Kamis, 22 Januari 2009

11 Parpol Ajukan Uji Materiil

KUASA hukum Tim Advokasi Negara Hukum, A. Patra M. Zen (kiri) membacakan surat gugatannya terhadap pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, pada sidang pertama gugatan perkara di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (21/1). Pasal tersebut digugat karena dianggap menghanguskan suara bagi partai kecil.* LINA NURSANTY/"PR"


JAKARTA, (PR).-
Sebelas partai politik dan 186 calon anggota legislatif (caleg) dari berbagai parpol mengajukan uji materiil pasal 202 ayat (1) UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal itu dianggap memberangus suara rakyat karena mensyaratkan perolehan suara bagi parpol sekurang-kurangnya 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

"Sistem parliamentary threshold seperti ini proses penghitungannya sangat tidak adil dan tidak dianut di negara-negara lain," kata kuasa hukum Tim Advokasi Negara Hukum A. Patra M. Zen di sidang pertama di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jln. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (21/1).

Patra mengatakan, dengan adanya pasal 202 (1), caleg yang memperoleh suara terbanyak akan tetapi parpolnya tidak mencapai ambang batas 2,5% suara nasional, maka suara parpolnya itu tidak dihitung. "Secara otomatis caleg yang memperoleh suara terbanyak itu tidak bisa duduk di DPR. Ini berarti legitimasi suara terbanyak diingkari," ujarnya.

Menurut Patra, sistem penghitungan dengan ambang batas itu akan membuat banyak suara yang hangus. Berdasarkan hasil simulasi sederhana, 2,5% dari 176 juta pemilih yang tercantum dalam DPT, suara yang terancam hangus itu kurang lebih 4,4 juta suara.

Sebelas parpol yang mengajukan gugatan tersebut, yaitu Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Patriot, Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Nasional Banteng Kerakyatan (PNBK), Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB), Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI), dan Partai Merdeka. Sementara, 186 caleg yang mengajukan gugatan itu sebagian besar dari 11 parpol di atas, ditambah 30 caleg dari Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI).

Kekhawatiran penerapan parliamentary threshold yang tersurat dalam pasal 202 (1) itu membuat pimpinan parpol khawatir. Ketua Pelaksana Harian PDP Roy Janis dan Sekjen PPD Adhie Massardi memprediksi akan terjadi gejolak sosial jika sistem ini tetap diterapkan. Mereka juga menuduh partai-partai besar di Senayan berniat memberangus demokrasi. "Partai-partai yang akan muncul itu diktator ma-yoritas karena minoritas tidak diakui," kata Roy.

Ketua Hakim Konstitusi, H.A. Mukhthie Fadjar menargetkan sidang putusan berlangsung pada pertengahan Februari. "Saya maunya cepat karena pemilu sudah dekat,"ujarnya.


Jajaki koalisi



Sementara itu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjajaki kemungkinan koalisi dengan Partai Golkar. Pucuk pimpinan kedua parpol besar itu melakukan pertemuan tertutup di kediaman Ketua DPP Partai Golkar, Jusuf Kalla.

Sinyal koalisi diakui Ketua DPP PPP Suryadharma Ali. Namun, Ali dan Kalla masih tampak sangat hati-hati. "Ada sinyal-sinyal ke arah itu (koalisi), tapi nanti setelah Pemilu Legislatif," kata Ali seusai bertemu Jusuf Kalla di kediaman Jln. Diponegoro Jakarta Pusat, Rabu (21/1).

Pada hari yang sama, pertemuan antarelite politik juga berlangsung di kediaman Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Jln. Teuku Umar, Jakarta Pusat. Kali itu, Sultan Hamengku Buwono yang datang menyambangi rumah Mega. Menurut Ketua FPDIP DPR Tjahjo Kumolo pertemuan yang berlangsung tertutup itu diikuti Taufik Kiemas dan Sekjen PDIP Pramono Anung.

Sekitar satu jam kemudian, pertemuan Mega-Sultan diramaikan dengan kedatangan Sutiyoso. Namun, ketiganya bungkam ketika disinggung isi pertemuan tersebut.

Pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. R. Siti Zuhro, M.A. menilai langkah para politisi itu masih terlalu dini mengingat pileg baru akan berlangsung tiga bulan mendatang. Selain itu, elite politik di Indonesia tidak terbiasa membangun koalisi permanen yang berbasiskan ideologi. Setiap koalisi yang terbangun selalu berdasarkan kepentingan pragmatis.

"Kita terwarisi tidak membuat koalisi permanen dan terformat," katanya.

Terkait pertemuan antara Suryadharma Ali dan JK, Siti menilai kepentingannya masih seputar pragmatisme politik.

"Yang penting adalah saya dapat apa dan berapa banyak," ujarnya.
(dtc/A-156) ***

Selasa, 20 Januari 2009

Quo Vadis Politik 2009?



R Siti Zuhro

Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


Dinamika politik Indonesia selama 1998-2008 relatif positif. Ini ditandai dengan makin meningkatnya partisipasi masyarakat dalam politik dan menguatnya civil society. Meskipun terfragmentasi, peran parpol sangat menonjol di DPR, dalam pemilihan umum (pemilu), juga dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).

Menjelang Pemilu 2009, politik diwarnai persaingan antartokoh politik dalam memperebutkan dukungan partai. Sejauh ini para pesaing dalam bursa calon presiden (capres), khususnya, kembali didominasi oleh tokoh lama. Meskipun beberapa wajah baru juga muncul sebagai pesaing, tingkat popularitas mereka nyaris tak terdengar di tengah gemerlapnya wajah-wajah lama.

Keadaan itu jelas menunjukkan kegagalan proses kaderisasi dalam tubuh parpol. Kita masih ingat, sebagai ungkapan tanggung jawab, sejumlah pengamat, pemerhati, profesional, dan tokoh masyarakat menyikapinya dengan mendirikan Komite Indonesia Bangkit (KIB), Oktober 2007, dan Dewan Integritas Bangsa (DIB), November 2008. Kedua organisasi tersebut ingin ikut serta memberikan pendidikan dan bimbingan kepada masyarakat agar mereka memilih pemimpin yang mampu menjawab perubahan sosial dan memberikan solusi ekonomi yang lebih baik.

Kecenderungan menguatnya kompetisi para tokoh belakangan ini akan berkesinambungan dan berpengaruh terhadap dinamika politik 2009. Mereka akan berkompetisi memperebutkan dukungan politik pada pemilihan legislatif (pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Pergulatan politik ke depan makin semarak, meskipun tokoh-tokoh (pendatang) baru belum banyak mendapat perhatian rakyat.

Sementara itu, fenomena meningkatnya indeks kesengsaraan rakyat menuntut para tokoh dan parpol membuat terobosan-terobosan penting dalam mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat. Atas nama keterpurukan ekonomi, meningkatnya jumlah kemiskinan dan pengangguran serta kekecewaan masyarakat terhadap elite politik, masyarakat menuntut perbaikan riil.

Padahal Pileg 2009 belum tentu mampu menjadi arena kompetisi figur-figur yang berkualitas dan berintegritas. Sulit diharapkan munculnya calon-calon wakil rakyat yang memiliki mental pembaharu dengan gagasan segar di parlemen. Masih eksisnya sistem patronase dan rekrutmen yang sifatnya top down dalam tubuh partai menghambat proses regenerasi dan rekrutmen secara profesional dan demokratis. Ke depan, kompetisi antarpartai menguat, tapi dominasi dua partai besar masih akan berlanjut, meskipun sejumlah partai baru bermunculan.

Pilpres 2009 juga belum tentu bisa menjadi ajang kompetisi figur-figur berkaliber nasional yang memiliki visi lokal, regional, dan internasional yang mampu menjawab permasalahan pelik yang dihadapi Indonesia. Pilpres bisa jadi gagal membangun terciptanya korelasi positif antara pemilu dan pascapemilu, antara terpilihnya pemimpin yang berkompensi tinggi dan terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik. ***

Sabtu, 17 Januari 2009

SBY Perkuat Dukungan dari Partai Tengah

R Ferdian Andi R

76537INILAH.COM, Jakarta – Dua partai pendukung SBY dalam Pilpres 2004, PPP dan PBB, kembali mencalonkan figur Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu untuk menjadi Capres 2009-2014. Tampaknya, selama empat tahun berperan di Kabinet Indonesia Bersatu, elit partai tengah merasa nyaman dengan kepemimpinan SBY.


Peneliti LIPI Siti Zuhro menilai dukungan itu merupakan sikap politik yang wajar-wajar saja. Bagi SBY sendiri, penting untuk memastikan dukungan dari kalangan partai tengah, terutama yang kini terlibat di pemerintahannya.

“SBY sedini mungkin memastikan dukungan dari partai tengah untuk memperkuat posisinya ketika tampil kembali dalam Pilpres 2009,” ujar Siti kepada INILAH.COM, Jumat (16/1) di Jakarta. Berikut ini wawancara lengkapnya:


Partai tengah yang kini menjadi terlibat di kabinet SBY, sejak dini telah menegaskan untuk kembali mendukung SBY dalam Pilpres 2009. Apakah ini indikasi betapa kuat SBY dalam mengindoktrinasi para menterinya atau sekadar sikap partai tengah tersebut?

Kedua-keduanya. Kecenderungannya, dalam banyak hal incumbent punya peluang besar untuk menggunakan apa pun. Di era Soeharto dapat digunakan secara efektif mulai desa sampai nasional, saat ini bisa jadi kemungkinannya akan seperti itu. Kekuatan birokrasi akan digunakan oleh partai penguasa.

Beberapa partai menengah tadi mengikuti dinamika politik terakhir, terutama menjelang pemilu. Termasuk hasil survei yang menunjukkan SBY masih terbaik. Karena memang rivalnya tidak cukup kreatif membuat terobosan yang dinanti oleh masyarakat, terutama harapan akan munculnya pemimpin alternatif.


Artinya, peluang capres alternatif sulit muncul di lapis partai tengah?

Diantisipasi seperti itu. Jadi mereka tidak mau kehilangan kekuasaan, makanya diantisipasi sedini mungkin sebelum munculnya capres alternatif. Ini memang hitung-hitungan politik yang perlu ketajaman berdasar pada fenomena riil bahwa SBY saat ini memang lebih diminati dibandingkan tokoh lainnya. Makanya, SBY mengalang sekuat tenaga dengan menghimpun partai kelas menengah agar establish. Ini semacam langkah memantapkan dukungan SBY.


Bagaimana dengan kompensasi politik antara elit partai tengah dengan SBY, baik itu politik maupun hukum, sehingga pagi-pagi mereka menjagokan SBY?

Jadi hitungan politik tadi dilakukan dengan konsensi. Siapa mendapat apa. Dalam politik selalu seperti itu. Dalam konteks pemilu ini, kelihatan sekali, SBY sedang menggalang kepastian dengan melakukan konsensi-konsensi juga. SBY sudah mulai menghitung plus minus, untung ruginya berkoalisi dengan siapa. Basis dukungan partai utamanya siapa. Karena memang waktunya agak cepat pilpresnya, jadi tidak terlalu banyak waktu.


Jadi memang sulit berharap munculnya capres alternatif di level partai tengah ini?

Bisa saja capres alternatif muncul dari capres tengah, kalau memang bisa melampaui apa yang ditawarkan SBY. Ini semuanya tentatif. Tapi SBY ingin yang tentatif ini lebih firm dan establish.

Tidak tertutup kemungkinan muncul calon lain dari capres tengah, karena ada pihak yang merasa kecewa banaget. Soliditas partai tengah mulai goyah dengan iming-iming kontrak baru. Dalam politik, antara uang dan kekuasaan selalu berhimpit.


Tapi selama empat tahun terakhir ini, apakah memang anggota cabinet ‘dienakkan’ oleh SBY, sehingga implikasinya pagi-pagi mereka mendukung SBY?

Itulah cara SBY menjinakkan lawan politiknya, sehingga lawan percaya, tidak punya pilihan lain. Karena focus parpol dan politisi hanya kepentingan dan kekuasaan. Selama tuntutan mereka dipenuhi, konsensi terjadi, kalkuasi politik jelas, maka akan seperti itu hasilnya. [P1]

Jumat, 16 Januari 2009

Politisi Kita Mabuk Kekuasaan?

Pemilu 2009 - R Ferdian Andi R


Susilo Bambang Yudhoyono[inilah.com/Raya Abdullah]

INILAH.COM, JakartaDikenyam sekali, ketagihan seterusnya. Begitulah sifat kekuasaan. Maka tak mengherankan bila politisi yang hidup di pusat kekuasaan berambisi mempertahankannya sekuat tenaga. Dengan cara apa pun termasuk bila harus meninggalkan partai yang membesarkannya.

Nikmatnya kekuasaan selama hampir lima tahun di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, bagi sebagian menteri, sulit dilepaskan begitu saja. Mereka ingin berlanjut hingga 2014. Menariknya, menteri-menteri yang kepincut dengan pesona SBY adalah mereka berlatar belakang para petinggi partai politik.

Sebut saja Ketua MPP DPP PPP Bachtiar Chamsyah (Menteri Sosial KIB) yang pagi-pagi telah menegaskan dirinya bakal mendukung SBY untuk Pilpres 2009. Bachtiar tidak sendirian, Ketua Umum DPP PBB MS Kaban (Menteri Kehutanan KIB) juga mendukung SBY untuk lima tahun mendatang.

Di PKB juga demikian. Masuknya Sekjen DPP PKB Lukman Edy dan Ketua DPP PKB Erman Suparno di KIB juga menjadi pemulus bagi SBY untuk mendapat dukungan dari partai kaum santri tersebut. Meski hingga kini, PKB belum jelas mengusung siapa, diyakini akhir cerita dari manuver PKB seperti rencana konvensi, bakal berujung pada dukungan penuh terhadap SBY.

Kecenderungan para menteri atau partai pendukung pemerintah mendukung SBY kali kedua dalam periode 2009-2014 jelas bukanlah gratis. Konsensi politik menjadi pijakan dalam dukungan tersebut.

Menurut pengamat politik dari LIPI, Siti Zuhro, dukungan partai tengah terhadap SBY seperti PBB, PPP, PKB dan beberapa partai politik lainnya, jelas berpijak pada hitung-hitungan politik. “Saya melihat SBY sedang menggalang kepastian dengan melakukan konsensi dengan partai politik menengah,” jelasnya kepada INILAH.COM, Jumat (16/1) di Jakarta.

Langkah cepat SBY ini, sambung Siti, penting dilakukan untuk mengantisipasi munculnya capres alternatif. Kondisi ini pula tampak ditangkap oleh elit partai tengah dengan melakukan dukungan sedini mungkin terhadap SBY dalam Pilpres 2009 mendatang. “Jadi sulit berharap capres alternatif dari partai kelas tengah, jika mereka sudah firm untuk mendukung SBY, meski tetap tergantung konsensinya,” tegasnya.

Kondisi ini juga dipengaruhi dengan popularitas dan elektabilitas SBY yang tercermin dalam survei politik terkini. Posisi SBY jauh di atas angin dari rival politiknya seperti Megawati Soekarnoputri, Sultan HB X dan tokoh lainnya. “Dengan perolehan ini, partai tengah berhitung dengan elektabilitas SBY saat ini. Apalagi, belum ada tokoh yang bisa menandingi SBY,” paparnya.

Jika merujuk beberapa peristiwa politik dan hukum yang menimpa beberapa elite partai tengah, memang sulit jika tidak menyandingkan dengan campur tangan kuasa SBY sebagai Presiden RI. Misalnya seperti kasus Muhaimin Iskandar dengan Gus Dur dalam konflik PKB. Kemenangan ada di tangan Muhaimin. Banyak tuduhan dari kalangan Gus Dur, kemenangan Muhaimin adalah bentuk intervensi dari SBY.

Ada juga MS Kaban. Dia sempat berkali-kali bertandang ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan aliran dana BI sebesar Rp 31,5 miliar ke sejumlah anggota DPR periode 1999-2004. Ini terkait dengan dirinya sebagai anggota Komisi IX DPR.

Hingga kini, kasus Kaban tak lagi ramai diperbincangkan. Meski, untuk dua kasus tersebut, sulit membuktikan keterlibatan campur tangan SBY atas ‘kemenangan’ para pendukungnya.

Siti yakin, fenomena dukungan secara dini terhadap SBY oleh elit partai tengah tak terlepas dari upaya penjinakkan SBY terhadap elit partai di level ini. Apalagi, kata Siti, partai politik dan elite partai hanya memikirkan kepentingan dan kekuasaan. “Selama dipenuhi, konsensi jelas, maka akan seperti itu,” tegasnya.

Kepincutnya para elit partai tengah bukan tanpa soal. Di internal partai tengah kini terjadi riuh rendah yang berpotensi konflik menajam. Seperti Suryadharma Ali dan Bachtiar Chamsyah di PPP, dan Yusri Ihza Mahendra dengan MS Kaban. Mereka berbeda pendapat dalam soal kepemimpinan nasional dalam Pilpres 2009 ini. Jika demikian terus berlanjut, sandera SBY bakal memakan korban! [I4]

Rabu, 07 Januari 2009

PERPPU PEMILU: Perlu Payung Hukum Perbaiki Kinerja KPU

JAKARTA (Lampost): Kemunculan usulan pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) dinilai akibat kinerja Komisi Pemilihan Umum yang buruk. Buruknya kinerja KPU itu kemudian menyebabkan ketidakpercayaan publik sehingga payung hukum berupa perppu diduga diperlukan.

Demikian disampaikan pengamat politik LIPI Siti Zuhro kepada Media Indonesia di Jakarta, Selasa (6-1). "Kami memang sangat menyadari lemahnya pemilu kita. Dari awal KPU bermasalah sehingga payung hukum berupa perppu pemilu dianggap perlu karena tidak ada yang bisa menjamin peraturan KPU bisa konsisten," ujar Siti Zuhro.

Sebelumnya, usulan pembuatan perppu muncul karena belum diaturnya mekanisme pencontengan secara jelas, apakah menconteng dua kali pada kertas suara dianggap sah atau tidak. Selain itu, aturan penetapan caleg terpilih pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

Siti Zuhro menyatakan pemilu legislatif makin dekat, tapi kepercayaan publik dan partai politik terhadap KPU sebagai lembaga independen penyelenggara pemilu justru makin berkurang. "Dengan makin banyaknya keputusan dan kebijakan yang kontroversial, rakyat dan parpol sangsi akan efektivitas dan akuntabilitas KPU," kata dia.

Meskipun demikian, Siti Zuhro mengakui sebenarnya perppu tidak perlu dibuat asalkan KPU benar-benar bisa meyakinkan publik bahwa persiapan pemilu dapat berjalan dengan baik.

"Usulan perppu ini memang lahir dari blunder rekam jejak KPU yang buruk. Oleh sebab itu, (KPU) perlu dikawal. Tidak perlu ada political breaktrough dengan pembuatan perppu, yang penting bagaimana kita menegakkan hukum terhadap setiap kebijakan dan aturan yang dibuat KPU," kata dia.

Senada dengan pernyataan Siti Zuhro, pakar politik Universitas Indonesia Andrinof Chaniago pun mengatakan perppu pemilu tidak diperlukan. Pasalnya, perppu pemilu dinilai mampu menimbulkan preseden negatif dalam sistem pemerintahan jangka panjang.

"Tidak perlu perppu pemilu, cukup petunjuk teknis saja dari KPU. Kalau perppu nanti preseden ke depan tidak bagus, apa-apa diserahkan kepada pemerintah," ujar Andrinof.

Menurut dia, pembuatan perppu akan menyebabkan KPU menjadi lembaga yang pasif padahal dalam undang-undang ditegaskan bahwa KPU berwenang membuat ketentuan dan peraturan pemilu. Terlebih, lanjut Andrinof, posisi pemerintah yang juga merupakan perwakilan partai politik peserta pemilu.

"Perppu dari segi manfaat, efektivitas, dan efek jangka panjang tidak bagus. Apalagi pemerintah adalah peserta pemilu juga, masak diberi kewenangan sebagai regulator pembuat aturan pemilu," kata dia. n K-3

Selasa, 06 Januari 2009

Perppu Pemilu Muncul akibat Kinerja KPU Buruk

PEMILU UPDATE

JAKARTA--MI: Usulan pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) dinilai muncul akibat kinerja Komisi Pemilihan Umum yang buruk. Buruknya kinerja KPU itu kemudian menyebabkan ketidakpercayaan publik, sehingga payung hukum berupa perppu diduga diperlukan.

Demikian disampaikan oleh pengamat politik LIPI Siti Zuhro kepada Media Indonesia di Jakarta. "Kita memang sangat menyadari lemahnya pemilu kita. Dari awal KPU bermasalah sehingga payung hukum berupa perppu pemilu dianggap perlu karena tidak ada yang bisa menjamin peraturan KPU bisa konsisten," ujar Siti Zuhro.

Sebelumnya, usulan pembuatan perppu muncul karena belum diaturnya mekanisme pencontrengan secara jelas, apakah mencontreng dua kali pada kertas suara dianggap sah atau tidak. Selain itu, aturan mengenai penetapa caleg terpilih pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

Siti Zuhro menyatakan, pemilu legislatif makin dekat namun kepercayaan publik dan partai politik terhadap KPU sebagai lembaga independen penyelenggara pemilu justru semakin berkurang. "Dengan semakin banyaknya keputusan dan kebijakan yang kontroversial, rakyat dan parpol sangsi akan efektifitas dan akuntabilitas KPU," kata dia.

Namun demikian Siti Zuhro mengakui sebenarnya perppu tidak perlu dibuat asalkan KPU benar-benar bisa meyakinkan publik bahwa persiapan pemilu dapat berjalan dengan baik.

"Usulan perppu ini memang lahir dari 'blunder' rekam jejak KPU yang buruk. Oleh karenanya (KPU) perlu dikawal. Tidak perlu ada political breaktrough dengan pembuatan perppu, yang penting bagaimana kita melakukan penegakan hukum terhadap setiap kebijakan dan aturan yang dibuat oleh KPU," tukas dia.

Senada dengan pernyataan Siti Zuhro, pakar politik Universitas Indonesia Andrinof Chaniago pun mengatakan perppu pemilu tidak diperlukan. Pasalnya, perppu pemilu dinilai mampu menimbulkan preseden negatif dalam sistem pemerintahan jangka panjang.

"Tidak perlu perppu pemilu, cukup petunjuk teknis saja dari KPU. Kalau perppu nanti preseden ke depan tidak bagus, apa-apa diserahkan kepada pemerintah," ujar Andrinof.

Menurutnya, dibuatnya perppu akan menyebabkan KPU menjadi lembaga yang pasif padahal dalam undang-undang ditegaskan bahwa KPU berwenang membuat ketentuan dan peraturan pemilu. Terlebih, lanjut Andrinof, posisi pemerintah yang juga merupakan perwakilan partai politik peserta pemilu.

"Perppu dari segi manfaat, efektifitas, dan efek jangka panjang tidak bagus. Apalagi pemerintah adalah peserta pemilu juga, masak diberi kewenangan sebagai regulator pembuat aturan pemilu," cetus Andrinof. (*/OL-02)