Jumat, 19 September 2008

Pemilu Terancam Meleset Dari Jadwal

Dinujumkan Pemilu 2009 dikhawatirkan akan meleset dari jadwal yang telah ditetapkan. Pasalnya faktor yang mengganjal proses pelaksanaan baik dari internal Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun eksternal dinilai banyak pihak masih banyak yang tidak mendukung.

Ini sangat berbahaya sebab seperti dikatakan Dr. R.Siti Zuhro, MA, peneliti utama bidang politik dari Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), Pemilu yang tidak memiliki keabsa han bisa jadi akan melahirkan keadaan yang tidak stabil.

Otoritas untuk memerintah akan jauh lebih kuat jika pemerintahan hasil pemilihan umum diakui telah terpilih sesuai dengan undang-undang di bawah pengawasan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen. Berikut pernyataannya kepada Nuryaman dari Tabloid Parle.


Banyak kekhawatiran Pemilu 2009 akan meleset dari jadwal. Mungkinkah?

Kita sadari tugas KPU memang berat tapi kalau mereka tidak fokus, tidak menunjukkan profesionalismenya untuk on time memang dikhawatirkan pemilu bisa jadi akan meleset dari jadwal. Apalagi peraturan yang ada seperti paket UU politik juga belum kongrit, sehingga banyak faktor internal maupun eksternal yang juga tidak mendukung.

Jadi ini yang perlu dipikirkan bagaimana kita bisa secara sama-sama mendorong, mengawal agar KPU tidak lengah dan tidak kedodoran. Kemudian KPU jangan fokus dulu ke soal jalan-jalan ke luar negeri, tetapi lebih fokus pada tahapan yang mesti dilalui dan semestinya on time.


Bisa dijelaskan ganjalan internal itu seperti apa?

Kita sudah memaafkan loading kerjaan KPU yang begitu membludak, cuma bagaimana memprioritaskan tadi yang memang sudah harus difokuskan. Jadi ada hal yang sebetulnya bisa KPU lakukan dan tangkas direspon tapi itu tidak terjadi padahal bisa menjadi ganjalan.

Misalnya pengalaman kami di KPUD DKI Jakarta menjadi timsel, bikin soalnya sendiri, padahal soal harusnya dibuat oleh KPU karena usulan dari timsel daerah. Akhirnya karena harus dihadapkan pada tugas seperti itu apa yang terjadi terlambat semua. Kita timsel bikin sendiri soal karena di situ sudah ada lima pakar.

Atas dasar itu memang kita sendiri sudah makfum dari anggota KPU yang ada saat ini. Jadi yang perlu kita kontribusikan sekarang bagaimana mengawal mereka ini supaya tidak kedodoran seperti saya katakan tadi. Caranya diingatkan bahwa ini tidak boleh luput dari jadwalnya.


Ganjalan eksternal tadi bahayanya buat KPU?

Oh ya kendala eksternal itu akan menguji kapasitas dari KPU itu sendiri bagaimana mereka dengan tangkas merespon kendala-kendala tersebut. Tapi dari awal memang banyak pihak yang sangat mengkhawatirkan penundaan pemilu itu akan terjadi.


Apakah ganjalan itu sengaja diciptakan atau bagaimana?

Saya kira kalau yang berkaitan dengan paket undang-undang politik Anda pasti tau silakan terjemahkan sendiri. Tetapi mungkin seperti godaan mau jalan-jalan ke luar negeri itu loh menurut saya yang tidak tepat. Kalau kinerja KPU-nya sudah wahid mungkin tidak masalah tapi kinerja seperti sekarang ini janganlah proses dulu ke internal KPU untuk menyongsong Pemilu 2009.


Kesiapan KPU sendiri bagaimana untuk menghadapi Pemilu 2009?

Kalau ditanya persepsi kita dengan persepsi KPU pasti berbeda. Dari kami kesannya kesiapan mereka memang kurang ngejos. Jadi kita bisa melihat profesionalimenya masih kurang maksimal karena kita sudah kenal person-person-nya.


Apa yang harus dilakukan KPU agar pemilu bisa berkualitas?

Sebenarnya berbagai aspek hampir terpenuhi, cuma bagaimana pun mentoknya di pelaksana juga yang menentukan pemilu bisa berkualitas atau tidak. Anggota KPU yang tertera sekarang bukan tenaga ahli jadi begitulah ini memang negara kita lagi diuji. Dengan kesulitan yang tinggi kita memiliki anggota KPU yang seperti sekarang ini.


Konsistenkah menurut Anda KPU mengeluarkan aturan?

Saya pikir ini berkaitan dengan kecanggihan dan pemahaman KPU terhadap semua peraturan undang-undang di atasnya. Jadi UU politik harus ada sinkronisasi dengan UU yang lain apakah pemahaman itu cukup. Karena kalau kita tau bagaimana harus merespon hasil pilkada yang konflik itu kan ternyata menciptakan konflik yang lain.

Itu artinya ada ketidakberesan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam merespons persoalan sehingga kebijakan yang diberikan KPU Pusat itu malah merupakan kesalahan fatal. Ini yang mungkin ke depan perlu banyak pendamping untuk KPU. Dalam konteks itu bisalah memberikan masukan.

Rabu, 17 September 2008

Ketahanan Politik Cegah Disintegrasi Bangsa

Suara Tanah Air
Penulis : Maya Puspita Sari

JAKARTA--MI:
Ketahanan politik dinilai mampu mencegah terjadinya disintegrasi bangsa. Pasalnya, ketahanan politik berkaitan erat dengan kepemimpinan nasional dan sistem demokrasi suatu bangsa. Kualitas elite politik yang memadai dan pelaksanaan sistem demokrasi melalui Pemilihan Umum (Pemilu) yang jujur dan adil dinilai mampu meminimalisir munculnya gerakan separatisme.

Demikian diungkapkan oleh Direktur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), Muladi saat mengisi sambutan seminar "Peningkatan Ketahanan Politik Guna Mengatasi Separatisme Dalam Rangka Keutuhan NKRI" di Gedung Lemhanas RI, Jakarta, Rabu (17/9).

"Ketahanan politik merupakan salah satu aspek yang penting dalam ketahanan nasional yang tidak akan lepas dari kondisi ketahanan faktual dan sosial," ujar Muladi.

Ketangguhan sistem politik dan kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, sambung dia, mampu mengatasi segala tantangan dan hambatan yang datang dari luar maupun dalam negeri. Hal tersebut mampu menjamin kukuhnya identitas, integritas, dan kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mewujudkan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Muladi menegaskan, disintegrasi merupakan ancaman yang serius bagi sebuah negara. Khususnya, bagi Indonesia yang sangat majemuk, berkonotasi primodialistik serta memiliki geografi yang luas dan bersifat kepulauan.

Terlebih, lanjutnya, Indonesia telah bersepakat melaksanakan sistem demokrasi sentrifugal dalam bentuk otonomi daerah. Fenomena disintegrasi atau dikenal dengan istilah balkanisasi, menurut Muladi, terjadi karena adanya proses fragmentasi negara menjadi wilayah atau negara-negara kecil yang disertai dengan semangat permusuhan satu sama lain.

Muladi menyatakan, disintegrasi diantaranya disebabkan oleh globalisasi yang tidak diiringi dengan penguatan ideologi kebangsaan. Sehingga timbul lah bahaya-bahaya keamanan asimetrik berupa kesenjangan dan ketidakadilan sosial yang dikenal dengan istilah global paradoks.

Saat ini, tambah dia, Indonesia dapat dikatakan sebagai fragile state (negara yang rapuh) karena sifat pluralistik bangsa ini tidak diiringi dengan kesejahteraan sosial dan situasi politik yang kondusif. "Kesemuanya diakibatkan karena bangsa ini tidak menganut sistem demokrasi secara konsisten," imbuhnya.

Hal senada disampaikan oleh Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), R Siti Zuhro. Bahkan melihat kondisi Indonesia saat ini, Zuhro mempertanyakan apakah bangsa ini benar-benar telah membangun ketahanan politiknya. Pasalnya, aroma menyengat separatisme masih tercium di beberapa wilayah.

Oleh karenanya, ia menyatakan, bangsa ini hendaknya melakukan evaluasi diri saat momentum 10 tahun era keterbukaan. Zuhro menegaskan, kondisi ketahanan politik tidak terlepas dari pembangunan sistem demokrasi dan perubahan paket undang-undang seperti UU Susduk, UU Pemilu, dan UU Pilpres yang digodok oleh anggota dewan. Termasuk didalamnya UU Otonomi Daerah yang pada pelaksanaannya dinilai tidak dijalankan secara konsisten.

"Nasib wilayah di perbatasan dan pulau-pulau terluar masih sangat memprihatinkan. Ini masih kurang terpotret oleh pemerintah pusat," kata Zuhro.

Menurut Zuhro, secara umum pemerintah daerah gagal dalam menangani otonomi. Kegagalan ini, sambung dia, tidak terlepas dari kegagalan pemerintah pusat dalam membuat desain daerah yang adil dan merata. "Masalah rasa kecewa dan ketidakadilan daerah kepada pemerintah pusat dapat mengakibatkan instabilitas politik nasional yang berujung pada gerakan separatisme," cetusnya.


Letjen TNI Purnawirawan, Kiki Syahnakri menghimbau bangsa Indonesia untuk melakukan reorientasi terhadap tata cara berdemokrasi. Apabila proses demokrasi dinilai tidak sesuai dengan roh konstitusi dan arah kebangsaan maka, lanjutnya, perlu dilakukan revisi atau koreksi sistematik terhadap proses demokratisasi.

"Konsolidasi kebangsaan dan reorientasi demokratisasi serta kesadaran semangat bela negara yang diiringi dengan diperkuatnya institusi TNI merupakan modal utama sekaligus 'jalan masuk' untuk memperkuat ketahanan politik dalam rangka mencegah disintegrasi bangsa," tukasnya. (*/OL-03)

Muladi: Pemerintah Harus Sistematis hadapi Separatis

By Republika Newsroom

JAKARTA -- Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Muladi mengatakan, pemerintah harus sistematis dalam mengatasi akar permasalahan separatis.

Muladi: Pemerintah Harus Sistematis hadapi Separatis "Ada beberapa penyebab gerakan, yang tentunya memiliki pendekatan berbeda dalam penyelesaiannya," katanya pada seminar "Ketahanan Politik Bagi Tegaknya NKRI" yang diselenggarakan oleh Program Pendidikan Reguler Angkatan 41 Lemhanas, di Jakarta, Rabu.

Muladi mengatakan, gerakan separatis tumbuh subur apabila kualitas sumber daya alam dan manusia daerah tersebut memadai, namun wawasan kebangsaan di kalangan elit dan rakyat setempat sangat lemah.

Tak hanya itu, bibit-bibit gerakan separatis masa lalu juga menjadi salah satu alasan, termasuk adanya jaringan internasional yang mendukung gerakan tersebut, tambah dia. "Tapi perasaan diperlakukan tidak adil oleh pemerintah pusat, bisa dibilang faktor utama," kata Muladi.

Ia mengatakan, untuk mengatasi gerakan separatis di masa depan yang merupakan bahaya laten, sekaligus bahaya keamanan non tradisional, diperlukan payung hukum, yakni Undang-undang Keamanan Nasional yang saat ini tengah digodok Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

"Adanya UU tersebut akan didukung keberadaan dewan keamanan nasional, sebagai suatu forum yang memberikan nasehat kepada presiden dalam menentukan kebijakan keamanan nasional," tutur Muladi.


Kritik Pendekatan Militer



Pada kesempatan yang sama, Pengamat LIPI Siti Zuhro mengatakan, pendekatan militer kini tidak efektif lagi dalam mengatasi separatisme. "Selama ini timbul paradigma militer menjadi solusi utama penyelesaian separatisme. Padahal, opini di masyarakat menunjukkan keadaan yang sebaliknya," ujarnya.

Dicontohkannya, masyarakat di salah satu desa di Aceh Timur gundah karena belum lama ini dibangun pos militer. "Penduduk bertanya-tanya mengapa dibangun pos tersebut. Bahkan sampai beranggapan ada ketidakpercayaan pusat terhadap keadaan damai di Aceh," ungkap Siti.

Kondisi tersebut jelas membuat rentan ketahanan politik di daerah itu, dan masalah ini harus ditanggapi serius, lanjut dia.


Sementara itu, pendapat berbeda dilontarkan Letjen (Purn) Kiki Syahnakri yang mengatakan perlu ada upaya serius untuk memperkuat kembali institusi TNI. Tidak hanya posturnya yang dibangun, tapi lebih penting dari itu adalah soliditas dan perannya.

Alasannya, tidak ada lagi institusi yang cukup kuat untuk memproteksi kepentingan nasional di tengah kerapuhan institusional saat ini. "Andaikata kerapuhan ini akhirnya berujung fragmentasi dan bermuara pada disintegrasi bangsa, TNI pun bakal kesulitan mengambil peran karena kini sebagai kekuatan penangkal dan menjalankan tugas pokoknya saja TNI tidak cukup tangguh," ujarnya.

Karena itu, upaya pelemahan TNI melalui persepsi yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan dengan bungkus tuntutan terhadap reformasi internal TNI harus dikurangi.

Kiki beranggapan, kekuatan sipil dalam masa transisi demokrasi lebih dikuasai lembaga swadaya masyarakat yang orientasinya tidak jelas. "Bahkan tidak sedikit yang berorientasi pada kepentingan asing," kata dia. "Itulah alasan mengapa TNI perlu diperkuat," ujar mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat itu. (ant/ah)

Kamis, 04 September 2008

Bakal Caleg 2009

208526

R Siti Zuhro

Peneliti Utama LIPI


Seiring dengan ditetapkannya jumlah parpol peserta pemilu oleh KPU, ke-44 parpol (termasuk 6 parpol lokal di Aceh) sibuk menetapkan para calegnya untuk menyongsong pemilu legislatif 9 April 2009. Sebanyak 12.198 bakal caleg yang tersebar di 77 daerah pemilihan (dapil) akan memperebutkan 560 kursi di DPR. Jumlah tersebut belum termasuk bakal caleg untuk memperebutkan kursi DPRD provinsi, kabupaten, dan kota.

Demokrasi yang bergulir kembali sejak 1998 telah memberikan dampak nyata terhadap kebebasan, kompetisi, dan partisipasi politik masyarakat. Demokrasi juga relatif berhasil membangun rasa percaya diri masyarakat bahwa mereka layak menjadi pejabat publik. Namun, satu hal yang sering dilupakan adalah, modal percaya diri saja tidaklah cukup.

Masalahnya, apakah bakal caleg tersebut memahami bahwa hingga saat ini Indonesia belum berhasil mengatasi isu krusial kemiskinan dan pengangguran? Apakah mereka siap dan sanggup menghadapi indeks kesengsaraan (misery index) yang makin mengkhawatirkan dan cenderung mengancam stabilitas nasional? Apakah mereka nanti akan konsisten menunaikan kewajibannya untuk mengelola mandat dan amanat, bertanggung jawab dan mewakili rakyat? Memadaikah kapasitas mereka untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik secara ekonomi, sosial, dan politik?

Beberapa pertanyaan di atas sangat penting, relevan dan urgent disampaikan. Pertama, karena mengingat rendahnya tingkat isu keterwakilan politik dari para caleg. Padahal, ini merupakan salah satu indikasi penting yang menunjukkan bahwa mereka hadir di tengah-tengah konstituensnya dan memiliki hubungan langsung dengan mereka.

Kedua, keterwakilan perempuan dalam politik masih belum memadai meskipun payung hukum telah ditetapkan melalui paket UU Politik yang baru. Tidak mudah bagi kaum perempuan untuk bisa menggunakan kuota 30% yang menjadi haknya. Kendala eksternal kaum perempuan secara riil tampak ketika fungsionaris parpol enggan ikut mengawal keterwakilan perempuan di legislatif.

Ketiga, masih banyaknya bakal caleg gaek yang mencalonkan diri. Padahal, negeri ini memerlukan regenerasi, baik di legislatif pusat maupun daerah. Dalam konteks ini, perubahan dan perbaikan riil yang dimotori generasi muda sangatlah signifikan.

Keempat, masih ada sejumlah bakal caleg yang memiliki rekam jejak yang tidak baik atau jelas-jelas terindikasi skandal korupsi dan isu imoral lainnya. Hal ini jelas akan mengancam konsolidasi demokrasi. "Politisi busuk" tak sepatutnya lagi dimunculkan dalam Pemilu 2009 bila demokrasi Indonesia tak ingin ternoda.

Adalah jelas bahwa saat ini Indonesia merindukan politisi yang dekat dengan konstituen/rakyat dan yang mampu memutus kesinambungan dengan elite lama yang nondemokratis. Pergantian pemerintahan sejak 1998 belum juga berhasil menghadirkan perilaku demokratis yang sangat diperlukan dalam era konsolidasi demokrasi. Masalahnya karena nyaris di semua parpol "politisi-politisi busuk" bukan saja masih tetap dibiarkan bercokol, melainkan juga masih berpengaruh kuat. ***