Rabu, 28 April 2010

Siti: Anas Paling Tepat Pimpin Demokrat

KONGRES DEMOKRAT
Editor: made
Komentar
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Anas Urbaningrum (kanan) dan juru bicara tim sukses SBY-Boediono, Rizal Mallarangeng saat jumpa pers di Bravo Media Center, Jumat (29/5). Jumpa pers ini membahas mengenai penolakan kubu SBY-Boediono terhadap politisasi agama dalam pelaksanaan Pilpres 2009.

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI, Siti Zuhro, menilai sosok Anas Urbaningrum merupakan figur yang paling tepat memimpin Partai Demokrat karena memiliki kemampuan, santun, dan tidak pernah berkonflik. "Selain memiliki kemampuan, Anas juga tidak memiliki konflik sehingga dapat mencegah perpecahan partai dan mempertahankan soliditas partai," kata Siti Zuhro ketika ditanyakan peluang kandidat ketua umum Partai Demokrat mendatang, Rabu (28/4/2010) di Jakarta.

Menurut Siti, Partai Demokrat memerlukan sosok pemimpin yang mampu membesarkan partai dan menyiapkan kader-kader partai berkualitas untuk mengisi posisi-posisi strategis di legislatif dan eksekutif.

Di sisi lain, Partai Demokrat juga harus menyiapkan kader terbaiknya untuk dicalonkan menjadi presiden pada Pemilu 2014. Sosok itu haruslah yang memiliki visi dan misi jauh ke depan, berkarakter, santun, tidak memiliki konflik, tidak ambisius, berpengalaman mengelola partai, dan profesional. "Sosok itu ada pada Anas Urbaningrum. Dia memiliki potensi untuk melanjutkan kepemimpinan SBY di Partai Demokrat," kata Siti Zuhro.

Lebih lanjut Siti menilai, Anas dan Andi Mallarangeng sama-sama merupakan kader terbaik Partai Demokrat. Namun, untuk kepentingan masa depan Partai Demokrat, Anas dianggap lebih pas untuk memimpin Partai Demokrat.

Siti berharap, Kongres ke-2 Partai Demokrat di Bandung pada Mei mendatang akan berjalan secara demokratis sebab hal itu akan menjadi taruhan bagi Partai Demokrat dan SBY sebagai seorang Demokrat.

Melalui kongres itu pula, tambahnya, kadar kenegarawanan SBY akan diuji. Sebagai seorang Demokrat, lanjut Siti, SBY pasti tidak ingin rusak namanya hanya karena kongres Partai Demokrat.

Siti berharap, Kongres Partai Demokrat tidak hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan untuk kepentingan jangka pendek, tetapi juga menjadi pasar ide yang bertujuan untuk membesarkan partai. Dengan demikian, katanya, dalam memilih pemimpin, kader Partai Demokrat akan selalu memikirkannya untuk kepentingan jangka panjang.

Kamis, 22 April 2010

JELANG KONGRES DEMOKRAT: Energi Muda dan Kemauan Lepas dari Pengkultusan Cikeas

Laporan: Aldi Gultom




Jakarta, RMOL. Tidak dapat dibantah, Cikeas adalah faktor penting dalam sejarah berdirinya Partai Demokrat disamping faktor yang lainnya. Kediaman Ketua Dewan Pembina, Susilo Bambang Yudhoyono, itu disebut-sebut sebagai tempat awal sejarah perjuangan Partai Demokrat dimulai.

Partai Demokrat didirikan atas inisiatif Susilo Bambang Yudhoyono yang terilhami oleh kekalahannya pada pemilihan Calon wakil Presiden dalam Sidang MPR tahun 2001. Demokrat akhirnya didaftarkan ke Deparetemen Kehakiman dan HAM pada September 2001. Selanjutnya pada tanggal 17 Oktober 2002 di Jakarta Hilton Convention Center (JHCC), Partai Demokrat dideklarasikan dan dilanjutkan dengan Rapat Kerja Nasional (Rakemas) Pertama pada tanggal 18-19 Oktober 2002 di Hotel Indonesia yang dihadiri Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) seluruh Indonesia.

Cikeas adalah tepat awal komitmen untuk menjadikan partai yang usianya tak lebih dari 10 tahun tapi bisa mewujud sebagai partai menengah menuju ke partai terbesar. Suara 7,5 persen pada pemilu legislatif pertamanya tahun 2004 dianggap banyak kalangan sebagai prestasi dan kemajuan luar biasa yang jarang dimiliki partai politik lain di Indonesia.

Memang kurang dari 10 persen, tetapi perolehan itu dapat menjadikan SBY sebagai Presiden hasil Pemilu Presiden langsung pertama di bawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan Rakyat Merdeka Online, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, mengatakan meskipun berusia muda, Partai Demokrat diakui memiliki kemajuan fundamental yang cepat. Sebagai partai baru muncul dan dideklarasikan untuk Pemilu 2004, Demokrat mampu menjadi partai menengah dari hasil pemilihan 2004. Dan di 2009, menjadi partai terbesar.

Kini, tugas besar yang harus dilakukan Demokrat bila ingin menjadi tetap di hati rakyat, ia harus mampu memanajerial dan memunculkan kader baru. Siti menganjurkan Demokrat membangun paradigma baru untuk lebih modern, memunculkan kader berkualitas, transformatif. dan tidak berpikir secara internal saja tetapi mengantisipasi persaingan secara baik dengan partai lain.

Di usia muda yang masih membutuhkan kawalan Dewan Pembina, peran SBY memang tak bisa enyah sama sekali. Menurut Siti, di titik ini yang menjadi masalah. SBY harus bersikap sebagai seorang pemimpin sejati yakni mempersiapkan siapa pengganti yang lebih baik dari dirinya.

Siti juga mengingatkan SBY untuk selalu waspada akan kelompok-kelompok yang selalu mengkultuskan ketokohannya. Kelompok ini kemungkinan besar hanya memuja-muji SBY hanya untuk keuntungan kelompoknya.

"Golongan ini yang ingin amankan posisinya. Orang yang dikultuskan harus cerdas. Nanti Demokrat ternyata sibuk sendiri secara internal dengan prosesi kultus itu dan akan selesai di kultus individu," tandas Siti Zuhro.

Pengamat Politik Universitas Indonesia Boni Hargens, pernah mengatakan, kendati pemilihan ketua umum pada kongres yang akan digelar Mei mendatang di Bandung, Jawa Barat, oleh DPC dan DPD yang memiliki hak suara, namun faktor dukungan SBY ikut menentukan.

"Bagaimana pun faktor pilihan SBY ikut berperan," ujar Boni.

Boni mengatakan, dalam menentukan pilihannya, SBY akan melihat tiga hal dari para kandidat ketua umum yakni nasionalisme, tradisionalisme, dan paternalisme.

Berkaitan nasionalisme, SBY, Boni menjelaskan, tentunya akan mencari figur pemersatu. Sedangkan untuk tradisional, SBY akan mengutamakan calon dari Jawa karena pertimbangan loyalitas. Sementara berkaitan dengan paternalisme, faktor usia calon sangat menentukan.

Sebenarnya, ada satu isu lagi yang sempat hangat pada akhir tahun lalu. Unsur nepotisme dan pengkultusan keluarga Cikeas yang terasa kental di Demokrat diyakini akan membuka peluang keluarga Cikeas menjabat kursi pimpinan tertinggi di Demokrat pada kongres ke II mendatang. Namun, untungnya isu cepat-cepat dibantah.

Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Ahmad Mubarok mengatakan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat SBY diyakini tidak mengizinkan Ani Yudhoyono ikut bertarung dalam perebutan kursi ketua umum dalam Kongres mendatang. Sebab, dikhawatirkan akan memberi ke­san ada nepotisme. Padahal, kader Partai Demokrat sangat berharap agar Ani Yudhoyono dapat menggantikan Hadi Utomo. Sementara jauh-jauh hari sebelumnya, Hadi Utomo sudah menegaskan dirinya tidak maju lagi dengan alasan faktor usia.[ald]

Selasa, 20 April 2010

Keniscayaan Reformasi Birokrasi


Siti Zuhro
Ahli Peneliti Utama Bidang Politik LIPI


Selasa, 20 April 2010

Sulit dimungkiri bahwa terkuaknya skandal Bank Century dan mafia pajak telah membuat nurani publik makin ternista. Ketika banyak rakyat bergumul untuk sekadar bisa makan, ada sejumlah oknum yang asyik bersekutu mengkhianati mereka.
Lepas dari sosoknya yang kontroversial, dukungan rakyat kepada Susno Duadji atas berbagai dugaan kasus yang diungkapkannya secara jelas menunjukkan makin kerasnya gugatan akuntabilitas publik (public accountability) kepada para pemegang kekuasaan yang dinilai gagal menegakkan law enforcement dan keadilan. Terkuaknya kasus Bank Century dan mafia pajak menjadi bukti konkret pentingnya reformasi birokrasi secara komprehensif dan terus-menerus di semua pemegang kekuasaan (SDM) dan institusi kenegaraan. Tidak bisa tidak bahwa kasus tersebut harus dijadikan sebagai momentum reformasi birokrasi pada semua cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif).
Ibarat "bedol desa", reformasi harus menyentuh baik suprastruktur politik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) maupun infrastruktur politik (partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, media massa, dan tokoh politik/organisasi kemasyarakatan).
Tanggung jawab keberhasilan itu terutama berada di pundak Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Presiden RI. Tanpa political commitment keduanya, hampir dipastikan reformasi birokrasi di semua instansi pemerintah dan pemerintah daerah akan kembali menjadi sekadar jargon kosong sebagaimana disaksikan rakyat dari rezim ke rezim.
Rakyat sangat berharap agar Presiden, khususnya, dapat bersikap lebih tegas, assertive, dan decisive dalam mengupayakan reformasi birokrasi mulai dari pusat sampai daerah. Penataan birokrasi perlu dilakukan dengan lebih konkret. Untuk itu, antara lain, diperlukan adanya penerapan merit system, reward and punishment.
Kuatnya power culture dan tabiat safety first philosophy (cari amannya saja) yang melekat dalam karakter birokrat juga perlu dieliminasi. Kebijakan remunerasi yang telah diberlakukan di beberapa instansi tetap penting untuk dilanjutkan, tetapi kebijakan tersebut harus disertai dengan pengawasan yang memadai dan upaya keras mengubah mental atau mindset birokrat dari budaya korup yang telanjur mengkronis selama ini. Tidak pada tempatnya apabila para pejabat dan korps institusi menunjukkan sikap defensifnya karena adanya dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oknum-oknum di instansinya.
Sebagai pemilik sah negara, kesadaran rakyat perlu terus dibangkitkan untuk meningkatkan dukungan dan pengawalannya agar gerakan nasional reformasi birokrasi mendapat dukungan politik yang konkret dari Presiden dan para stakeholders negeri ini, baik di pusat maupun daerah, termasuk elite-elite parpol.
Tanpa pengawalan dan dukungan yang berkelanjutan, momentum reformasi birokrasi akan kembali stagnan dan kehilangan geregetnya. Untuk itu, sudah seharusnya rakyat tak lagi menunjukkan sikap permisifnya kepada para koruptor dan pengkhianat negara. Momentum skandal Bank Century dan pajak terlalu mahal untuk dibiarkan menguap. Sebab, hanya di tangan rakyat itu sendiri baik-buruk nasibnya bergantung.***

Kamis, 15 April 2010

Arif Wibowo: Pengawasan Parpol Terhadap Birokrasi Belum Efektif

Politikindonesia - Tak dapat dipungkiri, gagalnya reformasi birokrasi di Indonesia disebabkan lemahnya pengawasan partai-partai politik terhadap jalannya birokrasi. Kepentingan-kepentingan politik membuat birokrasi menjadi tidak mandiri. Karena itu reformasi birokrasi juga harus diartikan sebagai reformasi partai-partai politik.

Demikian diungkapkan Arif Wibowo, anggota Komisi II DPR dari F-PDIP yang ditemui politikindonesia di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (15/04). Arif mengatakan, parpol harus memperbaiki mekanisme rekruitmen. Parpolnya harus semakin baik. Juga harus mau secara terbuka diawasi oleh masyarakat.

Arif mengakui, birokrasi selama ini menjadi mesin politik dari suatu kepentingan parpol. Bahkan dalam artian yang lebih sempit, menjadi kepentingan mafia birokrasi. Karena itu menurut Arif, parpol pemenang pemilu memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam mengawasi jalannya birokrasi. Dalam artian, gagalnya reformasi birokrasi juga berarti gagalnya parpol tersebut dalam mengawasi jalannya birokrasi.

Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Jember itu menambahkan, selama ini yang selalu mendapat tudingan atas gagalnya reformasi adalah lembaga perwakilan. Namun sebenarnya semua lembaga bermasalah. Karena itu harus segera dilakukan perubahan secara menyeluruh. Komisi II kini tengah menunggu grand design reformasi birokrasi dari Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. “Tahun ini diharapkan sudah rampung,” ujarnya.

Grand design tersebut menurut Arif setidaknya mencakup tiga hal penting. Utamanya, pengawasan. Kedua, birokrasi harus ramping. Ketiga, rentang kendalinya harus diperpendek. Jangan seperti sekarang katanya, sudah pengawasannya lemah, birokrasinya gemuk dan rentang kendalinya panjang sehingga sulit untuk dikontrol. “Sistem semacam ini, rentan terhadap Kolusi, Korupsi dan Nepotisme,” tegasnya.

Tak hanya itu, tambah Pria kelahiran Madiun 28 Juni 1968 itu. Birokrat, sebagai pelaksana birokrasi itu memiliki kewenangan teknis. Ia bukan pengambil kebijakan. Karena itu ke depan hal itu harus dibatasi. Diakui, selama ini birokrasi mengambil sebagian besar kebijakan yang ada. Padahal dalam praktiknya, siapapun menteri yang memimpin birokrasi, nyatanya tidak pernah mampu mengendalikan birokrasi.

Arif menegaskan, jika mau membersihkan birokrasi dari hal-hal yang sifatnya koruptif, maka tidak cukup jika hanya ditangani suatu Kementerian PAN saja. Perlu ada institusi khusus yang bertugas secara penuh dalam upaya reformasi birokrasi. Sehingga dapat fokus mengatasinya.

“Menpan memang ada upaya ke sana tetapi menurut saya kurang fokus karena terlalu banyak yang harus diurusi,” ujarnya.

Institusi khusus tersebut, apapun namanya, harus diberi kewenangan untuk memeriksa seluruh harta kekayaan pejabat. Tidak saja yang duduk di lembaga perwakilan tetapi juga di semua lembaga tinggi negara. “Pokoknya semua institusi birokrasi harus dicek daftar kekayaan mereka,” tambahnya.

Arif tidak sependapat dengan langkah reformasi birokrasi yang hanya mengutamakan remunerasi, tanpa memperketat sistem pengawasannya. Tentang bagaimana sistem pengawasan yang efektif dan berdaya guna, nantinya akan dibahas bersama pemerintah.

Senada dengan Arif, pengamat politik LIPI, Siti Zuhro dalam diskusi bertajuk “Mafia Kasus di Pusat dan Daerah”, di Jakarta, Rabu (07/04) juga mengatakan, reformasi birokrasi yang selama ini digaungkan pemerintah ternyata belum sepenuhnya membebaskan birokrasi dari cengkeraman kepentingan politik pragmatis. Sebaliknya, birokrasi justru kerap dimanfaatkan untuk memenuhi kepentingan politik partai sehingga menyebabkan terhentinya agenda reformasi birokrasi di tingkat pusat dan daerah.

Menurut Siti, reformasi birokrasi hingga saat ini masih sebatas retorika politik yang belum mampu dilaksanakan secara serius oleh pemerintah. “Sekarang ini, reformasi birokrasi belum mampu mewujudkan aparat birokrasi yang profesional. Kita bakan seperti kembali ke era Orde Lama, di mana birokrasi sering menjadi rebutan kepentingan partai. Reformasi birokrasi belum ditata serius,” ujar Siti.
(sa/yk)