Senin, 22 Desember 2008

Ani Dan Tutut Tersingkir PKS Award Nggak Politis

LEGISLATIF

Tidak Pengaruhi Perolehan Suara

Mbak Tutut dan Ibu Ani Yudhoyono tersingkir dari nominasi penerima PKS award. Acara penghargaan bertajuk 8 inspiring woman itu sepi peminat. Alhasil manuver politik itu, tak berhasil menggaet hati pemilih perempuan.

Harapan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendulang suara dari kaum hawa, melalui ajang PKS award tak terpenuhi.

Tersingkirnya nama besar perempuan Indonesia seperti, first lady Ibu Ani Yudhoyono dan putri mendiang Soeharto Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut, dari daftar calon unggulan penerima penghargaan membuat acara itu, jauh dari gaung politik.

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai, penghargaan itu tak membawa dampak positif sama sekali, untuk mendongkrak perolehan suara PKS dari kaum perempuan.

"Kalau cuma acara seremonial, tanpa ada tindak lanjutnya, maka acara itu tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap perolehan suara PKS dari kaum perempuan," ujar Siti Zuhro saat dihubungi Rakyat Merdeka melalui ponselnya, kemarin.

Apalagi, lanjut Siti Zuhro, media massa baik cetak atau elektronik tidak memblow up acara itu, maka dipastikan gawe PKS itu mubazir. Alhasil acara itu, kurang direspon masyarakat, karena hanya kalangan tertentu saja yang mengetahui itu.

"Seharusnya acara itu dibantu juga lewat iklan, supaya masyarakat mengetahui dan menjadikan perempuan yang menerima penghargaan itu, menjadi motivator baginya," pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Bidang Kewanitaan DPP PKS, Leida Hanifa Amaliah membeberkan, perempuan penerima penghargaan PKS berasal dari bidang birokrasi, pendidikan, sosial-budaya dan lingkungan.

"Inspirasi itu tak mesti datang dari orang besar. Seringkali datang dari orang yang dianggap kecil oleh orang lain," katanya.

Lebih lanjut, Leida melalui pesan singkatnya kepada Rakyat Merdeka mengungkap, tersingkirnya nama Ibu Ani Yudhoyono, Mbak Tutut dan Mufidah Kalla dari daftar unggulan penerima penghargaan, bukan berarti lantaran mereka tidak menginpirasi perempuan Indonesia. Nama-nama itu tak muncul, lantaran dukungan mereka kurang kuat.

"Ini kan mekanismenya polling melalui SMS, jadi yang banyak dukungan, maka dialah yang tampil. Polling ini tidak ada keterpautan dengan PKS," katanya.

Ribuan pesan pendek yang diterima PKS dari perempuan Indonesia, hanya memilih delapan orang yakni, Marwah Daud Ibrahim, Neno Warisman, Nani Zulmarini, Edi Sedyawati, Bunda Iffet, Eniya Listiani Dewi, Maria M. Hartaningsih, dan Sri Wulandari.

Sekadar informasi, ke delapan nomine yang keluar itu, telah menerima penghargaan pada Jum'at (19/12). Acara malam penghargaan itu digelar di Ballroom Hotel Sari Pan Pacific.

Saat menerima penghargaan, Marwah Daud Ibrahim mengajak kaum perempuan untuk terjun ke dunia politik.

Rakyat Merdeka |

Rabu, 03 Desember 2008

The Habibie Center dan Kepemimpinan Nasional

Hbbie_web.jpgThe Habibie Center (THC) pada tanggal 25 November 2008, bertempat di Ballroom Hotel Gran Melia, mengadakan rangkaian acara rutin tahunan berupa penganugerahan The Habibie Award dan Beasiswa S-3 serta seminar dengan tema "Pemilu 2009: Konsolidasi Demokrasi dan Transformasi Kepemimpinan Nasional."

Dr. Ahmad Watik Pratiknya atas nama THC memberikan pengantar seminar berjudul "Krisis Kepemimpinan dan Kepemimpinan dalam Krisis: Refleksi THC tentang Kepemimpinan Nasional."

Beberapa hal menarik disampaikan dalam refleksi THC tentang kepemimpinan nasional antara lain: Pertama, sesungguhnya banyak potensi (muda) yang berkualitas di partai maupun sumber yang lain untuk jadi presiden, masalahnya adalah sedang terjadi "sumbatan" pada proses rekruitmen dan aktualisasi potensi calon.

Kedua, THC juga mencermati bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami sindrom kepemimpinan "semu" (quasi leadership syndrome). Attitude lebih sebagai politisi dari pada sebagai pemimpin (leader); Behavior lebih transactional daripada transformative; dan dalam action dan decision lebih simbolik (hadir secara fisik yang dirundung krisis, kunjungan ke lokasi bencana) daripada functional (aksi nyata berupa keputusan atau kebijakan yang tertata, terukur dalam mengatasi persoalan secara tepat dan cerdas).

Ketiga, banyak pemimpin melihat kekuasaan sebagai tujuan dan bukan sebagai alat mencapai tujuan. Kepemimpinan transactional lebih diambil dengan pertimbangan "untung rugi" seperti perdagangan, bukan benar-salah atau tepat-melenceng; mengandalkan hard power seperti perintah, reward, hukuman dan kepentingan pribadi (self interest) sementara kepemimpinan transformative berorientasi pada perubahan demi mencapai tujuan, dengan melibatkan sebanyak mungkin pengikut serta lebih memanfaatkan soft power seperti; memberi contoh, memotivasi pengikut untuk memiliki idealisme dalam mencapai tujuan.

watikKeempat, Dr. Watik kemudian mengutip Karen Boehnke dkk (1998) yang melakukan penelitian lintas budaya dan menemukan bahwa pemimpin transformational memiliki kesamaan perilaku: Visioning (mampu memberikan rumusan masa depan, ke mana kita akan mengarah); Inspiring (mampu menimbulkan kegairahan); Stimulating (bisa merangsang minat); Coaching (bisa memberikan bimbingan) dan Team Building (mampu membangun tim kerja yang solid).

Kelima, dalam krisis urutan kriteria pemimpin menurut The Habibie Center adalah: 1) Kriteria Utama (decisive) yang berarti kemampuan mengambil keputusan secara cepat dan tepat waktu serta akurat serta mampu menjalankan keputusan dan mengelola perubahan secara sistemik; 2) Kriteria Dasar (kapabilitas) memiliki visi dan pandangan jauh kedepan, bisa mengarahkan dan memobilisasi rakyat mencapai tujuan, punya kecerdasan emosional dan bisa berempati serta kemampuan komunikasi, memahami dinamika daerah serta visi internasional dalam bentuk track record yang nyata; dan (integritas moral, kejujuran publik, adil, tak tersangkut KKN atau kasus asusila; 3) Kriteria Pendukung (akseptabilitas) atau bisa diterima atau dapat dukungan publik.

zuhro-dfaDr. R. Siti Zuhro (THC), mengingatkan bahwa makna pemilu bukanlah sekadar pembeda antara sistem demokrasi dan otoriter tapi merupakan sarana suksesi kepemimpinan secara demokratis, untuk mencari pemimpin yang berintegritas, kredibel, kapabel, akseptabel, akuntabel, visioner dan berani dan tegas dalam membuat dan menjalankan keputusan, memiliki jiwa kenegarawanan, solidarity maker, berwawasan daerah, nasional dan internasional, dan mampu menyelesaikan masalah mendasar bangsa dan bisa membawa perubahan.

Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar (THC), mengingatkan bahwa presiden adalah icon yang tidak bisa didelegasikan. Perlu memahami kompleksitas global dan keterkaitan luar dan dalam negeri. Pemimpin nasional perlu mengartikulasikan kepentingan nasional dan pandangan tentang tatanan regional dan global di setiap panggung.

effendi-komaruddinProf. Dr. Sofian Effendi (THC) melihat pentingnya peran birokrasi, dan memberikan kriteria pemimpin nasional sbb: Integritas dan kepribadian tinggi, kredibilitas, kapabilitas, akseptabilitas, akuntabilitas, visioner, pemberani, negarawan, solidarity maker dan berwawasan global. Ia juga mengingatkan bahwa saat ini ada 503 kabupaten/kota dengan sumber pembiayaan 90 persen dari pusat, dan 80 persen dari dana tersebut untuk kepentingan rutin pengelolaan pemerintahan, hanya 20 persen untuk kesejahteraan masyarakat. Pemimpin nasional perlu mencermati hal ini secara khusus.

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah). Menyatakan bahwa kalau dulu Bung Karno political builder, Pak Harto economic builder, pemimpin sekarang harus menjadi cultural and education builder. Pemimpin yang diperlukan saat ini adalah civilization builder yang bisa mengkombinasikan ketiga kapasitas di atas, dengannya diharapkan mampu pula menyatukan pilar ekonomi, masyarakat, birokrasi, universitas dan media. Harus ada impian besar untuk mengikat kebersamaan.

baswedanDr. Anis Baswedan menyatakan pemimpin Indonesia harus bisa memberikan optimisme. Adalah sebuah ironi bahwa dulu di Zaman Bung Karno penduduk mayoritas miskin dan tidak terdidik, sedang dijajah sehingga kita punya semua alasan untuk pesimis, tapi Bung Karno dan pejuang segenerasinya memunculkan sikap optimisme. Saat ini kita punya semua alasan untuk menjadi optimis tapi kita, termasuk media, dilanda oleh gelombang pesimisme kolektif. Jadi self defeating nation. Salah satu tugas pemimpin adalah menimbulkan optimisme.

Para pembicara mengingatkan bahwa Pemilu 2009, harus menjadi arena konsolidasi demokrasi. Dewi Fortuna menegaskan bahwa demokrasi bukan alat tapi nilai (values) yang harus diperjuangkan. Anis Baswedan mengingatkan agar kita tidak hanya sibuk memikirkan input tapi juga output delivery dan manfaat dan jelas serta rangkaian dan komponen arsitek demokrasi.

Prof. Ing. B.J. Habibie yang mengkuti dengan saksama dialog dan menjadi penanggap mengingatkan perlunya pemimpin fokus pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Serta mengingatkan tentang pentingnya peran agama, budaya, dan iptek dalam proses pengembangan peradaban.

Kepemimpinan adalah faktor penting untuk mewujudkan Nusantara Jaya. Rangkaian studi dan seminar The Habibie Center telah membantu kita untuk melihat dengan perspektif yang lebih tajam dan luas. Tantangan kita adalah mencari, menemukan dan membentuk barisan kepemimpinan nasional yang tangguh dalam era tarikan globalisasi di satu ujung dan tarikan otonomi daerah di ujung yang lain.

Mari kita lakukan dengan hati. Salam Nusantara Jaya 2045.

www.marwahdaud.com dan marwahdi@yahoo.com