Kamis, 25 Maret 2010

Budaya Politik dan Demokrasi


R Siti Zuhro
Ahli Peneliti Utama LIPI


Kamis, 25 Maret 2010
Hubungan antara budaya politik dan demokratisasi sangat erat. Budaya politik memiliki pengaruh penting dalam perkembangan demokrasi. Demokratisasi tidak berjalan baik apabila tidak ditunjang oleh terbangunnya budaya politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam merespons tuntutan perubahan, kemungkinan munculnya dua sikap yang secara diametral bertentangan, yaitu "mendukung" (positif) dan kemungkinan pula "menentang" (negatif), sulit dielakkan. Sebagai sebuah proses perubahan dalam menciptakan kehidupan politik yang demokratis, realisasi demokratisasi juga dihadapkan pada kedua kutub yang bertentangan itu, yaitu budaya politik masyarakat yang mendukung (positif) dan yang menghambat (negatif) proses demokratisasi.
Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi, pandangan, dan sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik yang demokratis akan mendukung terciptanya sistem politik yang demokratis. Budaya politik demokratis adalah suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi dan sejenisnya yang menopang terwujudnya partisipasi (Almond dan Verba). Budaya politik yang demokratis merupakan budaya politik yang partisipatif, yang diistilahkan oleh Almond dan Verba sebagai civic culture. Karena itu, hubungan antara budaya politik dan demokrasi (demokratisasi) dalam konteks civic culture tidak dapat dipisahkan.
Adanya fenomena demokrasi atau tidak dalam budaya politik yang berkembang di suatu masyarakat tidak hanya dapat dilihat dari interaksi individu dengan sistem politiknya, tetapi juga interaksi individu dalam konteks kelompok atau golongan dengan kelompok dan golongan sosial lainnya. Dengan kata lain, budaya politik dapat dilihat manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat dan struktur politiknya, dan dalam hubungan antarkelompok dan golongan dalam masyarakat itu.
Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan adalah "sub-budaya etnik dan daerah" yang majemuk pula. Keanekaragaman tersebut akan membawa pengaruh terhadap budaya politik bangsa. Dalam interaksi di antara sub-sub budaya politik, kemungkinan terjadinya jarak tidak hanya antarbudaya politik daerah dan etnik, tetapi juga antarbudaya politik tingkat nasional dan daerah. Apabila pada tingkat nasional yang tampak lebih menonjol adalah pandangan dan sikap di antara sub-subbudaya politik yang berinteraksi, pada tingkat daerah yang masih berkembang adalah "'sub-budaya politik" yang lebih kuat dalam arti primordial.
Dari uraian di atas bisa dibedakan kiranya antara budaya politik (political culture) dan perilaku politik (political behaviour). Yang tersebut terakhir kadang-kadang bisa dipengaruhi oleh budaya politik. Namun, budaya politik tidak selalu tergantung pada perilaku politik. Apakah sistem budaya yang ada cenderung bersifat komunal/kolektif atau individual? Masalahnya adalah apakah nilai-nilai demokrasi kompatibel dengan nilai-nilai budaya politik lokal dan sebaliknya.
Agenda demokratisasi seharusnya dipandang berdimensi horizontal (pengaturan hubungan antarinstitusi politik utama) dan vertikal yang membuka ruang bagi akses warga untuk terlibat dalam proses politik dan pemerintahan. Keduanya bisa saling memperkuat dan berjalan simultan. Untuk itu, diperlukan upaya memupuk vitalitas demokrasi seperti pengembangan nilai dan keterampilan demokrasi di kalangan warga, meningkatkan akuntabilitas dan responsivitas terhadap kepentingan publik dan meningkatkan checks and balances dan rasionalitas politik di antara lembaga-lembaga kekuasaan. Dengan melakukan hal tersebut, jalan bagi demokrasi menjadi lebih terbuka.***

Kamis, 18 Maret 2010

LIPI: UU PPA Perlu Direvisi

JAKARTA-–Saksi ahli Mahkamah Konstitusi dan Peneliti LIPI, Siti Zuhro, berpendapat Indonesia bukanlah negara agama, tapi juga bukan negara sekuler. Namun, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat komunal yang menghargai nilai keagamaan cukup tinggi. Karena itu, solusi terbaik adalah merevisi UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama (PPA) untuk mengatasi sikap pro-kontra masyarakat. "Karena itu, kami mengusulkan agar UU ini direvisi sesuai konteks," cetusnya dalam sidang uji materi UU PPA di Gedung Mahkamah Konstitusi, di Jakarta, Rabu, (17/3).

Zuhro mengakui pencabutan UU PPA bukan solusi untuk menjaga kerukunan umat beragama. Bahkan, bila hal itu dilakukan, bisa jadi akan memunculkan masalah baru dalam hubungan antar umat beragama. Namun, UU PPA hingga kini telah berusia 45 tahun dan tidak mengalami perubahan sedikit pun. Padahal, zaman dan kebutuhan masyarakat Indonesia terus mengalami perubahan. Karena itu, sudah sepatutnya UU PPA direvisi agar bisa disesuaikan dengan konteks masyarakat Indonesia saat ini.

Selain itu, menurut Zuhro, Indonesia merupakan negara yang menganut demokrasi dan hak asasi manusia. Karena itu, negara sudah seharusnya mengakui hak kebebasan beragama bagi warganya tanpa membedakan kelas, ras, dan agama. Namun, masih ada sebagian warga yang merasa diperlakukan diskriminatif oleh UU PPA. "Karena itu, revisi terhadap UU PNPS ini diperlukan agar harmoni terwujud, kerukunan yang hakiki ada, dan diskriminasi bisa dieliminasi sehingga kepercayaan bisa terbangun," imbuhnya.

Redaktur: Budi Raharjo

Rabu, 17 Maret 2010

Seharusnya Masyarakat Sambut Positif Obama

Kedatangan Obama dinilai dapat menaikkan popularitas Indonesia di mata dunia.
Siswanto, Suryanta Bakti Susila
Patung Obama di Taman Menteng (VIVAnews/Tri Saputro)

Metro - VIVAnews - Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan mestinya masyarakat menyambut positif rencana kunjungan Presiden Amerika Serikat Barack Obama ke Indonesia pada akhir Maret 2010. Sebab, kedatangan Obama dinilai dapat menaikkan popularitas Indonesia di mata dunia.

“Ini justru momen penting. Saatnya menyuarakan kepada Amerika Serikat agar lebih mempertimbangkan dunia ketiga,” kata Siti Zuhro usai menghadiri sidang uji materi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang penodaan Agama di gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu 17 Maret 2010.

Menurut Siti Zuhro, dalam geopolitik internasional maupun sosio politik, Indonesia sebagai negara demokrasi besar di dunia, justru harus leading. Maksudnya, menjadi negara yang diperhitungkan, seperti yang pernah terjadi pada masa kepemimpinan mendiang Presiden Soekarno.

“Itu nilai pentingnya kedatangan Obama. Jadi, bukan semata kepentingan domestik,” katanya.

Sebelumnya VIVAnews memberitakan rencana kedatangan Obama mendapat berbagai reaksi. Ada yang menyambut baik. Ada juga yang menolaknya. Salah satu alasan penolakan kedatangan Obama ialah dia dianggap sebagai pelanggar HAM terkait dengan kebijakan terhadap negeri-negeri Islam.

• VIVAnews

Jumat, 12 Maret 2010

Desakan Mundur Marzuki Alie: Demokrat Ingin Dihentikan

http://epaper.suarapembaruan.com/?iid=34232&startpage=page0000002

Penanganan Pajak Bakrie Bergaya Orde Baru

REPUBLIKA, JAKARTA—-Analisis politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menyatakan, penanganan kasus pajak perusahaan milik Aburizal Bakrie mencerminkan kondisi politik Indonesia yang masih bergaya Orde Baru. Ciri paling kental perpolitikan di masa pemerintahan Soeharto adalah menyelesaikan masalah dengan membuat masalah baru tanpa langkah tegas untuk mengakhiri masalah.

Kasus pajak Bakrie yang seharusnya diselesaikan pada jalur administratif mulai dipermainkan menjadi komoditas politik yang sengaja ditujukan untuk mempengaruhi opini publik. Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono senantiasa menggaungkan gaya pemerintahan saat ini jauh lebih demokratis dengan mengedepankan penegakkan hukum, tranparansi, dan akuntabilitas publik.

“Walaupun tidak bisa dikatakan by design oleh pemerintahan yang sekarang, tapi harus diakui membuat masalah baru untuk menyelesaikan masalah yang lain adalah gaya Orde Baru yang masih mewarnai kehidupan politik kita sekarang,” papar Siti Zuhro pada diskusi bertema Politisasi Kasus Pajak di Jakarta, Kamis (11/3).

Kasus pajak tiga perusahaan milik Aburizal Bakrie muncul seiring dengan pembahasan rekomendasi Pansus Bank Century di DPR. Seperti diketahui, Fraksi Partai Golkar adalah pendukung pendapat yang menyalahkan langkah pemerintah melakukan bail out Rp 6,7 triliun terhadap Bank Century. Berbarengan dengan rekomendasi pansus, masalah pajak di tiga perusahaam milik Ketua Umum Partai Golkar, yaitu PT Bumi Resources, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Arutmin, mulai dipermasalahkan. Total nilai pajak perusahaan Bakrie yang dianggap bermasalah mencapai Rp 2,1 triliun.

Menurut Siti Zuhro, masalah pajak perusahaan Bakrie tersebut kini sudah dijadikan komoditas politik pihak-pihak tertentu untuk menyampaikan kepentingannya. Tanpa menyebut pihak mana yang tengah melakukan politisasi pajak Bakrie, Siti Zuhro menyebutkan, masalah pajak Bakrie dimunculkan untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa ‘politisi dan partai politik juga tidak sepenuhnya bersih’.
“Setelah rekomendasi Pansus Century kan ada anggapan jika sejumlah politisi dan partai politik itu pahlawan karena telah menyatakan kebijakan bail out salah. Nah, politisasi pajak Bakrie ini seakan menjadi tandingan untuk menggiring opini publik jika politisi dan parpol tidak lurus-lurus amat,” papar Siti Zuhro.

Sama dengan sikapnya yang dulu menolak pembentukan Pansus Century, Siti Zuhro berpandangan, langkah-langkah politisasi kasus-kasus hukum merupakan langkah tidak dewasa yang hanya mencari-cari masalah. “Ini sikap yang tidak jernih, apa pun sekarang dicari-cari masalahnya. Century itu menjadi leverage factor (faktor pengungkit) untuk mencari-cari masalah baru.”

Dikatakan, penyelesaian masalah gaya Orde Baru tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi jika masyarakat menaruh kepercayaan terhadap penegakkan hukum oleh pemerintah. Lantaran tidak adanya kepastian hukum terhadap masalah yang terjadi, kata Siti Zuhro, maka masyarakat memilih jalur politik untuk menyuarakan aspirasi dan mencari keadilan. “Politik dijadikan kendaraan karena dianggap seksi, dinamis, dan sensasional,” ucap Siti Zuhro.

Pakar Pajak dari Universitas Indonesia, Profesor Gunadi, juga menyayangkan terjadinya politisasi kasus pajak. Sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan, kata Gunadi, penyelesaian mispersepsi tentang besaran pajak seharusnya diselesaikan melalui pengadilan. “Bukan ke jalur politik.”

Kasus mispersepsi besaran pajak seperti yang menimpa perusahaan Bakrie, lanjut Gunadi, sejatinya bermula pada ketidaksinkronan antara penentuan besaran pajak oleh pemerintah dengan besaran pajak hasil penghitungan si wajib pajak. Padahal dalam undang-undang jelas dikatakan jika penentuan besaran pajak dilakukan melalui mekanisme penilaian bersama antara wajib pajak dan penagih pajak. “Kalau besarannya tidak sama, ya tinggal dibawa ke pengadilan sampai tingkat Peninjauan Kembali di MA. Tidak perlu dibawa ke jalur politik,” tandas Gunadi.

Redaktur: Krisman Purwoko

Sabtu, 06 Maret 2010

Biaya KTP Elektronik Senilai Kasus Century

Jakarta, RMOL. Jangan Sampai Rp 6,7 Triliun Mengalir Ke Kantong Pejabat

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berencana menyelesaikan program Kartu Tanda Penduduk Elektornik (e-KTP) pada 2012. Program ini untuk menghin­dari kepemilikan KTP ganda dan memperbaiki Daftar Pemilih Tetap (DPT). Tapi yang menarik, anggaran yang mau digelontorkan untuk e-KTP berskala nasional itu sebesar kasus dana talangan Bank Cen­tury Rp 6,7 triliun.


‘’Harus Ada Pengawasan Deh...’’

Siti Zuhro, Peneliti LIPI

Peneliti Lembaga Ilmu Pe­ngetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengatakan, pemberian e- KTP (KTP elektronik) dapat mem­­perbaiki sistem kependu­dukan.

“Saya yakin pemberian KTP elektronik ini akan mencegah seseorang untuk membuat KTP ganda atau palsu,” ujarnya ke­pada Rakyat Mer­deka, di Ja­karta, kemarin.

“Lagipula pemberian KTP ini bukan hal yang mewah sekali. Karena beberapa daerah sudah lebih dulu melakukannya,” ung­kap­nya.

Dikatakan, pemberian KTP ini sifatnya sangat mendesak, sebab pelaksanaan Pilkada ta­hun 2010 segera dimulai.

“Pembuatan KTP ini tidak membutuhkan waktu yang lama. Cukup satu jam tanpa di­be­bankan biaya, sehingga per­masalahan kekisruhan Daf­tar Pemilih Tetap (DPT) tidak akan ada lagi,” katanya.

Memang, lanjutnya, soal DPT tidak sesederhana yang diba­yang­kan. Ujung tombak­nya be­rada di RT/RW maka di­butuh­kan tenaga yang profe­sional.

“Harus ada pengawasan deh yang serius dari institusi in­de­penden dalam pembuatan KTP elek­tronik ini. Jangan sampai pemberian KTP ini dijadikan pro­yek menguntung­kan bagi oknum pemerintah,” tambah­nya.

Jumat, 05 Maret 2010

Fokus Budaya Mundur

Fokus Budaya Mundur

R Siti Zuhro
Peneliti Ulama UPI
ekomendasi Rapat Paripurna DPR agar kasus Bank Century diproses secara hukum harus segera ditindaklanjuti. Sebagaimana diketahui, Rapat Paripurna DPR memutuskan bahwa kebijakan bailout (penalangan) terhadap Bank Century diduga sarat dengan pelanggaran. Pencairan dan penggelontoran dananya pun diduga menyimpang. Maka, kasus itu direkomendasikan DPR agar diproses secara hukum.

Membawa kasus Century ke ranah hukum merupakan keharusan agar apa yang direkomendasikan DPR secara politik, terbukti. Hasil kerja Pansus Hak Angket DPR tentang Kasus Bank Century selama dua bulan pun tidak sia-sia. Hasil kinerjanya tidak didiamkan begitu saja dan hanya dianggap sebagai kemenangan parlemen. Kalau itu yang terjadi, tidak akan berdampak terhadap kehidupan demokratisasi di negeri ini. Sebuah kebijakan yang diduga melanggar hukum dan harus dipertanggungjawabkan kepada publik, tanpa ditindaklanjuti ke proses hukum, tidak akan punya makna selain hanya sebagai kegiatan "hura-hura".

Kita perlu menyambut positif bahwa salah satu poin pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Kamis (4/3) malam, akan membawa kasus Century ke proses hukum. Namun, seperti saya prediksi sebelumnya, Presiden SBY tidak akan menyinggung sama sekali tentang pengunduran diri Wapres Boediono atau Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang diduga terlibat dalam kasus bailout bank gagal tersebut.

Presiden, yang sejak awal sudah komit untuk menindaklanjuti kasus Century ke ranah hukum agar kasusnya menjadi terang benderang, tampaknya tak akan meminta kedua pejabat anak buahnya itu mundur dri jabatan masing-masing selama proses hukum berlangsung.

Namun, Presiden tetap mempersilakan keduanya diproses secara hukum. Masalahnya, kedua pejabat dinilai sangat berjasa dalam menjalankan roda pemerintahan. Di lain pihak, Presiden SBY bukan termasuk tipe pemimpin yang bisa bertindak cepat, apalagi untuk urusan mengganti bawahannya.

Terlepas dari itu, budaya mundur sendiri di Indonesia masih dianggap "tabu". Karena melekat dengan budaya malu, maka sejak era Orde Baru hingga kini, bahkan sampai di daerah-daerah, keharusan untuk mundur bagi pejabat yang diduga terlibat kasus, tidak ada aturannya. Sebagai bagian dari moral politik, -budaya mundur biasa diberlakukan di dunia Barat dan Jepang. Khusus di Negeri Sakura, pejabat yang merasa dicemarkan nama baiknya bahkan ndak segan-segan melakukan tindakan harakiri (bunuh diri) sebagai pertanggungjawaban daripada menanggung malu.

Sebenarnya saat inilah kesempatan terbaik untuk mengangkat masalah moral politik itu dalam kehidupan demokrasi di negeri ini. Kasus Bank Century bisa menjadi pelajaran berharga bahwa pejabat tidak bisa bertindak sewenang-wenang, apalagi membuat kebijakan yang diduga melanggar hukum. Pejabat yang bersangkutan harus mundur dari jabatannya sebagai bentuk pertanggungjawaban ke publik, di samping agar proses hukum dapat berjalan lancar, tidak terhambat conflic of interest.

Budaya mundur merupakan bagian dari proses politik. Jika budaya ini terjadi dalam kasus Century, ini merupakan langkah maju dalam "kehidupan berdemokrasi, dan sekaligus bisa menjadi teladan bagi pejabat-pejabat lain pada masa-masa mendatang.*"