Rabu, 26 November 2008

Sistem Multi Partai Lahir Kader Asal Comot

multipartaiJAKARTA-- Mantan Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Sofian Effendi menilai, sistem politik multi partai telah menyebabkan lahirnya kader-kader partai "asal comot".

"Kader 'asal comot' itu tidak dibekali pengetahuan yang cukup tentang fungsi sistem politik, bermoral rendah, dan menganggap politik adalah lapangan pekerjaan baru, dan menjadikan proses politik sebagai komoditi atau barang dagangan," katanya di Jakarta, Selasa.

Hal tersebut dikatakannya pada seminar bertema "Pemilu 2009: Konsolidasi Demokrasi dan Transformasi Kepemimpinan Nasional" yang diselenggarakan dalam rangka HUT ke-9 The Habibie Center (THC).

Selain Sofian Effendi, pembicara lain dalam seminar tersebut adalah Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komarudin Hidayat, pengamat politik Dewi Fortuna Anwar dan peneliti senior THC Siti Zuhro.

Karena itu, katanya, partisipasi politik masyarakat hanya bersifat formal dan terbatas hanya pada kegiatan pemilu. Ia juga mengatakan bahwa menjelang Pemilu 2009 belum nampak tanda-tanda akan terjadinya perubahan yang signifikan terhadap kemacetan konsolidasi demokrasi di Tanah Air.

Sedangkan peneliti senior THC Siti Zuhro mengatakan bahwa pemilu bukanlah sekadar pembeda antara sistem demokrasi dan sistem otoriter.

Namun, katanya, pemilu merupakan sarana bagi suksesi kepemimpinan secara demokratis, untuk mencari pemimpin yang berintegritas, kredibel, kapabel, akseptabel, akuntabel, dan mampu menyelesaikan masalah bangsa serta menjanjikan perubahan.

Karena itu, dia berharap, Pemilu 2009 mampu menciptakan sistem, mekanisme, dan proses pemilu yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas keterwakilan dan akuntabilitas politik.

Sedangkan pengamat politik Dewi Fortuna Anwar yang juga Direktur Program dan Riset THC dalam seminar tersebut memaparkan makalah tentang kepemimpinan nasional dan konstelasi politik global.

Ia mengatakan bahwa presiden merupakan simbol utama negara dan mewarnai pelaksanaan politik luar negeri dan ikon tersebut tidak bisa didelegasikan.Karena itu, katanya, pemimpin nasional ke depan perlu memahami kompleksitas global dan mampu mengartikulasikan kepentingan nasional dan meningkatkan citra politik RI di lingkungan internasional. ant/ah

Selasa, 25 November 2008

Koalisi Tak Berlanjut, Tanda Semunya Politik Indonesia

JAKARTA, SELASA - Koalisi yang tak berkelanjutan dipandang sebagai tanda bahwa proses politik yang dimainkan oleh partai politik di Indonesia masih semu, tidak hakiki dan hanya digunakan untuk mewujudkan ambisi elit politik melalui parpol sebagai mesin kekuasaan.

Hal ini diungkapkan oleh manajer Riset The Habibie Center (THC), Siti Zuhro, dalam seminar nasional THC yang bertajuk "Pemilu 2009, Konsolidasi Demokrasi dan Transformasi Kepemimpinan Nasional" di Hotel Gran Melia Jakarta, Selasa (25/11).

"Koalisi yang dibangun antar parpol seringkali membingungkan masyarakat dan tidak berbasis pada ideologi dan platform partai," ujar Siti.

Menurut dia, dalam kondisi ini proses politik belum dimaknai sebagai proses pendidikan politik secara utuh untuk masyarakat. Parpol juga belum menyadari dirinya sebagai media artikulasi kepentingan masyarakat untuk mewujudkan harapan, keinginan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.

Siti mengharapkan ke depannya perlu kesamaan antara koalisi partai di daerah dengan koalisi partai di tingkat nasional dengan memberlakukan electoral treshold sebesar lima persen. "Ini maksudnya, agar Indonesia di masa yang akan datang cuma punya dua partai saja," tutur Siti.

LIN

Minggu, 23 November 2008

'KPU Harus Profesional'

Mekanisme kontrol ada di tangan masyarakat.



JAKARTA -- Demi membangun kepercayaan masyarakat pada penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta agar dapat bekerja secara profesional. Jika masyarakat tidak memercayai penyelenggara pemilu, akan berimplikasi pada pelaksanaan pemilu. ''Harus membangun kepercayaan dari masyarakat dengan bekerja secara transparan dan akuntabel,'' kata Valina Singka, mantan anggota KPU, Sabtu (22/11).

Ditemui setelah menjadi pembicara dalam seminar Belajar dari Pilkada Langsung Menuju Pemilu 2009 yang diselenggarakan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, Valina Singka juga meminta KPU agar lebih transparan, bekerja sesuai jadwal, bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pemilu, dan memberikan informasi yang menyeluruh pada masyarakat.

Hal senada juga disampaikan Siti Zuhro, peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ia menilai, anggota KPU saat ini belum menunjukkan profesionalismenya. ''Perlu ada peningkatan profesionalisme dan independensi KPU,'' katanya.

Siti Zuhro mencontohkan, banyak pelaksanaan tahapan pemilu yang meleset dari jadwal yang telah ditentukan. Selain itu, sering terjadi kesalahan dalam data yang dikeluarkan KPU. Ia berharap, dalam waktu yang relatif singkat, KPU dapat membenahi kinerjanya.


Waspadai persekongkolan



Selain itu, Siti Zuhro pun meminta agar masyarakat mewaspadai kemungkinan adanya persekongkolan politik dan bisnis dalam pemilihan umum yang melibatkan peserta pemilu dengan pemilik modal.

Ia mengingatkan, kemungkinan persekongkolan tersebut juga terjadi dalam pemilu legislatif serta pemilihan presiden dan wakil presiden 2009.
''Ini perlu dicermati dan diwaspadai kemungkinan persekongkolan politik dan bisnis yang dapat menjadikan pemilu hanya sebagai seremonial belaka,'' katanya.

Dia menjelaskan, jika persekongkolan ini dibiarkan begitu saja, dikhawatirkan pemerintah hasil pemilu hanya akan loyal pada klien politik dan bisnisnya daripada rakyat. ''Ini harus diakhiri. Mekanisme kontrol ada di masyarakat. Harus ada gerakan untuk menghentikan ini,'' katanya.

Pemilik modal, lanjut dia, tidak dilarang untuk memberikan bantuan pada peserta pemilu. Sebaliknya, peserta pemilu juga diperbolehkan untuk menerima bantuan, namun mereka harus tetap mempertahankan independensi.

''Selama dana yang diberikan tidak mengikat pemenang pemilu untuk selalu mengikuti kemauan pemilik modal maka tidak masalah. Akan tetapi, bagaimana jika itu mengikat?'' katanya. ant
(-)

KPU Diminta Lebih Transparan

JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum diminta untuk lebih transparan dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pemilu sehingga mampu mempertahankan serta membangun kepercayaan masyarakat pada penyelenggara pemilu.

Menurut mantan anggota KPU Valina Singka, di Jakarta, Sabtu, membangun kepercayaan masyarakat pada penyelenggara pemilu sangat penting. Jika masyarakat tidak mempercayai penyelenggara pemilu, maka akan berimplikasi pada pelaksanaan pemilu."Harus membangun kepercayaan dari masyarakat dengan bekerja secara transparan dan akuntabel," katanya.

Ditemui setelah menjadi pembicara dalam seminar "Belajar dari Pilkada Langsung Menuju Pemilu 2009" yang diselenggarakan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, Valina Singka mengatakan KPU harus profesional, bekerja sesuai jadwal, dan memberikan informasi yang menyeluruh pada masyarakat.

Hal senada juga disampaikan Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro. Ia menilai anggota KPU saat ini belum menunjukkan profesionalismenya. "Perlu ada peningkatan profesionalisme dan independensi KPU," katanya.

Siti Zuhro mencontohkan banyak tahapan pemilu yang pelaksanaannya meleset dari jadwal yang telah ditentukan. Selain itu sering terjadi kesalahan dalam data yang dikeluarkan KPU. Ia berharap dalam waktu yang relatif singkat KPU dapat membenahi kinerjanya.

Jenuh, pemilih



Sementara itu, untuk mengantisipasi terjadinya penurunan partisipasi masyarakat dalam pemilu, maka KPU diminta untuk lebih menggiatkan sosialisasi yang lebih menyeluruh. Menurut Valina, tugas KPU tidak berhenti pada memberikan informasi teknis pelaksanaan pemilu, melainkan juga pendidikan politik bagi masyarakat bagaimana memilih dengan benar."Masyarakat harus diberikan edukasi bahwa menggunakan hak pilih itu penting," katanya.

Ia mengatakan terdapat kejenuhan dalam masyarakat sehingga mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan hak pilihnya. Pemikiran ini harus diubah dengan memberikan pendidikan politik.KPU dapat memanfaatkan sarana dan prasarana yang efektif untuk sosialisasi sehingga dapat menjangkau pemilih hingga daerah terpencil.

Namun, KPU tidak dapat bekerja sendiri. KPU perlu membangun komunikasi politik dengan pemerintah, pemerintah daerah, dan partai politik.Selain itu, membangun jaringan dengan masyarakat sipil. ant/kp

Sabtu, 22 November 2008

"Quick Count" Dituding Membingungkan Rakyat

Peneliti LIPI Siti Zuhro, Koordinator JPPR Jerry Sumampow, dosen FISIP UI Valina Singka dan fungsionaris PDI-P Firman Jaya Daeli (kanan ke kiri) dalam Seminar Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) bertajuk 'Belajar dari Pilkada Langsung Menuju Pemilu 2009' di Hotel Acacia Jakarta, Sabtu (22/11).



JAKARTA,SABTU - Banyaknya lembaga survei yang melakukan penghitungan cepat (quick count) terhadap hasil pilkada atau pemilu berpotensi besar membingungkan rakyat.

Hal itu diungkapkan peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro dalam Seminar Nasional 10 Tahun Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) bertajuk 'Belajar dari Pilkada Langsung menuju Pemilu 2009' di Hotel Acacia Jakarta, Sabtu (22/11).

"Iya, Jatim membuktikan dengan sangat jelas dan secara kuat membuktikan quick count itu membingungkan rakyat. Kalau mereka (rakyat) nggak dewasa, rakyat itu bisa bunuh-bunuhan. Sense of terrorizing-nya tinggi sekali, tentara saja (kemarin) sampai turun," tutur Siti.

Siti menyayangkan banyaknya lembaga survei seperti itu yang bertebaran sepanjang pilkada berlangsung. Tak ada yang dapat menjamin bahwa lembaga survei tersebut independen dari kepentingan bisnis tertentu.

Siti menyebutkan keuntungan survei seperti itu mencapai miliaran rupiah. Belum lagi jika terkait dengan kepentingan politik tertentu. "Oleh karena itu, test case seperti itu jangan dicoba-coba secara nasional," tandas Siti.

Siti menekankan pentingnya sosialisasi dan pengumuman bahwa hasil perhitungan cepat tak selamanya benar. Harus ada keterbukaan yang dibangun oleh lembaga-lembaga survei tersebut.

Caroline Damanik