Selasa, 14 April 2009

PEMILU LEGISLATIF 2009: SEBUAH CATATAN KRITIS

R. SITI ZUHRO
(Peneliti Utama LIPI)

Puncak pesta pemilu legislatif usai sudah. Di tengah kegemasan masyarakat atas buruknya kinerja KPU, pemilu berjalan dengan relatif damai dan demokratis. Meskipun jumlah golput diduga meningkat (sekitar 35-40%), pesta rakyat itu sendiri cukup meriah. Seperti sudah diprediksi sejumlah lembaga survei, partai politik (parpol) yang berhasil melewati parliamentary threshold (PR) tak lebih dari hitungan jari. Yang mengejutkan, baik hasil penghitungan sementara KPU maupun quick count menempatkan partai Demokrat (21,25%) di peringkat pertama, disusul oleh PDIP (14,99%) dan partai Golkar (14,42%). Dengan kata lain, terjadi kenaikan fantastis (sekitar 200%) suara partai Demokrat.
Bila hasil tersebut tepat, berarti pil pahit akan dirasakan oleh dua partai terbesar selama ini, yakni Golkar dan PDIP, karena penurunan suaranya yang cukup signifikan. Hasil quick count juga menunjukkan bahwa basis-basis utama kedua partai tersebut banyak yang tergerogoti partai Demokrat. Bak pemain total football, partai SBY tersebut nyaris menguasai atau setidaknya mewarnai semua lini. Sulawesi Selatan berhasil dibuatnya tak sekuning dulu lagi. Demikian pula dengan Bali yang tak lagi memerah. Membirunya Jawa Timur dan Jawa Barat tentu merupakan tamparan hebat bagi elit dan kader PDIP dan Golkar.
Kemampuan partai Demokrat mengungguli partai Golkar dan PDIP antara lain disebabkan oleh citra Demokrat yang cenderung lebih terbuka, aspiratif, dan relatif bersih. Meskipun secara umum partai Demokrat merupakan anak kandung atau setidaknya merupakan “saudara sedarah” partai Golkar dan teman sepenanggungan di pemerintahan, partai Demokrat lebih mampu memisahkan dirinya dari stigma partai Orde Baru yang kolutif, korup, dan nepotisme (KKN). Lepas dari faktor ketokohannya, komitment SBY dalam pemberantasan korupsi tampak lebih kuat dibandingkan dengan Golkar. Hal ini telah memberikannya citra positif bagi Demokrat di mata rakyat.
Sosok SBY sebagai pembawa gerbong Demokrat tak jarang dikritik sebagai pemimpin yang sangat sensitif. Namun, sensitivitasnya tersebut justru menguntungkan citranya, yang dinilai santun, hati-hati dan mau mendengarkan. SBY, misalnya, tampak berusaha keras untuk menjaga jarak antara ranah kerja dan keluarga besarnya. Ia juga senantiasa merespons semua isu miring yang dilayangkan kepada dirinya dan keluarganya, juga kepada partainya. Upayanya untuk menjelaskannya secara argumentatif kepada publik tentang keluarga besarnya yang terlibat dalam jabatan parpol dan pemerintahan relatif berhasil sehingga ia tidak dipersepsikan secara negatif sebagai orang yang tengah membangun dinastinya.
Sementara itu, partai Golkar dipandang gagal menunjukkan dirinya sebagai parpol anti korupsi. Banyaknya kasus korupsi dan skandal immoral yang menimpa beberapa kader Golkar telah menciderai citranya. Sebagai pimpinan partai, JK kurang mampu menjaga citra postitif partainya karena ia tampak lebih defensif dalam menanggapi kader-kader parpolnya yang bermasalah tersebut.
Selain itu, partai Golkar juga kurang mampu menunjukkan dirinya sebagai partai “terbuka” yang memberikan akses yang sama pada kader-kadernya untuk menduduki jabatan-jabatan politik. Terobosan yang pernah dilakukan Akbar Tanjung dengan membuat konvensi partai Golkar untuk memilih calon presidennya juga tidak diteruskan. Hal ini menimbulkan kegelisahan sebagian elit di Golkar, seperti yang dirasakan Yudi Krisnandi, Fadel Muhammad, dan Sultan Hamengkubuwono.
Penurunan suara PDIP dalam pemilu legislative 2004 dan 2009 tampaknya disebabkan oleh citra negatifnya yang semakin mengarah ke kedinastian. Seperti halnya Bung Karno, Megawati juga memperlihatkan tipe kepemimpinan yang one man show. Icon PDIP sebagai partai wong cilik yang memuluskan kemenangan PDIP pada pemilu 1999 PDIP cenderung memudar antara lain karena ketidakmampuannya menyelesaikan kasus 27 Juli dan sifat kepemimpinannya yang cenderung otoriter. Satu demi satu teman-teman dekat Megawati yang berjasa mengusungnya menjadi ketua PDIP dan membesarkan PDIP hengkang.

Pola Hubungan Parpol dan Massa
Dalam sitem politik yang demokratis, setiap parpol semestinya mampu menunjukkan dirinya sebagai parpol yang terbuka, inklusif, dan transparan. Apalagi dengan diberlakukannya sistem suara terbanyak dalam pemilu legislatif sekarang ini. Semestinya setiap calon legislatif dan tokoh politik tidak saja mendekatkan dirinya dengan konstituennya, melainkan juga harus menjaga citranya sebagai tokoh yang bersih, aspiratif dan akomodatif.
Pola hubungan antara parpol dan massa ditengarai ikut berperan dalam mempengaruhi munculnya fragmentasi kepartaian. Menurut Syaiful Mujani, instabilitas hubungan antara parpol dan massa menjadi penyebab fragmentasi kepartaian. Sebagai contoh menurunnya perolehan suara PDI-P dan partai Golkar, PPP dan PKB dalam Pemilu Legislatif 2009 yang diikuti oleh naiknya perolehan suara partai Demokrat ke posisi pertama, merupakan salah satu bukti konkret. Instabilitas pola hubungan ini akan mengancam proses demokratisasi karena partai politik yang menjadi pilar demokrasi sulit melakukan konsolidasi.
Selain itu, tingkat ketidakpuasan massa terhadap parpol menjelang pemilu legislatif cenderung tinggi. Ini karena aspirasi dan kepentingan massa tidak terwakili dalam proses pengambilan keputusan (kebijakan publik). Parpol tidak melakukan fungsi representasi dan intermediasi secara maksimal. Parpol juga tampak sibuk dan terjebak dalam pergulatan kepentingannya sendiri dan tidak mengabaikan massa yang menjadi pendukungnya dalam pemilu. Disadari atau tidak, proses pengabaian ini secara lambat namun pasti telah mendelegitimasi eksistensi partai politik. Bagi massa, parpol gagal melaksanakan peran dan fungsinya selama ini, dan cenderung menggunakan institusi parpol hanya untuk memperjuangkan kekuasaan dan kepentingannya sendiri.
Padahal partai politik merupakan sarana terpenting tegaknya demokratisasi. Dalam dirinya antara lain terkandung makna sebagai alat agregasi kepentingan, sosialisasi politik dan sistem rekruitmen elit. Karena itu, partai politik tidak saja bertugas menyaring para pejabat publik, elit politik dan sekaligus mengontrol jalannya pemerintahan, tetapi juga harus mampu menyerap aspirasi masyarakat. Kehendak dan kepentingan masyarakat tidak bisa diabaikan begitu saja.

Implikasinya terhadap Demokratisasi

Bangsa Indonesia kurang mau belajar dari sejarah. Tumbangnya pemerintahan Orde Baru seharusnya menjadi pelajaran berharga bahwa institusi demokrasi, etika dan kejujuran harus dibangun. Tetapi, sejarah tersebut tampaknya kembali dilupakan oleh elit politik dan penguasa. Perpecahan internal partai politik yang diikuti dengan munculnya partai baru merupakan gambaran yang jelas dari pemberontakan terhadap kepongahan Sang Penguasa Partai (ketua partai). Sentralisasi kekuasan di sejumlah tubuh partai politik besar khususnya, masih menonjol. Keadaannya nyaris tak berbeda jauh dari masa kepartaian di zaman Orde Baru. Hak veto sang penguasa partai dalam mengatasi masalah tampak lebih mengemuka ketimbang aturan-aturan kepartaian dan demokrasi.
Keadaan internal partai yang tidak terselesaikan dengan baik sesuai dengan rambu-rambu demokrasi membuat partai makin sulit meyakinkan konstituennya untuk memberikan dukungannya dalam pemilu. Dengan institusionalisasi partai yang masih lemah, sulit diharapkan lahirnya kebijakan yang dapat memihak kepentingan rakyat. Keadaan inilah yang membuat masalah pengangguran, kemiskinan, pendidikan dan masalah pembangunan pada umumnya belum juga menemukan pemecahannya. Dengan kata lain, proses pemilu dan pasca pemilu tidak berkorelasi positif karena pemerintah baru gagal merealisasikan pemerintahan yang baik untuk melayani masyarakat.

Prospeknya
Hasil pemilu legislatif 2009 menunjukkan kemenangan rakyat. Otoritas rakyat dalam memilih wakil dan partai yang dikehendaki tercermin dengan sangat gamblang, baik melalui hasil penghitungan sementara KPU maupun quick count beberapa lembaga survei. Rakyat telah memberikan pelajaran dan hukuman kepada parpol yang dinilainya telah lalai mewakili aspirasi dan kepentingannya sehingga nasib mereka tetap terpuruk.
Pasca Pemilu 2009 prospeknya akan cerah bila Indonesia mampu melakukan terobosan politik yang signifikan dan bermanfaat bagi rakyat. Ke depan Indonesia perlu melakukan perampingan parpol agar pemerintah lebih berkonsentrasi penuh merealisasikan program pembangunan ekonomi. Hal ini mengingat rendahnya efektivitas pengambilan keputusan politik terkait dengan banyaknya partai yang ada di parlemen. Juga, kurang-sesuainya jumlah anggota di fraksi-fraksi kecil di DPR, terkait jumlah komisi, pansus, dan kerja-kerja DPR.
Selain itu, realitas peta ideologi di Indonesia tidak serumit yang dicerminkan jumlah partai politik. Banyak partai yang sesungguhnya berasal dari spektrum atau domain ideologi yang sama, dan mereka dapat bergabung dalam satu partai saja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan adanya perampingan partai yang memungkinkan pemerintah bisa bekerja secara optimal dan stabilitas politik terjaga.
Untuk itu, pola koalisi yang lebih terformat, terukur dan permanen sudah harus mulai dibangun dan dijamin oleh undang-undang. Pengerucutan koalisi partai menjadi hanya dua saja menjadi prasyarat penting. Demikian juga dengan fraksi di Parlemen cukup dua saja: fraksi pemerintah dan fraksi oposisi. Realisasi dan konsistensi ini sangat diperlukan untuk menjamin efektivitas dan stabilitas pemerintahan yang pro-rakyat dan berlangsungnya sistem presidensiil.***

Kamis, 02 April 2009

[BUKU] Demokrasi Lokal: Peran Aktor Dalam Demokratisasi

Peran AktorPeran Aktor Dalam Demokratisasi

Penulis: R. Siti Zuhro, MA, dkk.

Kata Pengantar: Dewi Fortuna Anwar

314 hlm. (xxii + 256 + indeks)

Ukuran: 15,5 x 24 cm

Terbit: Maret 2009

ISBN: 602-8335-14-2

Harga : Rp. 65.000.

[BUKU] Demokrasi Lokal: Peran Aktor Dalam Demokratisasi

Peran AktorPeran Aktor Dalam Demokratisasi

Rabu, 01 April 2009

[BUKU] Demokrasi Lokal: Perubahan dan Kesinambungan Nilai-Nilai Budaya Politik Lokal di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Bali

Demokrasi Lokal: Perubahan dan Kesinambungan Nilai-Nilai Budaya Politik Lokal di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Bali
Budaya politik lokal
Penulis: R Siti Zuhro. dkk.
Prolog : Maswadi Rauf.
Epolog : Yudi Latif
314 hlm. (xviii + 296 + indeks) Ukuran: 15,5 x 24 cm
ISBN: 978-602-8335-09-6
Harga: Rp. -.

Sinopsis:

Buku ini pada dasarnya hendak memeriksa hubungan timbal balik antara ”budaya-demokrasi serta demokratisasi-budaya” menurut keragaman kelompok budaya-politik. Yang ingin dilihat bukan hanya bagaimana corak budaya lokal mempengaruhi proses demokratisasi, tetapi juga bagaimana perkembangan demokratisasi yang digulirkan, termasuk di dalamnya kebijakan otonomisasi, mempengaruhi budaya politik lokal. Dengan demikian, perkembangan budaya politik bisa dilihat sebagai proses dialektika antara kesinambungan dan perubahan. Juga bisa diidentifikasi unsur-unsur budaya mana yang kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi, serta kebijakan politik macam apa pula yang bisa membawa perubahan yang signifikan bagi perkembangan budaya masyarakat. Dengan upaya seperti itu, diharapkan bisa diidentifikasi khasanah kebudayaan lokal macam apa yang bisa dipertahankan, dan unsur-unsur inovasi apa saja yang bisa didifusikan ke dalam proses belajar sosial secara kolektif, dalam usaha menyehatkan perkembangan demokrasi di Indonesia.