertimbangan objektif lain, selain hanya menerima tawaran politik uang. 

"Inilah memang yang menjadi cacat dan kelemahan demokrasi yang berlangsung di Indonesia saat ini. Karakter bangsa ini sudah dirusak dengan budaya politik uang," ujar Syafii. 

Namun, lanjutnya, kemenangan Joko Widodo dalam Pemilu Kada DKI Jakarta 2012 yang modalnya jauh lebih kecil daripada para pesaingnya memunculkan optimisme bahwa masyarakat sudah mulai sadar. Fenomena Jokowi, panggilan akrab Joko Widodo, tak hanya menyuplai energi bagi masyarakat yang sudah jenuh dengan aksi pemimpin-pemimpin saat ini, tapi juga menyadarkan masyarakat tentang keberadaan sosok pemimpin sejati. 

"Bahwa uang bukan jalan utama untuk memilih pemimpin negeri ini," tegas Syafii. 

Dia juga menyoroti perilaku partai politik yang masih belum bertransformasi dan cenderung menjadi bagian dari masalah. Elite parpol yang ada saat ini hanya menempatkan politik sebagai mata pencaharian. Tidak ada yang berusaha untuk menjadi seorang negarawan. 

"Partai mulai kehilangan legitimasinya dari rakyat," tandas Syafii. 

Proaktif 
pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyebutkan masyarakat jangan mudah tergiring pencitraan politisi yang hanya peduli menjelang pemilu. 

Menurutnya, sikap proaktif diperlukan untuk memunculkan pemimpin yang benar-benar peduli terhadap rakyat. Pemilu harus menjadi momentum untuk menghukum politisi korup yang hanya sibuk mengurusi kepentingan partainya. 

Siti mengatakan masyarakat mesti waspada terhadap politik pencitraan. Pasalnya gaya politik tersebut cenderung menyesatkan. Ia juga mengingatkan agar rakyat tidak tergoda dengan iming-iming pencitraan jika menginginkan perubahan. Jangan terpengaruh iklan maupun uang. 

Siti menyebutkan saat ini masyarakat tidak membutuhkan pemimpin yang dibesarkan oleh uang dan iklan, tetapi pemimpin rakyat. Karena itu dalam pemilu kada, menurut dia, harus dikurangi dominasi politik pencitraan. 

Siti menilai politik pencitraan itu menyesatkan dan berpotensi menimbulkan dusta terhadap publik. 

"Masyarakat saat ini butuh pemimpin yang kembali ke konsep awal demokrasi, yaitu dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan benar-benar pemimpin yang bisa memimpin, bukan pemimpin berdasarkan iklan maupun uang," ungkap Siti. 

Ia menegaskan, untuk menyaring pemimpin yang berkualitas diperlukan kebangkitan bersama di tengah-tengah masyarakat. Ia berharap fenomena kebangkitan kesadaran rakyat yang terjadi pada pemilu kada DKI harus menyebar ke seluruh masyarakat Indonesia. 

Masyarakat, tambahnya, juga harus mencari banyak referensi tokoh-tokoh untuk memimpin bangsa ini. Mencari sosok yang transformatif. Pasalnya, fenomena baru saat ini ialah kekuatan elektabilitas figur jauh lebih tinggi ketimbang elektabilitas parpol. 

Apalagi, lanjut Siti, tingkat kepercayaan publik terhadap parpol yang menurun memengaruhi sikap pemilih untuk mendukung capres alternatif. 

"Sekarang banyak komunitas yang membuat prasyarat capres. Tapi, masyarakat tidak mau memilih kucing dalam karung. Konstitusi kita juga memberikan hak kepada siapa pun yang menjadi capres alternatif. Jadi, nanti akan ada seleksi alam. Parpol yang memaksakan kehendaknya juga akan gigit jari," ungkap Siti. 

Menurut dia, kandidat capres yang sudah dimunculkan parpol saat ini diperkirakan tidak akan bisa bergerak leluasa pada Pemilihan Presiden 2014. Ada beberapa capres yang sudah muncul akan saling mengorek dosa masa lalu. 

Dia menilai capres yang mulai diusung parpol terkesan memaksakan kehendak kepada masyarakat. Namun, masyarakat sudah mampu memberikan parameter tersendiri terhadap capres 2014. 

Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Arie Sudjito mengatakan harus ada terobosan ideologi pada Pilpres 2014. Ia berharap masyarakat mulai bisa melihat seorang figur berdasarkan visi dan prioritas kerjanya. 

Menurut dia, jika hanya mengandalkan aktor atau figur, tidak akan berbeda dengan pilpres sebelumnya. Artinya, tidak akan ada terobosan mendasar yang akan dihasilkan. Padahal demokrasi sudah berkembang selama 10 tahun lebih. 

Dia menegaskan bahwa peningkatan kualitas capres harus ditonjolkan. Jika tidak, Pilpres 2014 hanya akan menjadi mekanisme rutinitas politik sebagai gejala yang biasa saja. 

Terobosan itu, papar Arie, bukan hanya dilakukan dengan mengandalkan peran parpol saja. Yang utama ialah mendorong pemilih sebagai subjek yang paling menentukan karena sudah menjadi haknya untuk bersuara. 

"Pendidikan politik harus didorong pada bagaimana rakyat bersuara. Kemudian juga organisasi sipil harus bisa mengontrol parpol yang condong oligarkis," jelas dia. (sumber : MICOM )