Rabu, 20 Mei 2009

MENYONGSONG PILPRES: ANALISIS KRITIS KOALISI PARPOL, IMPLIKASI DAN PROSPEKNYA

R. Siti Zuhro, PhD

(Peneliti Utama LIPI)



Puncak pesta pemilu legislatif, 9 April usai sudah. Hasilnya pun telah diumumkan, 9 Mei 2009. Di tengah kecemasan dan kegemasan masyarakat atas buruknya kinerja KPU, pemilu berjalan dengan relatif damai dan demokratis. Secara umum pemilu legislatif (pileg) 2009 berlangsung aman dan lancar. Meskipun demikian, banyak kalangan menilai bahwa kualitas penyelenggaraannya jauh dari harapan. Banyak persoalan yang dipertanyakan partai politik (parpol) peserta pemilu. Yang paling menonjol adalah masalah carut-marut daftar pemilih tetap (DPT)[1], tertukarnya surat suara di beberapa tempat (masalah logistik), dan lambannya penayangan tabulasi elektronik hasil pemilu. Sebagai akibatnya, sejumlah parpol, khususnya yang berada di luar pemerintahan, merasa dizalimi oleh parpol pemerintah, khususnya Partai Demokrat yang menjadi parpol pemenang pemilu. Sebagian parpol yang kalah pileg, bahkan, mengancam akan memboikot pemilu presiden (pilpres) bila hal tersebut tak ditangani dengan baik. Beberapa LSM dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga telah melayangkan gugatan hukumnya, termasuk soal hasil tabulasi elektronik yang sangat lambat.
Banyaknya persoalan dalam pemilu legislatif 2009 yang tidak prospektif bagi perkembangan demokrasi ke depan tentunya perlu dicarikan solusinya agar konstelasi politik nasional pasca Pemilu 2009 menjadi kompatibel dengan upaya konsolidasi demokrasi. Lebih dari itu, Pemilihan Presiden (pilpres) 2009 8 Juli yang akan datang perlu diantisipasi secara cermat mengingat berbagai kelemahan yang terjadi pada pemilu legislatif yang lalu. Hal tersebut penting dilakukan guna mewujudkan kualitas pilpres mendatang yang lebih absah (legitimate) dan kredibel (credible).



Evaluasi Pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009


Bila dievaluasi, kelemahan penyelenggaraan pemilu legislatif 2009, antara lain, disebabkan oleh beberapa hal berikut: pertama, DPT (daftar pemilih tetap) tidak akurat. Masalah DPT tersebut menjadi isu akut yang senantiasa muncul di setiap pemilu dan pilkada. Masalah DPT sangat terkait dengan management administrasi kependudukan secara nasional.
Kedua, sistem Pemilu 2009 yang berpedoman pada suara terbanyak cukup rumit sehingga menyulitkan petugas lapangan dan masyarakat awam.
Ketiga, kompetensi dan manajerial kepemiluan lembaga penyelenggara pemilu (KPU) sangat lemah. Hampir semua tahapan bermasalah dan menuai kritik tajam. Bila dirujuk, keadaan tersebut disebabkan oleh sistem rekruitmennya yang mirip rekruitmen lowongan pekerjaan pegawai negeri sipil. Akibatnya, orang-orang yang kapabel dan mumpuni tidak begitu berminat untuk berkompetisi memperebutkan pekerjaan tersebut karena dirasakan hanya akan merendahkan reputasi dan profesionalitas mereka. Apalagi karena lembaga yang memilih (DPR) sarat dengan unsur politis. Akhirnya, yang terpilih sebagai anggota KPU adalah mereka yang reputasi dan kapabilitasnya tak dikenal publik. Orang-orang yang dianggap publik memiliki reputasi dan kapabilitas justru tersingkir.
Keempat, mekanisme pencairan anggaran dari Departemen Keuangan sering terlambat sehingga menghambat tahapan pemilu yang sudah terjadwal ketat.
Kelima, tenaga penunjang di Sekretariat – mulai KPU pusat hingga daerah – yang berasal dari kalangan PNS banyak menimbulkan masalah karena ditengarai memiliki loyalitas ganda dan mengalami disorientasi. Kinerja mereka, pada umumnya, cukup rendah dan merasa bukan “bawahan” para anggota KPU yang notabene bukan PNS.
Keenam, masalah golongan putih (golput). Berdasarkan data sementara yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), 9 Mei 2009, golput mencapai 68.997.841 atau 40,31%. Jumlah itu diperoleh dari jumlah suara sah Pemilu Legislatif 2009 dari 33 provinsi dengan 76 daerah pemilihan. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) adalah 171.265.442 pemilih. Sebagai perbandingan pada Pemilu 2004, jumlah suara sah sebanyak 113.462.414 suara atau sekitar 77,09% dari jumlah pemilih yang berjumlah 147.105.259 pemilih. Dengan kata lain, persentase golput Pemilu 2009 jauh lebih besar dari Pemilu 2004.[2]
Dari sekitar 40,31% yang golput tersebut hanya sekitar 10% golput yang sadar tidak mau memilih. Mereka itu adalah orang-orang yang kecewa, apatis, dan bosan karena melihat tidak ada perubahan yang signifikan dari pergantian penguasa.[3]
Menurut Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jierry Sumampow, KPU gagal mencapai target partisipasi pemilih dengan suara sah 80%. Sebab, jumlah suara sah hanya 59,69%. Menurut Jeirry kegagalan KPU tersebut disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam melakukan sosialisasi. Dengan kata lain, KPU tidak mampu melakukan sosialisasi dan membersihkan daftar pemilih tetap (DPT).
Di bawah lemahnya kinerja KPU dan bayang-bayang ancaman boikot pilpres, tidak mudah bagi pemerintah untuk meyakinkan kepada publik bahwa pilpres mendatang akan berlangsung secara jujur, adil dan aman.
Kualitas kinerja KPU yang tak kian membaik jelas sangat mencemaskan. Bagi pemerintah tak ada kata yang lebih baik selain dari memperbaiki secara sungguh-sungguh masalah DPT dan mengawal pelaksanaan pilpres dengan baik.
Meskipun UU Pemilu menegaskan kepada para pemilih untuk bersikap proaktif, pemerintah tampaknya tak ingin terkubur di lubang yang sama karena risiko politiknya yang tak bisa dipandang enteng. Di beberapa daerah, misalnya, dilakukan pendataan dan pengecekan kembali pemilih secara door to door. Persoalannya adalah apakah dalam penyelenggaraan pilpres nanti KPU akan mampu menjalani tahapan-tahapan pilpres sesuai dengan jadwal dan memperbaiki kinerjanya? Bila tidak, tak hanya KPU yang akan kehilangan kredibilitas atau integritasnya, tapi juga pemerintah. Meskipun penyelenggaraan pemilu merupakan tanggung jawab KPU, sulit bagi pemerintah untuk menyatakan tidak ikut bertanggung jawab.
Selain isu DPT, masalah penggelembungan suara juga merupakan problem yang paling menonjol dipersengketakan. Yang terakhir ini, bahkan, sampai membuat pemerintah cukup “gerah” karena selain dituding tidak becus dan memanipulasi suara, beberapa elit parpol sampai mewacanakan kemungkinan “memboikot” pemilu presiden 8 Juli 2009. Karena dianggap bisa menimbulkan opini publik yang tidak sehat dan implikasi sosial yang destructive, Susilo Bambang Yudhyono (SBY), bahkan, sampai terpancing untuk membuat pernyataan politik yang agak “mengancam”.



Hasil Pemilu Legislatif 2009


Berdasarkan hasil pemilu legislatif (pileg) yang ditetapkan KPU, partai Demokrat memperoleh 20,85% (150 kursi), Golkar 14,45 (107 kursi), PDIP 14,03% (95 kursi), PKS 7,88% (57 kursi), PAN 6,01% (43 kursi), PPP 5,32% (37 kursi), PKB 4,94% (27 kursi), Gerindra 4,46% (26 kursi), dan Hanura 3,77% (18 kursi).[4] Adapun suara 29 parpol lainnya berada di bawah parliamentary Threshold (PT).
Hasil pileg tersebut menunjukkan kenaikan fantastis (sekitar 300%) suara partai Demokrat dan sekaligus menjadikannya sebagai parpol pemenang pemilu. Adapun perolehan suara dua partai besar, yakni Golkar dan PDIP, cenderung turun cukup tajam dibandingkan pileg 2004. Ini berarti merupakan pil pahit bagi Golkar dan PDIP.
Kenaikan suara partai Demokrat yang sangat signifikan telah menggerogoti basis-basis utama kedua partai besar tersebut dan partai-partai kecil dan menengah lainnya. Seperti bermain total football, partainya SBY tersebut nyaris menguasai atau setidaknya mewarnai semua lini. Sulawesi Selatan berhasil dibuatnya tak sekuning dulu lagi. Demikian pula dengan Bali yang tak lagi memerah. Membirunya Jawa Timur dan Jawa Barat jelas merupakan tamparan hebat bagi elit dan kader PDIP dan Golkar.[5]
Kemampuan partai Demokrat mengungguli partai Golkar dan PDIP, antara lain, disebabkan oleh citra Demokrat yang cenderung menunjukkan sifatnya yang inklusif, terbuka, aspiratif, dan relatif bersih. Meskipun secara umum partai Demokrat merupakan anak kandung atau setidaknya “saudara sedarah” partai Golkar dan teman sepenanggungan di pemerintahan, partai Demokrat lebih mampu memisahkan dirinya dari stigma partai Orde Baru yang kolutif, korup, dan nepotisme (KKN). Lepas dari faktor ketokohannya, komitment SBY dalam pemberantasan korupsi tampak lebih kuat dibandingkan dengan Golkar. Dalam banyak kesempatan SBY secara tegas menyatakan dukungannya pada pemberantasan korupsi.[6] Hal ini telah memberikannya citra positif bagi Demokrat di mata rakyat.
Sosok SBY sebagai pembawa gerbong Demokrat tak jarang dikritik sebagai pemimpin yang sangat sensitif.[7] Namun, sensitivitasnya tersebut justru menguntungkan citranya, yang dinilai santun, hati-hati dan mau mendengarkan. SBY, misalnya, tampak berusaha keras untuk menjaga jarak antara ranah kerja dan keluarga besarnya. Ia juga senantiasa merespons semua isu miring yang dilayangkan kepada dirinya, keluarganya, dan juga partainya. Upayanya untuk menjelaskannya secara argumentatif kepada publik tentang keluarga besarnya yang terlibat dalam jabatan parpol dan pemerintahan relatif berhasil sehingga ia tidak dipersepsikan secara negatif sebagai orang yang tengah membangun dinastinya.
Sementara itu, partai Golkar dipandang gagal menunjukkan dirinya sebagai parpol anti korupsi. Banyaknya kasus korupsi dan skandal immoral yang menimpa kader Golkar telah menciderai citranya. Sebagai pimpinan partai, JK kurang mampu menjaga citra positif partainya karena ia tampak lebih defensif dalam menanggapi kader-kader parpolnya.
Selain itu, partai Golkar juga kurang mampu menunjukkan dirinya sebagai partai “terbuka” yang memberikan akses yang sama pada kader-kadernya untuk menduduki jabatan-jabatan politik. Terobosan yang pernah dilakukan Akbar Tanjung dengan membuat konvensi partai Golkar untuk memilih calon presidennya juga tidak diteruskan. Hal ini menimbulkan kegelisahan pada sebagian elit Golkar, seperti yang dirasakan Yudi Krisnandi, Fadel Muhammad, dan Sultan Hamengkubuwono.
Berbeda dengan Golkar, penurunan suara PDIP dalam pemilu legislatif 2009, antara lain, disebabkan oleh citra negatifnya yang semakin mengarah ke kedinastian. Regenerasi kurang berjalan lancar di PDIP. Bila pada pemilu 1999 PDIP mampu memenangkan pemilu dan dipandang sebagai parpolnya wong cilik yang mengusung gagasan Bung Karno, pada pemilu 2004 PDIP dikalahkan Golkar dan berada di urutan kedua. Icon wong cilik yang lekat dengan PDIP cenderung meluntur seiring dengan menguatnya kesan PDIP sebagai parpolnya keluarga Bung Karno. Satu demi satu teman-teman dekat Megawati yang berjasa mengusungnya menjadi ketua dan membesarkan PDIP hengkang.
Lepas dari itu, pengumuman hasil pemilu legislatif KPU, 9 Mei 2009 yang dilakukan tepat waktu telah menghapus kekhawatiran banyak pihak yang meragukannya, mengingat selama ini kualitas kinerjanya dinilai rendah dan bermasalah. Meskipun demikian, tak ada kejutan berarti karena secara umum hasilnya sudah diketahui publik melalui quick count. Sesuai dengan ketentuan, sejumlah parpol yang merasa dirugikan melayangkan gugatan sengketa pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Di luar perkiraan banyak pihak, hanya ada 63 perkara yang masuk ke Mahkamah Konstitusi, yakni 40 perkara dari parpol dan 23 lainnya dari calon DPD[8]. Sedikitnya perkara yang masuk tersebut, terutama, disebabkan karena proses pengaduan sengketa yang harus dilakukan melalui parpol. Banyak kasus yang dialami caleg tak bisa diproses lebih lanjut ke MK karena berbenturan dengan kepentingan internal parpolnya. Umum diketahui bahwa pemberlakuan sistem suara terbanyak telah pula menimbulkan persoalan di antara sesama caleg dalam parpol yang sama. Dengan kata lain, tidak sedikit caleg yang merasa dirugikan oleh teman separtainya atau oleh parpolnya sendiri.
Suhu politik yang kian memanas menjelang pilpres sebenarnya merupakan hal yang wajar. Meskipun demikian, munculnya wacana “ancaman pemboikotan” pilpres 2009 yang dilontarkan sejumlah elit parpol jelas tak bisa dipandang remeh. Selain akan berpengaruh pada legitimasi pilpres, bukan tidak mungkin implikasi ancaman tersebut bisa mengembalikan arah jarum demokrasi kembali ke titik nadir. Yang lebih berbahaya lagi adalah bila hal tersebut sampai menjadi “bola liar” dan dipolitisasi ke dalam ranah SARA sehingga menimbulkan kekacauan sosial (chaos). Oleh karena itu, tanggapan keras yang disampaikan SBY tentang hal tersebut cukup bisa dipahami. Persoalannya ini bukan sekadar masalah “black campaign” terhadap SBY dan partainya, melainkan karena implikasi negatifnya yang bisa mencerai-beraikan persatuan nasional mengingat persoalan SARA teramat sensitif.


Pola Hubungan Partai Politik dan Massa


Dalam sitem politik yang demokratis, setiap partai politik (parpol) semestinya mampu menunjukkan dirinya sebagai parpol yang terbuka, inklusif, dan transparan. Apalagi dengan diberlakukannya sistem suara terbanyak dalam pemilu legislatif sekarang ini. Semestinya setiap calon legislatif dan tokoh politik tidak saja mendekatkan dirinya dengan konstituennya, melainkan juga harus menjaga citranya sebagai tokoh yang bersih, aspiratif dan akomodatif.
Pola hubungan antara parpol dan massa ditengarai ikut berperan dalam memengaruhi munculnya fragmentasi kepartaian. Menurut Syaiful Muzani, instabilitas hubungan antara parpol dan massa menjadi penyebab fragmentasi kepartaian.[9] Sebagai contoh menurunnya perolehan suara PDI-P, Golkar, PAN, PPP dan PKB dalam Pemilu Legislatif 2009 di satu pihak, dan naiknya perolehan suara partai Demokrat ke posisi pertama di pihak lain merupakan salah satu bukti konkret. Instabilitas pola hubungan ini akan mengancam proses demokratisasi karena partai politik yang menjadi pilar demokrasi sulit melakukan konsolidasi.
Selain itu, tingkat ketidakpuasan massa terhadap parpol menjelang pemilu legislatif cenderung tinggi. Ini karena aspirasi dan kepentingan massa tidak terwakili dalam proses pengambilan keputusan (kebijakan publik). Parpol tidak melakukan fungsi representasi dan intermediasi secara maksimal. Parpol juga tampak sibuk dan terjebak dalam pergulatan kepentingannya sendiri dan tidak mengabaikan massa yang menjadi pendukungnya dalam pemilu. Disadari atau tidak, proses pengabaian ini secara lambat namun pasti telah mendelegitimasi eksistensi partai politik. Bagi massa, parpol gagal melaksanakan peran dan fungsinya selama ini dan cenderung menggunakan institusi parpol hanya untuk memperjuangkan kekuasaan dan kepentingannya sendiri.
Idealnya partai politik[10] merupakan sarana terpenting tegaknya demokratisasi. Sebab, dalam dirinya, antara lain, terkandung makna sebagai alat agregasi kepentingan, sosialisasi politik dan sistem rekruitmen elit. Karena itu, partai politik tidak saja bertugas menyaring para pejabat publik, elit politik dan sekaligus mengontrol jalannya pemerintahan, tetapi juga harus mampu menyerap aspirasi masyarakat. Kehendak dan kepentingan masyarakat tidak bisa diabaikan begitu saja.



Koalisi (Longgar) Partai


Koalisi antarparpol dalam rangka menentukan calon presiden dan wakil presiden tak boleh hanya didasarkan atas hitung-hitungan kepentingan politik jangka pendek. Idealnya, koalisi parpol dibangun berdasarkan kesamaan platform ideologi dan program. Tetapi, seperti diketahui, hal tersebut sulit diwujudkan karena hampir semua parpol di Indonesia tidak memiliki kejelasan ideologi. Hal ini juga terlihat dari corak koalisi dalam pemilihan langsung kepala daerah, di mana koalisi yang terbentuk lebih didasarkan atas kepentingan untuk memenangkan pemilihan. Tidak bisa dihindarkan, koalisi semacam itu hanya merupakan strategi berbagi kekuasaan daripada memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Pertanyaannya, apakah manuver-manuver koalisi parpol menjelang pilpres tersebut dimaksudkan untuk mendorong sistem politik yang lebih baik dengan memperkuat ideologi partai dan pembentukan political merit system? Atau sebaliknya, fenomena tersebut cenderung membuktikan bahwa budaya oposisi di kalangan elit dan pengurus partai politik belum eksis? Menjadi oposisi belum dianggap bagian terpenting penguatan sistem demokrasi. Ketidaksiapan elit dan parpol untuk berada di luar ring kekuasaan dan menjadi oposisi melahirkan kesulitan tersendiri dalam membentuk koalisi pemerintahan.
Di tataran empirik koalisi yang terbentuk menunjukkan besarnya kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan di pemerintahan. Hal ini bisa jadi tidak akan menciptakan kinerja pemerintahan yang baik. Masalahnya hal tersebut tidak hanya akan mengaburkan kontrol DPR terhadap pemerintah, tetapi juga akan menyebabkan terlalu bervariasinya kepentingan politik di pemerintahan. Tidak jelas siapa yang menjadi partai yang memerintah dan siapa yang menjadi partai oposisi.
Pengalaman pemerintahan SBY-JK bisa dijadikan pelajaran penting. Sejumlah menteri justru ikut menyikapi secara kritis kebijakan pemerintah. Selain bertentangan dengan etika berpolitik, hal itu juga sangat kontraproduktif dan mengancam soliditas pemerintahan. Karena itu, perlu dikembangkan diskursus tentang apa yang menjadi tujuan akhir sebuah koalisi. Jika platform ideologi parpol sulit dijadikan dasar koalisi, paling tidak harus ada nilai dasar (basic/core value) yang akan dicapai koalisi pemerintahan. Esensi dasar pemerintahan adalah terselenggaranya pelayanan dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Dengan kata lain, berpemerintahan adalah memperjuangkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan pemerintah baru akan dirasakan masyarakat jika ada peningkatan kualitas pelayanan dan kesejahteraan, bukan sebaliknya.
Pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat merupakan nilai dasar yang harus dijadikan syarat koalisi. Tampaknya hal ini sulit diwujudkan jika para elit politik hanya menganggap koalisi sebagai cara untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Oleh karena itu, kontrak politik seperti yang dilontarkan SBY merupakan hal yang penting untuk dijadikan dasar pembentukan koalisi.[11] Kontrak politik tidak hanya berisi kewajiban dan hak parpol dalam koalisi, lebih dari itu hendaknya juga memuat tujuan yang akan dicapai koalisi dalam pemerintahan. Tujuan-tujuan tersebut, misalnya, adalah untuk membangun pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan profesional; mewujudkan terjadinya reformasi birokrasi; peningkatan kualitas pelayanan publik; dan terpenuhinya hak ekonomi, sosial, dan politik masyarakat sebagai hak-hak asasi warga. Kesepakatan atas tujuan yang akan dicapai koalisi dalam pemerintahan jauh lebih penting daripada sekadar mengatur hak dan kewajiban parpol dalam koalisi.
Selain itu, hal penting yang juga tidak boleh dilupakan dalam koalisi adalah masalah pengisian kabinet. Karena mesin pemerintahan ditentukan dan digerakkan kabinet, kesepakatan pengisian kabinet harus menjadi bagian pembicaraan koalisi. Terlalu banyak partner koalisi jelas akan menyulitkan presiden terpilih dalam menentukan formasi kabinetnya.
Presiden terpilih juga harus mendapatkan dukungan politik dari DPR. Karena itu, gabungan parpol dalam koalisi pengusung calon presiden setidaknya perlu memiliki 51 persen suara di DPR. Idealnya, partai pengusung calon presiden meraih suara mayoritas mutlak di DPR dengan komposisi koalisi partai yang sederhana.[12] Tetapi, mengingat banyaknya jumlah parpol, untuk meraih suara mayoritas di DPR diperlukan pula koalisi parpol di Parlemen. Sebagaimana terlihat dari hasil pileg 2009, tak satu pun parpol yang mampu memperoleh suara yang signifikan.[13]
Pada sisi lain, perlu pula dipikirkan untuk membentuk pemerintahan yang berdasar prinsip profesionalisme. Pengisian kabinet pemerintahan hendaknya tidak hanya didasarkan atas pertimbangan politis, tetapi juga kemampuan, kompetensi, komitmen, dan pengalaman seseorang. Pertimbangan profesionalisme ini penting agar koalisi pemerintahan tidak hanya menjadi ajang politisasi pemerintahan, tetapi merupakan upaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan bernegara. Oleh karena itu, selain berasal dari kalangan parpol yang tergabung dalam koalisi, untuk hal-hal tertentu pengisian kabinet tersebut bisa dijuga diambil dari luar parpol, khususnya dari kalangan profesional.
Lepas dari persoalan tersebut, yang menarik adalah bahwa sejak pengumuman hasil quick count pileg, semua parpol yang lolos parliamentary threshold (PT), khususnya, sibuk melakukan komunikasi politik dan menjajaki pembentukan koalisi dengan sesama mereka, terutama, guna menghadapi pilpres. Dengan jumlah parpol yang besar, tidak satu parpol pun yang bisa menjadi kekuatan politik yang dominan, baik di pemerintahan maupun di parlemen, tanpa berkoalisi dengan parpol lainnya.
Sebagai parpol pemenang pemilu dan ditambah dengan elektabilitas SBY yang tinggi, Partai Demokrat telah menjadi “gadis cantik” yang mengundang banyak “pria”. Selain sejumlah parpol kecil yang tak lolos PT, seperti PBB, partai menengah seperti PKS, PAN, PKB, PPP juga menunjukkan minatnya untuk berkoalisi dengan Demokrat. Hal yang sama juga ditunjukkan Golkar sebelum akhirnya membentuk koalisi sendiri. Menyadari perolehan suaranya yang lebih kecil daripada Demokrat, Golkar berencana mengusung kembali pasangan SBY-JK. Tapi keinginan Golkar tersebut tampaknya “ditampik” SBY. Meskipun sangat membutuhkan Golkar, SBY tampaknya agak kurang sreg untuk bersanding kembali dengan JK dan karena itu meminta Golkar untuk mengajukan cawapres lainnya. Pengalaman SBY berduet dengan JK selama periode 2004-2009, membuatnya relatif hati-hati. Selain karena pemerintahannya dinilai banyak orang memiliki “dua nakhoda”, sebagai pimpinan Golkar, JK juga mengesankan bermain mata dengan PDIP.[14]
Penolakan halus SBY terhadap JK telah membuat Golkar kemudian melirik kembali PDIP dengan mengusung JK sebagai capres. Keadaan tersebut membuat peta koalisi besar beralih dari blok SBY ke blok Megawati. Golkar, PDIP, Gerindra, Hanura, dan sejumlah parpol kecil lainnya pun mendeklarasikan “koalisi besar” di parlemen. Tetapi, keceriaan tersebut seolah terhenti ketika mereka tidak bisa menemukan titik temu untuk mengusung capresnya. Sebab semua pimpinan parpol berlindung di balik amanat parpolnya untuk hanya menjadi capres dan bukan cawapres.
Tanpa mengesampingkan faktor lainnya, seperti elektabilitas, jalan buntu yang dihadapi blok Megawati tersebut agaknya juga disebabkan oleh usia para capres masing-masing parpolnya. Usia rata-rata mereka yang di atas kepala 6 dan mendekati kepala 7 telah membuat mereka tak melihat kesempatan lain, kecuali dalam pemilu (2009) ini.[15] Itulah sebabnya mengapa realitas perolehan suara pileg masing-masing parpol seperti dikesampingkan.
Dengan motto “lebih cepat lebih baik”, akhirnya partai Golkar dan partai Hanura melompat ke luar dan mendeklarasikan JK-Wiranto sebagai pasangan capres-cawapres.[16] Keputusan tersebut dengan sendirinya membuyarkan impian “koalisi besar” blok Megawati dan sekaligus pula memupus ancaman boikot pemilu yang pernah diwacanakan. Jalan buntu yang dihadapi PDIP – Gerindra pun semakin tampak karena masing-masing pihak tak juga bergeming dari pendiriannya. Sementara itu, pilihan untuk mencari cawapres dari parpol lain semakin sulit. Sebab PKB, PKS, PAN dan PPP sudah menunjukkan kecenderungannya untuk merapat ke Demokrat. Seolah menyertai Golkar - Hanura, pada detik terakhir Prabowo Subianto merelakan dirinya untuk menjadi cawapres Megawati. Dengan demikian, terdapat tiga pasangan capres – cawapres yang maju dalam pilpres 2009.[17]
Melihat jalannya drama koalisi politik tersebut, tampak sekali bahwa pembangunan koalisi antarparpol sangat dipengaruhi oleh faktor kepentingan partai dan elitenya. Ibarat seekor burung mereka bisa hinggap di mana saja tanpa terbebani oleh perbedaan ideologi, platform dan misi partai masing-masing. Fenomena ini sesungguhnya bukan hal baru. Pada masa Orde Lama, misalnya, dua partai Islam terbesar, yakni NU dan Masyumi saling berseberangan. NU lebih memilih merapat ke Sukarno, sedangkan Masyumi justru memilih menjadi rivalnya Sukarno.[18]
Kalaupun pernah terjadi koalisi antarparpol Islam dalam bentuk “Poros Tengah”, koalisi tersebut bersifat sangat rapuh karena sarat dengan kepentingan politik. Meskipun koalisi tersebut berhasil menjadikan Gus Dur sebagai presiden pertama era reformasi, masa koalisi tersebut tak lebih dari seumur jagung yang pupus seiring dengan dilengserkannya Gus Dur dari kursi kepresidenannya, khususnya, oleh kelompok mereka sendiri.
Fenomena yang sama juga dialami oleh SBY dan partainya. Tidak sedikit kebijakan pemerintah yang tak didukung oleh parpol yang mengaku berkoalisi dengan Demokrat. Sejumlah hak angket di DPR, misalnya, juga dimotori oleh beberapa anggota DPR dari parpol yang berkoalisi dengan pemerintah, termasuk PKS dan Golkar. Oleh karena itulah, jauh-jauh hari SBY sudah menyatakan hanya akan membangun koalisi dengan kontrak politik yang jelas.
Mengingat pengalamannya tersebut, akhirnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memilih Boediono sebagai calon wakil presiden dalam pemilu 8 Juli 2009. Tetapi, pilihan SBY tersebut tak berlangsung mulus. Parpol-parpol menengah yang menjadi mitranya, yakni Partai keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan pembangunan (PPP) menyatakan keberatannya.[19] Penolakan terhadap Boediono juga disampaikan oleh mahasiswa dari beberapa kampus, LSM dan kelompok buruh.[20] Tetapi, kontroversi tersebut akhirnya mereda setelah para petinggi parpol Islam tersebut mendapat penjelasan langsung dari SBY tentang pilihannya terhadap Boediono. Selain memperoleh dukungan parpol menengah, pasangan SBY-Boediono juga memperoleh dukungan 18 parpol yang tak lolos parliamentary threshold.[21]


Tabel Perolehan Kursi 3 Pasangan Calon


No.

Nama Pasangan Calon

Partai Pendukung

Jumlah Kursi

1.

SBY – Boediono

Partai Demokrat, PKS, PPP, PKB, PAN

314

2.

JK – Wiranto

Partai Golkar dan
Partai Hanura

125

3.

Megawati-Bowo

PDIP dan
Partai Gerindra

121


Sumber: diolah dari beberapa media massa ibukota, 11 Mei 2009.

Ketiga pasangan tersebut masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Dari sisi jumlah dan persentase perolehan suara serta kursi di DPR hasil Pemilu Legislatif 2009, pasangan SBY-Boediono sangat unggul dibandingkan JK-Wiranto dan Megawati-Prabowo Subianto. Pasangan SBY- Boediono memperoleh 56% suara. Namun, hal tersebut tidak dengan sendirinya menjamin keterpilihan. Sejarah Pemilu Presiden 2004 membuktikan bahwa pasangan SBY-JK yang pada waktu itu tak didukung Golkar justru menjadi pemenang pilpres. Padahal, seperti diketahui, perolehan suara partai Demokrat hanya sekitar 7%.
Masalah ekonomi jelas merupakan masalah krusial yang akan diusung oleh ketiga pasangan tersebut di atas dalam kampanyenya. Di antara ketiga pasangan tersebut, baru pasangan SBY-Boediono yang secara singkat, padat tapi jelas menyampaikan kebijakan ekonomi yang hendak dilaksanakan, sebagaimana disampaikan dalam pidato deklarasi pasangan ini. Meskipun pasangan SBY-Boediono percaya pada mekanisme pasar, pada saat yang sama keduanya berpendapat bahwa pasar juga harus diatur pula oleh pemerintah. Dengan pernyataan tersebut mereka menepis anggapan bahwa Boediono adalah penganut neoliberal yang tidak pro rakyat.[22]
Sementara itu, pasangan Mega-Prabowo belum secara jelas dan tegas menyampaikan rencananya di bidang ekonomi meskipun pasangan ini acapkali menyampaikan model ekonomi kerakyatan yang ingin dibangunnya. Di tengah derasnya arus globalisasi yang menerpa negeri ini, yang patut dipertanyakan adalah apakah pasangan Mega-Prabowo akan menawarkan bentuk ekonomi berdikari yang menutup pasar Indonesia dari pelaku ekonomi asing? Atau apakah pasangan ini akan menawarkan model “ekonomi benteng” yang pernah digagas Prof. Sumitro Djojohadikusumo tahun 1950-an atau, bahkan mungkin, akan menawarkan pilihan model ekonomi Pancasilanya Prof. Mubyarto?
Seperti halnya pasangan Mega-Prabowo, bentuk model ekonomi yang akan diusung pasangan JK-Wiranto juga belum jelas.
Keunggulan pasangan capres-cawapres tidak hanya diuji dari kompetensinya menghadapi dan mengatasi masalah ekonomi politik domestik, tapi juga dari kapasitasnya dalam memahami politik luar negeri dan posisi serta peran Indonesia di forum regional dan internasional. Sejumlah pertanyaan yang perlu mendapat penjelasan, misalnya, mau dibawa ke mana arah politik luar negeri Indonesia ke depan? Apakah semboyan “mendayung di antara dua karang” (seperti dilontarkan Bung Hatta pada awal era Perang Dingin) dan “berlayar di antara banyak karang/rintangan” (seperti yang dikonsepkan oleh SBY pada awal pemerintahannya) masih relevan dan akan menjadi kebijakan penting politik luar negeri Indonesia? Apakah reposisi diperlukan Indonesia dalam konteks hubungannya dengan ASEAN dan demikian juga dengan wilayah Asia Pasifik, Eropa Utara dan Timur Tengah?
Last, but not least, seperti pada pilpres 2004 kebanyakan pemilih yang berasal dari kelas menengah bawah tampaknya kurang mempedulikan bentuk kebijakan ekonomi atau model politik luar negeri apa yang akan diusung masing-masing pasangan. Sebab, bagi mereka hal tersebut terlalu sulit untuk dipahami. Bagi mereka yang lebih penting adalah persoalan citra dan popularitas capres-cawapres. Oleh karena itu, seperti halnya pada pilpres 2004, keunggulan pasangan capres-cawapres dalam pilpres 2009 akan lebih ditentukan pada kemampuan masing-masing pasangan dalam membangun politik pencitraan dan popularitasnya untuk meyakinkan rakyat.



Implikasi dan Prospeknya


Bangsa Indonesia tampaknya masih menafikan pentingnya arti sejarah bangsa. Tumbangnya pemerintahan Orde Baru seharusnya menjadi pelajaran berharga bahwa institusi demokrasi, etika dan kejujuran merupakan aspek penting yang perlu dibangun. Tetapi, sejarah tersebut tampaknya kembali dilupakan oleh elit politik dan penguasa. Perpecahan internal partai politik kerap terjadi sebagai akibat dari kepemimpinan parpolnya yang tidak demokratis. Keadaan tersebut dapat dikatakan tak berbeda jauh dari masa kepartaian di zaman Orde Baru sang penguasa partai kerap memperlihatkan hak vetonya dalam mengatasi masalah ketimbang aturan-aturan kepartaian dan demokrasi. Bedanya, pada masa Orde Baru, kader partai yang tak puas harus tersingkir dari panggung politik karena tak bisa mendirikan parpol baru.
Keadaan internal partai yang tidak terselesaikan dengan baik sesuai dengan rambu-rambu demokrasi membuat parpol makin sulit meyakinkan konstituennya untuk memberikan dukungannya dalam pemilu. Dengan institusionalisasi parpol yang masih lemah, sulit diharapkan lahirnya kebijakan yang dapat memihak kepentingan rakyat. Keadaan inilah yang membuat masalah pengangguran, kemiskinan, pendidikan dan masalah pembangunan pada umumnya tak juga menemukan pemecahannya. Dengan kata lain, proses pemilu dan pasca pemilu seharusnya berkorelasi positif, sehingga dapat menghasilkan pemerintahan baru yang mampu merealisasikan pemerintahan yang baik untuk melayani masyarakat.
Hasil Pemilu Legislatif 2009 menunjukkan bahwa diterapkannya sistem suara terbanyak, semakin memperkuat otoritas rakyat. Kemenangan pileg adalah kemenangan rakyat. Otoritas rakyat dalam memilih wakil dan partai yang dikehendakinya tercermin dengan sangat gamblang melalui hasil penghitungan KPU. Hasil pemilu menunjukkan bahwa rakyat telah memberikan pelajaran dan hukuman kepada parpol yang dinilainya telah lalai mewakili aspirasi dan kepentingannya sehingga nasib mereka tetap terpuruk.
Lepas dari itu, ada beberapa hal penting yang harus dibenahi berkenaan dengan pilpres 8 Juli 2009. Pertama, masalah DPT Pilpres harus bisa diselesaikan dengan baik. Dalam hal ini, Selain KPU, Pemerintah dan partai politik juga harus bertanggungjawab mengatasi masalah DPT sesuai dengan kewenangan dan tugas masing-masing. Kedua, dalam waktu yang sangat terbatas menjelang pilpres, KPU harus mampu merencanakan dan mengatasi masalah kebutuhan logistik pemilu dengan baik, seperti jumlah TPS, pengangkatan KPPS, tinta, kotak suara, bilik suara, surat suara, dan formulir-formulir.
Dalam hal koalisi pilpres, idealnya arah koalisi dalam membentuk konser demokrasi yang terkonsolidasi harus jelas, terformat, terukur dan solid agar penguatan sistem presidensial yang mengedepankan mekanisme checks and balances dapat diwujudkan. Dengan kata lain, koalisi “pelangi” yang sudah terbentuk saat ini semestinya terbangun secara kokoh tanpa menonjolkan pragmatisme dan kepentingan jangka pendek. Dengan begitu, koalisi yang terbangun tidak semata-mata mengesankan koalisi untuk “bagi-bagi kursi” di kabinet, tetapi juga dalam kerangka rekonstruksi sistem politik demokratik yang kuat, stabil dan produktif/efektif.
Di tataran praksis, drama koalisi politik yang berlangsung belakangan ini tak urung telah membuat banyak rakyat seperti menonton dagelan ketoprak atau lenong yang ceritanya berakhir dengan antiklimaks dan happy ending. Meskipun suhu politik menjelang pilpres semakin memanas, isu tentang pemboikotan pemilu tampaknya tak terwujud. Runtuhnya koalisi besar Megawati dkk menjadi blessing in disguise bagi SBY dkk. Faktor kepentingan elit dan partai yang lebih mengemuka membuat peta perubahan politik sulit diprediksi. Apalagi elit parpol acapkali bersembunyi di balik ungkapan “tak ada yang tak mungkin dalam politik”. Komunikasi politik yang dilakukan Partai Demokrat dan PDIP di tengah upaya Demokrat membangun koalisi dengan parpol Islam dan PDIP dengan Gerindra, bukan saja telah mengejutkan parpol Islam dan JK-Wiranto, tetapi juga rakyat banyak. Selain membingungkan, zig-zag politik tersebut tidak memberikan pendidikan politik yang baik pada masyarakat. Hal tersebut bisa mencederai kepentingan politik para pemilihnya. Sebab, harapan rakyat untuk memperbaiki nasibnya akan semakin jauh dari kenyataan.
Pupusnya ancaman boikot pilpres telah membuat rakyat dapat bernafas lega. Bagi rakyat, dalam kemiskinan hanya rasa aman yang membuat mereka masih bisa tersenyum. Pertanyaannya adalah apakah kali ini para elit parpol, baik yang terpilih di parlemen maupun di pemerintahan memiliki mata hati untuk tidak terus mencederai rakyat?
Pemilihan presiden 2009 prospeknya akan cerah bila para elit mampu melakukan terobosan politik yang signifikan dan bermanfaat bagi rakyat. Calon pemimpin yang berkontestasi dan berkompetisi dalam pilpres mampu menawarkan program-programa yang bisa memperbaiki nasib warga negara. Hanya melalui tawaran program yang bisa dipertanggungjawabkan tersebut rakyat bisa menagih janji kepada pemimpin yang telah berikrar dalam kampanye pilpres.
Selain peran pemimpin yang sangat krusial dalam membenahi negeri ini, ke depan Indonesia juga perlu melakukan perampingan parpol agar pemerintah lebih dapat berkonsentrasi penuh merealisasikan program pembangunan ekonomi. Ini dimaksudkan agar efektivitas pengambilan keputusan politik dapat terwujud. Perampingan parpol juga diperlukan karena sesungguhnya banyak partai yang berasal dari spektrum atau domain ideologi yang sama sehingga dapat digabungkan ke dalam partai yang sama. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa masyarakat pada dasarnya tak menghendaki banyaknya parpol karena membuat mereka semakin bingung.[23]
Oleh karena itu, yang perlu dibangun adalah pola koalisi yang lebih terformat, terukur dan permanen. Koalisi tersebut seyogyanya pula perlu dipayungi oleh undang-undang. Pengerucutan koalisi partai menjadi hanya dua saja menjadi prasyarat penting. Demikian juga dengan fraksi di Parlemen cukup dua saja, yakni fraksi pemerintah dan fraksi oposisi. Realisasi dan konsistensi ini sangat diperlukan untuk menjamin efektivitas dan stabilitas pemerintahan yang pro-rakyat dan berlangsungnya sistem presidensiil.[24]





[1] Permasalahan DPT menyebabkan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput) relatif meningkat, yaitu sekitar 40,31 persen, lihat Kompas dan Media Indonesia, 10 Mei 2009.

[2] Kompas, 11 Mei 2009.

[3] Ibid.

[4] Berdasarkan hasil pengumuman KPU yang dimuat di berbagai media massa, 17 Mei 2009.


[5] Lihat antara lain R. Siti Zuhro, “Pemilu Legislatif 2009: Sebuah Catatan Kritis”, Media Indonesia, 13 April 2009.

[6]Relatif konsistennya SBY dalam memberantas korupsi ini bisa dilihat dari keseriusannya untuk tidak melindungi koruptor meskipun itu melanda besannya sendiri. Lihat Keterangan Pers Presiden “Pemberantasan Korupsi Perlu Dukungan Semua Pihak”, www.ri.go.id

[7] “Wiranto Mulai Perang Terbuka dengan SBY”, http: //hariansib.com.

[8] www.rri-online.com, 13 Mei 2009.

[9] Media Indonesia, 15 Mei 2007.

[10] Sejarah partai politik di Indonesia cenderung menunjukkan pasang surut, sesuai dengan rezim yang memerintah. Di bawah pemerintahan Orde Lama partai politik relatif berperan penting dalam kancah politik meskipun akhirnya mengalami pelemahan fungsi karena dinilai menjadi ”duri dalam daging” dalam membentuk pemerintahan yang kuat dan efektif. Di bawah Orde Baru partai politik tidak difungsikan (alias dibonsai). Partai yang banyak mengalami fusi sehingga tinggal tiga: Golkar, PDI dan PPP. Dinamika partai sejak tahun 1950an sampai 2009 cenderung diwarnai konflik, yang membuat partai politik di Indonesia belum sungguh-sungguh fokus untuk menjadikannya sebagai partai kader yang berorientasi merepresentasikan kepentingan rakyat. Konsolidasi internal partai condong mengangkat isu yang tidak menjawab kebutuhan esensial dari partai itu sendiri, sehingga gagal menjadi partai kader. Partai belum melaksanakan fungsinya secara maksimal sebagai pilar demokrasi. Karena itu, pembenahan partai mendesak dilakukan. Karena pengabaian atasnya akan berpengaruh terhadap profesionalisme partai dan juga kualitas koalisi partai yang hendak dibangun.

[11] Kontrak politik yang berkembang belakangan ini semestinya dimaknai sebagai suatu cara untuk meminta pertanggungjawaban pemimpin atas visi, misi program yang disampaikan selama masa kampanye. Sistem presidensiil yang dikombinasikan dengan sistem multipartai menyebabkan koalisi pemerintahan yang efektif dan kuat sulit dibangun. Kontrak politik juga dimaksudkan sebagai upaya menjaga agar pemerintahan tidak mudah goyah, dan untuk mengikat partai politik yang telah sepakat membentuk koalisi pemerintahan agar konsisten dan tidak saling menyerang.

[12] Di antara ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden, hanya pasangan SBY-Boediono yang didukung oleh lebih dari 51% suara. Pasangan yang didukung oleh partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB tersebut memiliki sekitar 56% suara.

[13] Sebagai pemenang pemilu legislatif 2009, perolehan suara partai Demokrat kurang dari 25%.

[14] Hal tersebut bermula dari adanya pertemuan kedua parpol tersebut di Palembang tahun 2007. Keberatan terhadap JK juga secara jelas dinyatakan elit PKS.

[15] Hanya Prabowo Subianto yang usianya masih di bawah 60 tahun.

[16] Pasangan JK-Wiranto ini juga didukung satu partai yang tidak lolos parliamentary threshold.

[17] Ketiga pasangan capres-cawapres tersebut adalah SBY-Boediono dengan jargon SBY Berbudi , JK-Wiranto dengan jargon JK Win, dan Megawati Prabowo dengan jargon Mega Pro Rakyat.

[18] Lihat R. Siti Zuhro, “Dramaturgi Koalisi Parpol dalam Pilpres”, Media Indonesia, 11 Mei 2009.

[19] Keberatan tersebut dikarenakan Boediono tidak mewakili aspirasi “ummat Islam”. Karena SBY dianggap mewakili tokoh nasionalis, mereka berharap calon wakil presidennya berasal dari “tokoh Islam”. Menurut Amien Rais, selama ini pasangan presiden dan wakil presiden selalu mencerminkan perpaduan antara tokoh nasionalis dan Islam.

[20] Menurut mereka Boediono adalah ahli ekonomi pendukung neoliberalisme.

[21] Selain PDIP dan Gerindra, pasangan Megawati – Prabowo didukung pula oleh 7 parpol yang tak lolos PT.,

[22] Tidak sedikit orang yang salah mengartikan neoliberal (neolib) sebagai bangkitnya kembali liberalisme. Neolib dalam kaitan ini dapat dimaknai sebagai aliran ekonomi yang ingin memperbaiki pendekatan liberalisme ekonomi dengan memasukkan unsur-unsur etika di dalam kebijakan, implementasi atau permainan ekonomi di lapangan. Masalahnya, berapa persen rakyat Indonesia yang menjadi pelaku pasar finansial di negeri ini? Agaknya jumlahnya terlalu kecil untuk dibandingkan dengan jumlah yang tidak bermain di sektor tersebut.

[23] Lihat antara lain Syamsuddin Haris (ed), Partai Dan Parlemen Lokal Era Transisi Demokrasi di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2007. Selama dua tahun terakhir ini (2007-2009) keinginan untuk merampingkan jumlah partai politik semakin gencar disuarakan mengingat fragmentasi partai cenderung makin marak. Ironisnya, banyaknya jumlah partai saat ini tidak berkorelasi positif terhadap pluralisme masyarakat Indonesia. Sebaliknya, fenomena banyaknya partai tersebut justru membingungkan masyarakat dan ikut berkontribusi negatif terhadap pelaksanaan pemilu legislatif 2009. Argument tersebut juga sangat mengemuka dalam dikusi yng dilakukan oleh “Kaukus untuk Konsolidasi Demokrasi” yang diselenggarakan atas kerjasama Pusat Penelitian Politik LIPI, The Habibie Center dan FISIP UI, Widya Graha LIPI, 27 April 2009.

[24] R. Siti Zuhro, op.cit.

Senin, 11 Mei 2009

DRAMATURGI KOALISI PARPOL DALAM PILPRES

R. Siti Zuhro (Peneliti Utama LIPI)
Media Indonesia, Senin, 11 Mei 2009

Di bawah kecemasan banyak pihak akhirnya hasil pemilu legislatif (pileg) 2009 diumumkan KPU. Tak ada kejutan berarti karena secara umum hasilnya sudah diketahui publik melalui quick count. Sesuai dengan ketentuan sejumlah parpol yang merasa dirugikan langsung melayangkan gugatan sengketa pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketika mulai dibuka ada sekitar 100 kasus yang diterima MK. Selain karena kualitas kinerja KPU yang dianggap lemah, pemberlakuan sistem suara terbanyak pada pemilu 2009 telah membuat suhu politik jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Dengan sistem tersebut kepentingan caleg acapkali tampak lebih mengemuka ketimbang parpol. Tidak sedikit caleg yang merasa dirugikan oleh teman separtainya atau oleh parpolnya sendiri.
Selain masalah penggelembungan suara, masalah DPT merupakan masalah yang paling menonjol dipersengketakan. Yang terakhir ini, bahkan, sampai membuat pemerintah cukup “gerah” karena selain dituding tak becus dan memanipulasi suara, beberapa elit parpol sampai mewacanakan kemungkinan “memboikot” pemilu presiden 8 Juli 2009. Karena dianggap bisa menimbulkan opini publik yang tidak sehat dan implikasi sosial yang destructive, SBY, bahkan, sampai terpancing membuat pernyataan politik yang agak “mengancam”.
Suhu politik yang kian memanas menjelang pilpres sebenarnya merupakan hal yang wajar. Meskipun demikian, munculnya wacana “ancaman pemboikotan” pilpres 2009 yang dilontarkan sejumlah elit parpol jelas tak bisa dipandang remeh. Selain akan berpengaruh pada legitimasi pilpres, bukan tidak mungkin implikasi ancaman tersebut bisa mengembalikan arah jarum demokrasi kembali ke titik nadir. Yang lebih berbahaya adalah bila hal tersebut sampai menjadi “bola liar” dan dipolitisasi ke dalam ranah SARA sehingga menimbulkan kekacauan sosial (chaos). Oleh karena itu, tanggapan keras tentang hal tersebut cukup bisa dipahami. Persoalannya ini bukan sekadar masalah “black campaign” terhadap SBY dan partainya, melainkan karena implikasi negatifnya yang bisa mencerai-beraikan persatuan nasional mengingat persoalan SARA teramat sensitif.

Koalisi Burung


Di bawah lemahnya kinerja KPU dan bayang-bayang ancaman boikot pilpres, adalah tidak mudah bagi pemerintah untuk meyakinkan kepada publik bahwa pilpres mendatang akan berlangsung secara jujur, adil dan aman. Kualitas kinerja KPU yang tak kian membaik jelas sangat mencemaskan. Bagi pemerintah tak ada kata yang lebih baik selain dari memperbaiki secara sungguh-sungguh masalah DPT dan mengawal pelaksanaan pilpres dengan baik.
Meskipun UU Pemilu menegaskan kepada para pemilih untuk bersikap proaktif, pemerintah tampaknya tak ingin terkubur di lubang yang sama kembali karena risiko politiknya yang tak bisa dipandang enteng. Di beberapa daerah pemerintah, bahkan, melakukan pendataan dan pengecekan pemilih kembali secara door to door. Persoalannya adalah apakah dalam penyelenggaraan pilpres nanti KPU akan mampu menjalani tahapan-tahapan pilpres sesuai dengan jadwal dan memperbaiki kinerjanya? Bila tidak, tak hanya KPU yang akan kehilangan kredibilitas atau integritasnya, tapi juga pemerintah. Meskipun penyelenggaraan pemilu merupakan tanggung jawab KPU, sulit bagi pemerintah untuk menyatakan tak ikut bertanggung jawab.
Lepas dari persoalan tersebut, yang menarik adalah bahwa sejak pengumuman hasil quick count pileg, semua parpol yang lolos parliamentary threshold (PR), khususnya, sibuk melakukan komunikasi politik dan menjajaki pembentukan koalisi dengan sesama mereka, terutama, guna menghadapi pilpres. Dengan jumlah parpol yang besar, tidak satu parpol pun yang bisa menjadi kekuatan politik yang dominan, baik di pemerintahan maupun di parlemen, tanpa berkoalisi dengan parpol lainnya. Berdasarkan hasil pileg yang ditetapkan KPU, partai Demokrat memperoleh 20,85% (148 kursi), Golkar 14,45 (108 kursi), PDIP 14,03% (93 kursi), PKS 7,88% (59 kursi), PAN 6,01% (42 kursi), PPP 5,32% (39 kursi), PKB 4,94% (26 kursi), Gerindra 4,46% (30 kursi), dan Hanura 3,77% (15 kursi). Adapun suara 29 parpol lainnya berada di bawah PR.
Sebagai parpol pemenang pemilu dan ditambah dengan elektabiltas SBY yang tinggi, Partai Demokrat seolah menjadi “gadis cantik” yang mengundang banyak pria. Sejumlah parpol kecil yang tak lolos PR dan partai menengah, seperti PBB, PKS dan PKB, langsung merapat ke Demokrat tanpa kendala politik internal berarti. Hal yang sama juga ditunjukkan Golkar. Menyadari perolehan suaranya yang lebih kecil daripada Demokrat, Golkar mengusung kembali pasangan SBY-JK. Tapi keinginan Golkar tersebut tampaknya “ditampik” SBY. Meskipun sangat membutuhkan Golkar, SBY agak kurang sreg untuk bersanding kembali dengan JK dan karena itu meminta Golkar mengajukan cawapres lainnya. Pengalaman SBY berduet dengan JK selama periode 2004-2009, membuatnya relatif hati-hati. Selain karena pemerintahannya dinilai banyak orang memiliki “dua sopir”, Golkar juga mengesankan bermain mata dengan PDIP yang diawali dari pertemuan kedua parpol tersebut di Palembang tahun 2007. Keberatan terhadap JK juga secara jelas dinyatakan elit PKS.
Penolakan halus SBY terhadap JK telah membuat Golkar beralih ke PDIP dengan mengusung JK sebagai capres. Keadaan tersebut telah membuat peta koalisi besar beralih dari blok SBY ke blok Megawati. Golkar, PDIP, Gerindra, Hanura, dan sejumlah parpol kecil lainnya pun mendeklarasikan “koalisi besar” di parlemen. Tetapi, keceriaan tersebut seolah terhenti ketika mereka tak bisa menemukan titik temu untuk mengusung capresnya. Sebab semua pimpinan parpol berlindung di balik amanat parpolnya untuk hanya menjadi capres dan bukan cawapres.
Tanpa mengesampingkan faktor lainnya, seperti elektabilitas, jalan buntu yang dihadapi blok Megawati tersebut agaknya juga disebabkan oleh usia para capres masing-masing parpolnya. Usia rata-rata mereka yang di atas kepala 6 dan mendekati kepala 7 telah membuat mereka tak melihat kesempatan lain, kecuali dalam pemilu ini. Itulah sebabnya mengapa realitas perolehan suara pileg masing-masing parpol seperti dikesampingkan.
Dengan motto “lebih cepat lebih baik”, Golkar – Hanura melompat ke luar dan mendeklarasikan JK-Wiranto sebagai pasangan capres-cawapres dan sekaligus membuyarkan impian “koalisi besar” blok Megawati dan sekaligus ancaman boikot pemilu. Jalan buntu yang dihadapi PDIP – Gerindra pun semakin tampak karena masing-masing pihak tak juga bergeming dari pendiriannya. Sementara itu, pilihan untuk mencari cawapres dari parpol lain semakin sulit. Sebab PAN dan PPP sudah menunjukkan kecenderungannya untuk merapat ke Demokrat. Seolah menyertai keduanya isu terakhir yang mengejutkan banyak pihak adalah adanya kabar angin yang menyebutkan bahwa PDIP telah menjalin komunikasi dan menjajaki kemungkinan berkoalisi dengan Demokrat.
Melihat jalannya drama koalisi politik tersebut, tampak sekali bahwa pembangunan koalisi antarparpol sangat dipengaruhi oleh faktor kepentingan partai dan elitnya. Ibarat seekor burung mereka bisa hinggap di mana saja tanpa terbebani oleh perbedaan ideologi, platform dan misi partai masing-masing. Fenomena ini sesungguhnya bukan hal baru. Pada masa Orde Lama, misalnya, dua partai Islam terbesar, yakni NU dan Masyumi saling berseberangan. NU lebih memilih merapat ke Sukarno, sedangkan Masyumi justru memilih menjadi rivalnya Sukarno.
Kalaupun pernah terjadi koalisi antarparpol Islam dalam bentuk “Poros Tengah”, koalisi tersebut bersifat sangat rapuh karena sarat dengan kepentingan politik. Meskipun koalisi tersebut berhasil menjadikan Gus Dur sebagai presiden pertama era reformasi, masa koalisi tersebut tak lebih dari seumur jagung yang pupus seiring dengan dilengserkannya Gus Dur dari kursi kepresidenannya, khususnya, oleh kelompok mereka sendiri.
Fenomena yang sama juga dialami oleh SBY dan partainya. Tidak sedikit kebijakan pemerintah yang tak didukung oleh parpol yang mengaku berkoalisi dengan Demokrat. Sejumlah hak angket di DPR, misalnya, juga dimotori oleh beberapa anggota DPR dari parpol yang berkoalisi dengan pemerintah, termasuk PKS dan Golkar. Oleh karena itulah, jauh-jauh hari SBY sudah menyatakan hanya akan membangun koalisi dengan kontrak politik yang jelas.

Blessing in Disguise


Melihat drama politik tersebut di atas tak ubahnya seperti dagelan ketoprak atau lenong yang ceritanya berakhir dengan antiklimaks dan happy ending. Meskipun suhu politik menjelang pilpres akan semakin memanas, isu tentang pemboikotan pemilu tampaknya akan tenggelem dengan sendirinya. Runtuhnya “koalisi besar” Megawati cs menjadi blessing in disguise bagi SBY cs. Faktor kepentingan elit dan partai yang lebih mengemuka membuat peta perubahan politik sulit diprediksi. Apalagi karena elit parpol sering bersembunyi di balik ungkapan “tak ada yang tak mungkin dalam politik”. Komunikasi politik yang dilakukan Demokrat dan PDIP bukan saja telah mengejutkan publik, melainkan juga JK-Wiranto. Maka, bukan tidak mungkin bila akhir drama politik pilpres ini akan berujung, terutama, pada pertarungan besar antara Golkar-Hanura dan Demokrat cs yang notabene masih merupakan saudara sekandung.
Lepas dari itu, zigzag politik yang dilakukan para elit parpol dengan mengedepankan kepentingan sempit mereka jelas tidak memberikan pendidikan politik yang baik pada masyarakat. Hal tersebut bisa jadi telah mencederai kepentingan politik para pemilihnya. Sebab, harapan rakyat untuk memperbaiki nasibnya akan semakin jauh dari kenyataan. Bagi rakyat akhirnya yang membuat mereka masih bisa bernafas lega adalah kemungkinan terselenggaranya pilpres 2009 yang aman dan legitimate. Dalam kemiskinan hanya “rasa aman” yang membuat mereka masih bisa tersenyum. Pertanyaannya adalah apakah kali ini para elit parpol, baik yang terpilih di parlemen maupun di pemerintahan masih memiliki “mata hati” untuk tidak terus mencederai rakyat? ***

Pasangan JK-Wiranto


R Siti Zuhro

Peneliti Utama LIPI


Kecemasan publik akan kebuntuan yang dihadapi para elite parpol dalam menentukan pasangan capres-cawapres yang akan menjadi pesaing capres SBY akhirnya terjawab sudah dengan deklarasi pasangan JK-Wiranto, 1 Mei 2009. Deklarasi itu menepis kekhawatiran kemungkinan boikot pemilu atau calon tunggal dalam Pilpres 8 Juli 2009. Bagi Partai Golkar, bergabungnya Wiranto tak ubahnya seperti orang yang menemukan kembali saudara kandungnya. Sebagaimana diketahui, pada Pilpres 2004 Wiranto menjadi capres Golkar.

Moto JK "lebih cepat lebih baik" tepat karena bersama Wiranto, keduanya berhasil mendeklarasikan pasangan capres-cawapres pertama. Deklarasi itu sekaligus menyebabkan posisi koalisi PDIP dan Gerindra menjadi sulit dan cenderung deadlock. Apabila keduanya tak juga mendapatkan titik temu, bukan tidak mungkin salah satunya urung menjadi capres dan mengikhlaskan partainya berkoalisi ke partai lain atau sekadar menjadi penonton. Prinsip "siapa cepat dia dapat" akan menentukan nasib kedua partai itu. Sebab, sisa suara yang tersedia untuk mendapatkan pasangan lain terlalu kecil untuk dibagi berdua.

Bagi JK, pengalamannya akan menjadi bekal memimpin Indonesia. Dengan kepemimpinan yang tegas dan kuat, dia yakin akan sukses menjalankan roda pemerintahan apabila terpilih. Tetapi, masalahnya bukan saja pesaingnya dipandang lebih tangguh, melainkan JK juga memiliki persoalan internal yang cukup mengganggu. Pertama, dalam tubuh Golkar terdapat sejumlah DPD II yang kurang mendukung pencapresannya. Apalagi berpasangan dengan Wiranto. Setidaknya, terdapat 200 DPD II yang menyatakan dukungannya kepada Akbar Tandjung sebagai cawapres SBY. Hal ini mengharuskan JK melakukan konsolidasi internal partainya.

Kedua, konsolidasi itu juga harus dilakukan pada sebagian jajaran elite Golkar di Jakarta yang juga kurang puas dengan keputusan JK. Dengan kata lain, baik secara institusional maupun individual, elite Partai Golkar harus solid agar suara Golkar di akar rumput tak beralih ke kandidat lain.

Bagi JK-Wiranto, impian menjadi RI-1 dan RI-2 tidak mudah. Pertama, dari berbagai survei, elektabilitas ketokohan pasangan JK-Wiranto selama ini jauh di bawah SBY, Megawati, dan Prabowo. Kedua, meski partai cukup solid, suara Partai Hanura menempati ranking terbawah di antara parpol yang lolos parliamentary threshold (PR). Ketiga, Wiranto merupakan capres yang pernah gagal pada putaran I Pilpres 2004. Keempat, sulit dimungkiri bahwa pasangan JK-Wiranto terkesan dipaksakan karena tiadanya partai lain yang dapat diajak bekerja sama.

Atas dasar itu, selain harus membangun soliditas yang tinggi dalam tubuh Golkar, JK harus mampu meningkatkan pencitraannya dengan mewujudkan "warna baru". Dengan kerja keras, "suara rakyat suara Tuhan" bukan tak mungkin berpihak kepada mereka sebab pesaing tertangguhnya juga saudara kandungnya sendiri, Partai Demokrat.***