Minggu, 29 Agustus 2010

Potret Tumpulnya Nalar Politik

Sumber: JawaPos, 29 Agustus 2010
Judul Buku: Kisruh Peraturan Daerah: Mengurai Masalah dan Solusinya
Peresensi: Achmad Maulani
Penulis: R. Siti Zuhro, Lilis Mulyani dan Fitria
Penyunting: R. Siti Zuhro dan Eko Prasojo
Penerbit: Ombak, Jogyakarta dan The Habibie Center
Cetakan : I, Juli 2010
Tebal: x + 122 halaman

Baru-baru ini Kementerian Dalam Negeri merekomendasikan pembatalan sejumlah peraturan daerah (perda) yang dianggap bermasalah. Tak tanggung-tanggung, perda yang direkomendasikan untuk dibatalkan mencapai 1.000 perda. Jumlah tersebut lebih banyak daripada tahun lalu, sekitar 800 perda. Sebelumnya, selama 1999-2006, di antara 5.054 perda yang diterima Kementerian Dalam Negeri, 930 perda bermasalah.

Tumpulnya nalar politik. Itulah kira-kira gagasan yang ingin disampaikan buku ini di tengah kekisruhan beragam perda bermasalah yang sering dinilai merugikan masyarakat. Beberapa pertanyaan mendasar yang bernada gugatan coba dimunculkan buku ini untuk memastikan bahwa otonomi daerah yang sedang berjalan memang tidak melenceng dan mengalami defisit dalam pemaknaannya.

Tim peneliti dari The Habibie Center yang menulis buku ini memulai dengan pertanyaan-pertanyaan substansial: mengapa begitu banyak muncul perda bermasalah? Apakah perda-perda yang dilahirkan sebuah daerah semata-mata hanya digunakan untuk menggenjot pendapatan asli daerah (PAD) tanpa melihat aspek lain? Tidakkah disadari bahwa sebuah perda bukan hanya sebagai katalisator ekonomi, tetapi juga sebagai ”alat” untuk mengatur masyarakat?

Buku yang merupakan penelitian di wilayah Jabodetabek ini menjelaskan bahwa dalam konteks otonomi daerah, daerah memang dituntut memeras otak bagaimana meningkatkan jumlah PAD-nya. Nah, salah satu instrumen yang biasanya digunakan untuk memaksimalkan pendapatan daerah adalah melalui pajak dan retribusi. Namun, itu tidak berarti daerah diperbolehkan ”menghalalkan” segala cara untuk mencapai tujuannya, tetapi pada saat bersamaan justru melanggar undang-undang di atasnya serta melanggar hak-hak asasi warganya.

Uraian dalam buku ini ingin memberikan gambaran yang proporsional bahwa perda memang merupakan pilar utama yang memayungi realisasi otonomi daerah. Sebagaimana halnya undang-undang, perda memiliki karakteristik yang bersifat mengatur, khususnya mengatur relasi antara pemerintah daerah, masyarakat lokal, serta stakeholders lokal seperti dunia usaha.

Pada titik itulah sebenarnya keberadaan sebuah perda tentu tidak hanya mengatur hal-hal yang menyangkut kehidupan politik, sosial, dan budaya masyarakat, tetapi juga ekonomi daerah. Karena itu, perda akhirnya menjadi instrumen penting dalam meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan daerah.

Hasil penelitian yang dikomandani beberapa peneliti senior dari LIPI seperti Siti Zuhro dan guru besar UI Eko Prasojo ini menemukan beberapa temuan menarik terkait dengan tumbuh suburnya perda-perda bermasalah. Di antaranya, ada pemahaman yang belum sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) mengenai desentralisasi dan otonomi daerah. Akibatnya, peraturan-peraturan yang dibuat pemda acapkali dinilai tidak sinkron dan melanggar peraturan di atasnya.

Bahkan, tak jarang daerah memaknai kebijakan otonomi sebagai suatu semangat membangun daerah di satu sisi, namun pada saat bersamaan juga ingin melepaskan diri dari sistem sentralistik yang akhirnya melahirkan euforia otonomi daerah.

Selain itu, menurut para peneliti dalam buku ini, kewenangan yang diberikan pemerintah kepada pemda untuk mengatur daerahnya sendiri sering hanya dianggap sebagai peluang meningkatkan perekonomian daerah. Dampaknya, tak sedikit daerah yang ingin mengelola dan memaksimalkan potensi ekonomi yang dimilikinya dengan jalan ”nekat” mengeluarkan perda bermasalah.

Buku ini mencoba memberikan ilustrasi sederhana. Saat ini banyak kecenderungan perda dibuat untuk mencapai tujuan yang sempit dan jangka pendek. Banyak perda terkait dengan pajak dan retribusi yang dibuat oleh daerah cenderung memperburuk iklim investasi karena tidak ramah terhadap investasi dan mencitakan ekonomi biaya tinggi.

Hasil evaluasi yang dilakukan Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menunjukkan bahwa di antara 1.379 perda yang mengatur ketentuan pajak dan retribusi, 31 persen menghambat atau merusak iklim investasi di daerah. Hal tersebut disebabkan keinginan daerah untuk segera meningkatkan PAD-nya dengan cara menerapkan berbagai pungutan yang selama ini hanya berkisar 10-30 persen dari APBD yang disetujui.

Hasil riset yang dituangkan dalam buku ini menunjukkan adanya beberapa faktor yang mengakibatkan perda dinilai bermasalah. Pertama, kurang fleksibelnya aturan hukum yang mendukung pembentukan perda. Kedua, pembuatan perda seolah menjadi sebuah rutinitas pekerjaan saja, tanpa ada upaya lebih khusus untuk menciptakan aturan daerah yang berkualitas.

Ketiga, pelaksana pembentuk peraturan daerah (biro hukum dan perundang-undangan) dalam membentuk perda sering tidak didasarkan pada skala prioritas isu yang berkembang di masyarakat. Yang terjadi bahkan lebih banyak negosiasi antara DPRD dan pemda tentang isu mana yang menjadi bahasan raperda. Keempat, pembentukan perda masih kurang melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

Mencermati hal-hal di atas, buku ini merekomendasikan bahwa guna mencegah lahirya perda bermasalah dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tampaknya menjadi urgen melakukan pemberdayaan pemerintahan daerah melalui peningkatan kapasitas pembentukan peraturan daerah.

Langkah konkret yang ditawarkankan adalah meningkatkan kapasitas teknis pemerintah daerah dalam memahami materi kewenangan yang dimilikinya (rationae materie), wilayah wewenangnya (rationae locus), tenggang waktu kewenangannya (rationae temporis), serta prosedur pembentukannya. Dengan begitu, di masa depan kesalahan dalam pembentukan perda bisa diminimalkan.

Guna menembus kebuntuan dalam menyelesaikan banyaknya perda bermasalah, buku ini di akhir bagian megusulkan agar pemerintah menggunakan asas preventif dan represif. Artinya, perda yang terkait dengan kepentingan umum dan dampak dari kesalahan perda langsung dirasakan masyarakat, maka asas preventif bisa diberlakukan.

Kehadiran buku ini, saya kira, punya nilai strategis dalam rangka mereformasi birokrasi. Maka, sekali lagi, spirit utama yang ingin dikemukakan buku ini bahwa kekisruhan dalam munculnya perda bermasalah adalah potret tumpulnya nalar politik kekuasaan dalam melayani rakyatnya.

*) Achmad Maulani, peneliti ekonomi politik pada Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada


Pesan di Penerbit Ombak @Rp 30,000

Jumat, 13 Agustus 2010

Ryaas Usulkan Pemilukada Kembali ke Dewan

Politikindonesia - Wacana untuk mengembalikan Pemilukada ke pangkuan Dewan, kembali bergulir. Alasannya, masyarakat dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum siap menggelar Pemilukada adil dan transparan. Terbukti hampir di semua daerah, pelaksanaannya kacau akibat KPU tidak adil. Di sisi lain masyarakat dinilai belum siap menerima kekalahan.

"Kesimpulan kami di Dewan Pertimbangan Presiden, KPU dan masyarakat belum siap menggelar pilkada yang adil dan transparan," ujar Ryaas Rasyid, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Gowa, Sulawesi Selatan, kemarin.

Menurut Ryaas, sejak awal digelarnya Pemilukada langsung telah membuktikan ketidaksiapan penyelenggara. Yaitu KPU serta masyarakat. Ryaas juga menilai Pemilukada langsung tidak menjamin pemimpin yang dipilih sesuai harapan rakyat. Dalam catatan Ryaas, sejak 2005, sudah ada 150 kepala daerah, mulai gubernur, walikota, hingga bupati tersangkut kasus hukum.

"Itu semua hasil pemilihan langsung," katanya.

Karena itu, Ryaas menilai, pemilihan melalui Dewan, langkah demokratis dengan prinsip keterwakilan. Konstituen masing-masing Dewan bisa memprotes jika kepala daerah yang dipilih tidak prorakyat. Selain itu, kata dia, untuk mengontrol Dewan agar tidak melakukan money politics juga tidak sulit.

"Ciri masyarakat kita tidak tahan menyimpan uang. Maka akan ketahuan jika yang dibelanjakan tak sebanding dengan pendapatan sebagai Dewan," kata bekas Menteri Otonomi Daerah itu.

Sedang Ziaurrahman, anggota KPU Sulawesi Selatan (Sulsel) membantah jika dikatakan sumber kesalahan dan ketidakpastian itu ada pada KPU. Menurut penilaiannya, pemilihan langsung sudah berjalan baik. Hanya saja ada oknum anggota KPU yang bekerja di bawah tekanan oleh pasangan calon tertentu.

"Masyarakat dan pasangan calon juga ternyata tidak siap menerima kekalahan," katanya.

Siti Zuhro, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kepada politikindonesia.com, Selasa (06/07) lalu mengakui, semua tahapan Pemilukada rentan dengan konflik. Pada tahapan pencalonan saja, sudah mulai ada resistensi masyarakat. Bahkan ada kantor KPUD yang dibakar massa.

Menurut Siti hal itu disebabkan kurangnya sosialisasi tahapan-tahapan pemilukada juga persyaratan calon. Siti yang juga anggota Tim Perumus RUU Pemilukada menegaskan, pihaknya tengah memikirkan langkah antisipatif dalam setiap tahapan, agar dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik dan bentrokan massa. Termasuk menyiapkan lembaga peradilan ad hoc di setiap tahapan.

Siti juga mengakui, tidak sedikit konflik Pemilukada yang disebabkan ketidakmampuan penyelenggara Pemilukada. Baik KPUD maupun Panwasda-nya. "Di beberapa Pemilukada muncul kasus, mereka tidak independen dan cenderung partisan. Misalnya panwasda-nya cenderung ke incumbent, atau KPUD-nya condong ke calon lain," ujarnya. Padahal masing-masing harus independen, netral, profesional.

Meski demikian, kondisi itu tak serta merta harus menghapuskan penyelenggaraan Pemilukada langsung. Menurut Siti, penyelenggaraan pemilukada langsung masih relevan untuk dilaksanakan. Hanya saja katanya, perlu disesuaikan dengan titik berat pelaksanaan otonomi daerah. Apakah di level provinsi atau kabupaten/kota. Jika titik berat otonomi daerah di tingkat provinsi maka Pemilukada langsung cukup dilakukan di tingkat provinsi. Begitu juga sebaliknya.

Namun dalam sebuah paparan di blog miliknya, Siti cenderung mengusulkan pemilukada tingkat gubernur lebih tepat dipilih oleh DPRD. Alasannya, gubernur tidak punya rakyat langsung, dan dia sebagai koordinator dan pengawasan. Karena itu katanya, sebagai perpanjangan pemerintah pusat, peran gubernur perlu diberi penguatan. Ujungnya, akan berkonsekuensi pada penghapusan Pemilukada langsung di tingkat gubernur.

"Ini kerangkanya untuk menjaga kedaulatan juga. Ancaman kedaulatan kita bukan ancaman dari luar negeri, tapi kegagalan otonomi daerah ini," ujar Siti mengingatkan.
(sa/na)

Kamis, 12 Agustus 2010

Keluhan Pemimpin

Keluhan Pemimpin
R Siti Zuhro
Peneliti LIPI


Kamis, 12 Agustus 2010
Sejak 1999, Indonesia telah berhasil menggelar pemilihan umum (pemilu) yang relatif bebas dan demokratis. Dalam kurun waktu tersebut, ada empat presiden telah memimpin negeri ini. Melalui sistem demokrasi, impian untuk menghasilkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan bertanggung jawab dalam mempromosikan keadilan dan kesejahteraan rakyat diharapkan dapat cepat terwujud. Namun, kenyataannya tetap saja dirasakan rakyat jauh panggang dari api.
Alih-alih menjadi sejahtera, rakyat justru disuguhi banyaknya berita tentang praktik korupsi yang cenderung semakin "menggila". Di tengah tingkat kemiskinan yang masih cukup tinggi misalnya, rakyat benar-benar dibuat terbelalak oleh berita tentang jumlah harta yang diduga berhasil dikorupsi tersangka Gayus Tambunan, pegawai Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak.
Dengan kondisi seperti itu, tidaklah keliru bila banyak di antara warga masyarakat mempertanyakan kualitas dan kapabilitas pemimpinnya. Tak seperti negara yang demokrasinya relatif mapan, munculnya tuntutan tersebut dapat dipahami mengingat sistem politik Indonesia masih dalam proses mencari bentuk dan konsolidasi.
Dalam konteks ini, kehadiran tokoh yang memiliki sikap "kepemimpinan luar biasa" menjadi sebuah keharusan. Dengan kondisi politik yang masih rentan konflik dan instabilitas politik dan keamanan, Indonesia memerlukan pemimpin yang tak hanya bersifat normatif, tetapi juga yang aspiratif, tegar, tegas, dan tidak elitis.
Bahwa beban yang harus ditanggung seorang pemimpin di Indonesia sangat berat, itu jelas tak bisa dibantah. Hal ini dengan jelas dapat dilihat dari tingkat kemiskinan di Indonesia yang masih mencapai sekitar 32,7 juta jiwa dengan tingkat pengangguran sekitar 23 juta jiwa.
Dengan kondisi semacam itu, ancaman jiwa yang dihadapi seorang pemimpin dari segelintir rakyat yang frustrasi seolah menjadi konsekuensi logis yang harus ditanggungnya. Realitas ini seharusnya dihadapi dengan tenang, tapi tetap serius dalam mencari dan mewujudkan solusi yang tepat. Ibarat seorang ibu yang tak punya uang untuk membeli beras, ia harus bisa tersenyum di hadapan anaknya yang meminta makan.
Seorang pemimpin harus selalu bisa menjadi penyemangat rakyatnya untuk bisa bangkit dan tetap optimistis. Jadi, jangan mudah mengeluh. Keluhan sekecil apa pun merupakan hal yang tabu yang harus bisa disembunyikan seorang pemimpin di balik senyum-rekahnya itu. Ketidakmampuan dalam memegang prinsip tersebut akan sangat memengaruhi kredibilitas dan kualitas kepemimpinannya.
Karena itu, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal ancaman terorisme yang mengincar keselamatannya seharusnya tak menjadi konsumsi publik. Apalagi, ini bukan hal yang pertama kali dilontarkannya. Yang seharusnya perlu dikemukakan adalah seruan kepada rakyat untuk selalu waspada akan ancaman dan bujukan untuk menjadi teroris yang bisa mencelakakan mereka.
Masalah ledakan tabung gas, kenaikan tarif dasar listrik (TDL), dan kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok (sembako) telah memusingkan banyak rakyat. Maka, sekecil apa pun keluhan seorang pemimpin akan semakin menambah penderitaan mereka. Yang sangat dinanti rakyat adalah sampai kapan keadilan dan kesejahteraan rakyat yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 tak lagi sekadar menjadi ungkapan retoris. ***

Senin, 09 Agustus 2010

Banyak Mengeluh, Presiden Tak Pahami Rakyat



KEPEMIMPINAN NASIONAL
Banyak Mengeluh,
Presiden Tak Pahami Rakyat


Siti Zuhro,Peneliti LIPI.

Suara Karya, Senin, 9 Agustus 2010

JAKARTA (Suara Karya): Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai tidak mampu menjalankan perannya sebagai pemimpin nasional yang menjadi tumpuan harapan masyarakat.
Dalam pandangan publik, Presiden dikenal sebagai pemimpin peragu, memiliki karakter elitis dan normatif, dan dalam banyak kesempatan Presiden terlalu banyak menuntut pengertian dari masyarakat.
Lemahnya kepemimpinan nasional seperti ini bakal menyulitkan pemerintah sendiri dalam bekerja melaksanakan program pembangunan. Sementara di sisi lain, rakyat yang kian apatis dan tak percaya pada kredibilitas dan kapabilitas pemimpinnya seperti itu, sulit diajak berpartisipasi mendukung program-program pemerintah.
Demikian rangkuman pendapat pengamat politik dari Universitas Indonesia Boni Hargens, Direktur Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya, peneliti LIPI Siti Zuhro, dan pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Abdul Gafur Sangadji yang disampaikan kepada Suara Karya secara terpisah di Jakarta, Minggu (8/8).
"SBY itu belum menunjukkan kualitas dan kapabilitasnya sebagai pemimpin nasional yang mampu merangsang dan mendorong rakyat. Bayangkan saja, SBY justru banyak mengeluh dan minta dikasihani, padahal seharusnya rakyat yang mengadu kepada pemimpinnya. Ini kan terbalik," ujarnya.
Boni Hargens kemudian mencontohkan, pengaduan Presiden SBY yang mengaku memperoleh ancaman dari pihak-pihak yang berniat tidak baik saat melakukan kunjungan kerja ke Ciwidey, Jawa Barat, Sabtu (7/8).
Pengaduan memperoleh ancaman ini sudah disampaikan SBY untuk kesekian kalinya. Bahkan, Presiden juga meminta publik agar memaafkan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) yang belakangan ini sering dinilai publik bertindak tidak sepatutnya.
"SBY hendaknya bersedia mengorbankan kebutuhan dan kepentingan jabatannya dibanding kepentingan masyarakat luas. Sebab, ia terpilih sebagai presiden karena pilihan rakyat pada Pilpres 2009. Jadi, jangan sebentar-sebentar mengeluh, padahal rakyatnya juga susah," tuturnya.
Pernyataan Presiden yang meminta pengertian dari masyarakat terkait ketatnya pengamanan atas diri Presiden, menurut Boni, bukan substansi yang dipersoalkan masyarakat.
Justru masyarakat sebenarnya meminta Presiden lebih memberi intervensi agar pengamanan terhadap Kepala Negara dapat dilakukan dengan cara-cara humanis.
Contoh humanis, menurut dia, Paspampres melakukan pengawasan siaga tanpa memberikan kesan arogan serta tidak minta prioritas secara terbuka kepada masyarakat.
"Defenisi ketat atau tidak ketat, pengamanan itu bukan berdasarkan jumlah personel, melainkan pengamanan ketat berdasarkan kesiagaan. Jumlah personel sedikit, tapi siaga penuh tetap dikategorikan pengamanan ketat," ujarnya.
Karena itu, Boni menilai, SBY tidak memahami kebutuhan dan harapan masyarakat. SBY relatif kaku untuk berinteraksi langsung dengan rakyatnya. Seharusnya, menurut dia, sebagai pemimpin nasional SBY yang lebih banyak berkorban kepada masyarakat.
"Pernyataan SBY yang mengharapkan pengertian dari masyarakat menggambarkan sosok SBY sebagai pemimpin yang kurang merakyat. Sebab, tipikal seperti itu hanya lebih banyak menuntut daripada memberi," ujarnya.
Yunarto tidak menyalahkan adanya pandangan dan penilaian publik bahwa SBY seorang pemimpin yang peragu dan memiliki karakter elitis dan normatif. SBY terlalu banyak menuntut pengertian dari masyarakat. "Curhat itu semakin memperlihatkan karakter 'elitis' dari seorang SBY dalam menjalankan manajemen kepemimpinannya," ujarnya.
Ia menilai logika komunikasi politik SBY yang multitafsir berpotensi berakibat negatif pada setiap lapisan masyarakat. Efek negatif itu bisa berupa interpretasi dan reaksi yang berbeda-beda pada setiap individu dan komunitas yang peduli terhadap persoalan ini.
Yunarto mencontohkan multitafsir presiden tentang sejumlah orang di sekitar Ciwidey (Jawa Barat) yang berniat tidak baik dan bermaksud memberikan ancaman untuk mengganggu kelancaran kunjungan kerja Presiden. "Kondisi ini bukan tidak mungkin malah berpotensi menjadi pemicu konflik opini," ujar Yunarto.
Sikap SBY yang minta dikasihani rakyat itu justru melemahkan otoritasnya sebagai seorang kepala negara. "Ini bukan pertama sekali terjadi. Gaya SBY menunjukkan gaya kepemimpinan yang lemah seperti dikritik banyak pihak. Keluhan SBY bisa diartikan sebagai bentuk keputusasaan sebagai penanggung jawab jalannya roda negara," ujar Yunarto.
Dalam konsep organisasi sosial, bisnis, maupun kenegaraan, ia menjelaskan, seorang pemimpin harus menjadi orang terakhir yang mengeluh karena itu akan berdampak pada penyebaran pesimisme.
Terkait pengawalan presiden, Yunarto mengatakan, seharusnya SBY tidak melihat tuntutan masyarakat secara sempit yang dikaitkan dengan prosedur dan undang-undang. "Kritikan masyarakat itu harus dilihat secara humanis sebagai bentuk kekecewaaan terhadap kemacetan yang dialami masyarakat. Kalau presiden tidak merasakan macet itu karena dapat prioritas jalan, " ujarnya.
Abdul Gafur Sangaji berpendapat, menginjak periode kedua masa kepemimpinannya SBY menunjukkan sebagai seorang yang antikritik. Ketika ada kritik yang dilontarkan tokoh masyarakat atau politisi seperti dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, SBY kemudian tampil di media massa dengan wajah seolah telah dizalimi, dan kemudian minta dikasihani.
"SBY bisanya hanya mengeluh kemudian membuat opini untuk menunjukkan sebagai pihak yang selalu didzalimi. Kritik itu harus diterima," katanya.
Siti Zuhro mengingatkan, Presiden SBY tidak perlu khawatir terhadap kritik-kritik masyarakat yang ditujukan kepada dirinya, kritikan itu kata Siti Zuhro merupakan hal yang perlu dalam upaya memperbaiki kinerja pemerintahan.
"SBY itu dipilih langsung oleh rakyat, kalau rakyat complain terhadap kinerja pemerintah, itu sah-sah saja, apalagi pemerintahan SBY ini kan bukan pemula. Jadi wajar saja kalau rakyat mempertanyakan slogan kampanye lanjutkan yang digembar-gemborkan pemerintahan SBY," kata Siti Zuhro.
Siti Zuhro juga menolak jika kritikan-kritikan dari masyarakat merupakan bentuk penzaliman terhadap pemerintah. Bagi Siti Zuhro, penzaliman atau pembunuhan karakter seseorang sesungguhnya bisa diukur kebenarannya. (M Kardeni/Feber S/Rully)