Senin, 04 Agustus 2008

Penasaran Parpol? Buka Internet!

INILAH.COM, Jakarta – Teknologi membuat dunia kini bak tanpa batas. Arus informasi begitu cepat tersebar berkat teknologi internet. Ke-34 parpol kontestan Pemilu 2009 mulai pula intens menyentuhnya. Dunia maya dijadikan saluran kampanye.

Bukan hal baru, memang. Tapi, dari waktu ke waktu, parpol-parpol di Tanah Air kian kencang memanfaatkan internet dalam mensosialisasikan program kerja mereka.

Boleh jadi terinspirasi sukses Barack Obama di AS ketika menggalang suara dan dana lewat internet, ke-34 parpol kini masing-masing membuka blog atau pun website.

Efektifkah?

Menurut pakar komunikasi Dedi Noor Hidayat dari Universitas Indonesia (UI), kampanye melalui dunia maya belum bisa dibilang efektif. "Meski punya potensi tinggi dan kuat, saat ini belum efektif," katanya kepada INILAH.COM, Senin (4/7) di Jakarta.

Dedi menilai, kampanye parpol lewat internet di Indonesia baru efektif untuk sasaran komunitas kelas menengah ke atas dan berpendidikan tinggi. "Pengguna internet di Indonesia kan masih sangat terbatas," jelasnya.

Dengan target komunitas yang tersegmentasi, imbuh Dedi, elit maupun parpol tidak boleh sembarangan dalam pembentukan blog atau website-nya. "Kualitasnya harus betul-betul dijaga. Jika asal bikin, hasilnya jelas tidak efektif atau malah negatif," tandasnya.

Dedi melihat, tampilan dan isi blog atau website parpol yang ada saat ini masih berupa perpindahan materi pamflet. "Harusnya menampilkan program kerja parpol dan elit politik yang lebih argumentatif dan substantif," katanya.

Dedi juga menyarankan, blog atau website itu harus dilengkapi sisi interaksi, mengajak publik untuk terlibat dalam perumusan program parpol.

Sementara pakar telematika Roy Suryo mengungkapkan, efektif tidaknya internet sebagai media kampanye sangat tergantung bentuk penyuguhan.

"Efektifitasnya sangat tergantung pada teknis sajian yang harus disesuaikan dengan komunitas yang dijadikan target," ujar Roy.

Media internet, lanjut Roy, memang makin dibutuhkan sesuai perkembangan zaman. Tak terkecuali sebagai media kampanye. Jumlah pengguna internet di Indonesia kini 24,5 juta orang atau 11% dari total populasi penduduk.

Roy menyebutkan, jenis blog atau website yang ada sekarang cukup beragam. Ada yaitu statis, dinamis, dan interaktif dengan tren up date. Ia merekomendasikan, sebaiknya situs parpol dan elit politik bersifat dinamis meski tetap terukur dan terkendali.

Dalam pandangan Roy, situs parpol-parpol besar tampak masih konvensional dan statis. "Yang dinamis justru situs parpol baru. Ini bisa dimaklumi. Mereka kan ingin cepat dikenal publik," ujarnya.

Terkait dengan maraknya elit politik dan parpol membentuk blog atau website sendiri, Roy mengingatkan bahwa tradisi AS dan Indonesia berbeda.

"Jika jaringan internet dimaksudkan untuk menyasar pemilih pemula, itu jelas harus dipertimbangkan," kata Roy. Ia menyebutkan, harus dihitung berapa persen pemilih pemula dari total pengguna internet di Indonesia.

Lain lagi pendapat peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro. Ia mengatakan, harusnya parpol secara kontinu mengaktifkan blog atau website-nya. "Jangan hangat-hangat tahi ayam. Jangan hanya mengaktifkan situs menjelang Pemilu. Harus konsisten dan kontinu," tegasnya.

Siti menyebutkan, promosi tokoh atau parpol melalui media internet memiliki plus minus. "Karena internet bentuknya transparan, parpol harus siap dinilai dan dikritisi publik," katanya.

Tak kalah penting, menurut Siti, masing-masing parpol dan elit politik harus menampilkan bentuk dan isi blog atau website yang berbeda-beda satu dengan yang lain. [I3] (j01/ini/rfar)
Berita - Politik / www.waspada.co.id /

Sabtu, 02 Agustus 2008

Popularitas Bukan Syarat Pemimpin

R FERDIAN ANDI R

JAKARTA - Rekrutmen kepemimpinan nasional di Pemilu 2009 harus didasari pada kualitas dan kapabilitas figur. Bukan dari popularitas calon yang diperoleh melalui politik pencitraan. Sebab, hal itu cenderung menyesatkan publik.

Setahun menjelang Pemilu 2009 publik memang mendapat suguhan iklan politik yang masif. Baik melalui media visual maupun media luar ruang. Kondisi ini tidak terlepas dari tren politik yang mengarah pada politik pencitraan. Elit berlomba-lomba mencari populairtas di depan rakyat.

Menurut Wakil Ketua DPD RI Laode Ida, proses rekrutmen politik nasional maupun lokal hingga kini cenderung menyesatkan. Selain itu juga belum memiliki komitmen untuk menyentuh persoalan di daerah.

"Pimpinan Indonesia harus memiliki daya sentuh terhadap persoalan daerah, tapi yang terjadi para penentu kebijakan di Jakarta tidak peduli," katanya di Jakarta, kemarin.

Ia juga menegaskan, publik juga harus jeli dalam memilih pemimpin. Jangan terjebak hanya pada kepopuleran semata. "Tapi yang terpenting adalah kapasitas individunya. Ini yang sulit, apalagi di tengah kondisi yang saat ini terjadi," ingatnya.

Berkaitan dengan munculnya wacana kepemimpinan muda dalam Pemilu 2009, Laode menganggapnya bukan isu penting. Ia menilai menciptakan dikotomi tua-muda dalam kepemimimpinan sangat tidak relevan. "Yang penting siapa yang bisa menyelesaikan persoalan bangsa ini," tegasnya. Meski demikian, ia lebih suka dengan munculnya anak muda yang memiliki keunggulan yang dapat menyelesaikan persoalan.

Hal senada dikemukakan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro. Dalam mengajukan figur calon presiden, kata dia, masyarakat maupun elit parpol harus menggunakan parameter yang jelas. Perempuan berkacamata ini menyebutkan, parameter yang harus dimiliki presiden 2009 adalah memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat (strong leader).

"Selain itu pemimpin ke depan harus memiliki semangat itu. Jika tidak, maka mustahil Indonesia mampu berkembang," tandasnya.

Kondisi yang terjadi selama 10 tahun reformasi ini, imbuh Zuhro, terjadi karena tak ada ketegasan pemimpin. "Di tengah kondisi saat ini, masih belum ada pemimpin yang tegas. Jadi dikotomi tua-muda maupun asal gender itu tidak relevan," tandasnya.

Selain itu, meningkatnya angka golput terutama dalam pilkada provinsi, kata dia, terjadi karena jarak antara yang memimpin dan yang dipimpin semakin jauh. "Saya khawatir dalam Pilpres 2009 angka golput juga tinggi, karena ada keberjarakan antara pemilih dan yang dipilih," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif menegaskan, dalam rekrutmen kepemimpinan nasional maupun daerah basis perekrutannya diambil dari ormas/TNI. "Dengan demikian parpol belum bisa menjadi basis rekrutmen kepemimpinan, baik lokal maupun nasional," jelasnya.

Menurut dia, jika performa pemerintah daerah semakin bagus, maka rekrutmen kepemimpinan nasional pun akan berpijak pada pemimpin daerah. Selain itu, Yudi juga menegaskan, pemimpin juga tidak sekadar penampilan semata. "Tapi pemimpin yang memiliki otoritas," tandasnya.

Yudi juga menegaskan, harusnya pemimpin memiliki quality of judgement (kualitas dalam menentukan keputusan), jadi tidak tergantung pada figur senior atau yunior. "Tanpa quality of judgement tokoh politik mana pun tak layak disebut pemimpin," tegasnya.
(j01/ini)

Seminar Refleksi Perjalanan Bangsa dan Konsolidasi Demokrasi dalam Menyongsong Pemilu 2009

20080802004649

Oleh : Ruslan Andy Chandra

KabarIndonesia - Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam), Laksamana Widodo AS (31/7) di Puri Ratna, Sahid Jaya Hotel membuka seminar “Refleksi Perjalanan Bangsa dan Konsolidasi Demokrasi dalam Menyongsong Pemilu 2009.” Pada sesi pertama tampil sebagai pembicara Dr. R. Siti Zuhro (The Habibie Center), Dr. Saiful Mujani (Lembaga Survei Indonesia) dan Ferry Mursyidan Baldan (DPR RI). Sedangkan pada sesi kedua Panel II mengangkat thema Capaian Kesejahteraan Rakyat dan Dinamika Pergantian Kepemimpinan yang menampilkan Andrinof Chaniago (The Habibie Center, Prof. Dr. Didik J. Rachbini (DPR RI), Dr. Suahasil Nazara (Universitas Indonesia) dan Moderator Umar Juoro
Dr. R. Siti Zuhro (Peneliti LIPI dan THC) dalam makalahnya menyampaikan bahwa DPR memiliki kewenangan yang cukup strategis dalam Pemilihan Pejabat Publik. Sebagai contoh, Dewan melakukan fit and proper test terhadap pejabat publik yang berada di lembaga eksekutif.

Namun, kewenangan tersebut acapkali dilakukan tanpa mempertimbangkan secara serius aspirasi publik. Sebagai contoh, pemilihan Pimpinan KPK, Hakim Mahkamah Agung dan Bawaslu yang menimbulkan kontroversi dalam masyarakat. Akuntabilitas anggota dewan dapat dinilai dari seberapa jauh aspirasi masyarakat diserap pada waktu anggota Dewan melakukan reses.
Di tataran praksis menurut Zuhro menunjukkan bahwa anggota Dewan cenderung melakukan konsolidasi internal partai daripada menyerap aspirasi masyarakat. Hampir semua anggota yang terpilih ditentukan oleh nomer urut partai dan bukan oleh besarnya konstituen yang direpresentasikannya.
Sedikitnya terdapat 10 anggota/mantan anggota DPR yang pernah dan sedang tersangkut kasus korupsi atau asusila. Jumlah kasus yang belum terungkap dinilai jauh lebih banyak. Fenomena tersebut memunculkan pertanyaan dalam masyarakat yang mempertanyakan moralitas anggota DPR. Secara umum kinerja DPR belum memuaskan. DPR belum dapat menjalankan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan secara maksimal.

Akuntabilitas DPR dalam mengartikulasikan aspirasi masyarakat masih jauh dari harapan. Sejumlah kasus yang melibatkan anggota Dewan, seperti korupsi, suap dan tindak asusila, menurunkan citra dan kredibilitas DPR di mata masyarakat. Soft bicameralism kurang tepat untuk sistem presidensial. Oleh karena itu, kewenangan dan fungsi pengawasan DPD perlu dipertegas dan diperkuat, sehingga kedudukan DPD relatif seimbang dengan DPR.DPR dan DPD harus bersinergi sehingga bisa melakukan checks and balances, baik internal legislatif maupun antara legislatif-eksekutif.

Banyaknya makalah yang dipresentasikan dalam seminar tersebut dari para nara sumber lainnya akan dirangkum Harian Online Kabar Indonesia (HOKI) pada kesempatan selanjutnya. Hadir dalam kesempatan itu Prof. Muladi (Ketua Dewan Direktur The Habibie Center), Christian J. Hegemer (Direktur Hanns Seidel Foundation Jakarta), Benny Horas Panjaitan (Anggota DPD RI asal Kepulauan Riau) dan Pimpinan/Anggota Parpol, Pergiruan Tinggi, LSM Ormas dan Media Massa.


* Foto by Ruslan Andy Chandra: Dr. R. Siti Zuhro (tengah) dan para nara sumber serta moderator.

Jumat, 01 Agustus 2008

Mencari Figur Calon Presiden dan Calon Wapres yang Ideal

Oleh : Aldy Madjid

KabarIndonesia - Dalam suatu rapat kerja Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) dengan para pejabat Pemerintahan Daerah beberapa waktu lalu terungkap bahwa selama ini daerah tidak merasakan manfaat dari adanya Pemerintah Pusat.

Hal ini diungkapkan oleh Wakil Ketua DPD-RI, Dr. Laode Ida mengawali paparannya pada dialog publik bersama sejumlah media massa di Ruang Rapat DPD-RI, Lantai 8 Gedung Nusantara III kompleks parlemen Senayan Jakarta (01/8). Dialog bertajuk “Sosok Presiden dan Wakil Presiden Ideal 2009: Siapa yang Bervisi Daerah?” berlangsung dari pukul 10.30 WIB hingga menjelang sholat Jumat.

Selain Laode Ida, forum dialog tersebut juga menghadirkan dua pembicara lain, yakni Yudi Latief (Direktur Eksekutif Reform Institute) dan R. Siti Zuhro (Peneliti otonomi daerah Pusat Penelitian Politik LIPI).

Lebih lanjut Laode Ida menjelaskan bahwa daerah mengeluhkan Pemerintah Pusat yang bersikap tidak konsisten dalam mengimplementasikan konsep otonomi daerah.

“Pemerintah Pusat sudah menggulirkan penerapan Otonomi Daerah bagi setiap daerah di Indonesia, tetapi pada kenyataannya Pemerintah Pusat tidak benear-benar memberi ruang kepada daerah untuk menjalankan fungsinya sebagaimana diatur oleh Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, terjadilah apa yang diistilahkan sebagai otonomi daerah setengah hati,” ujar Laode Ida.

“Ini lebih disebabkan karena sistim pemerintahan kita yang semata-mata dihasilkan oleh partai politik, sementara kita tahu bahwa parpol-parpol itu sentralistik,” tegas Laode Ida.

Sementara itu, Siti Zuhro, yang diberi kesempatan sebagai pembicara kedua, mengingatkan bahwa resistensi daerah terhadap pemerintah pusat bukanlah hal baru.

“Dari hasil penelitian yang saya lakukan, sejak tahun 2005 sudah terjadi penolakkan yang amat kentara dari pemerintah daerah dan masyarakatnya terhadap kebijakan-kebijakan dari pemerintah pusat,” katanya.

Menurut Siti Zuhro, ancaman paling nyata terhadap keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia adalah kegagalan otonomi daerah. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka salah satu jalan keluar yang perlu diupayakan adalah menciptakan kepemimpinan di tingkat pusat yang benar-benar memiliki komitmen untuk membangun daerah-daerah.

“Perlu ada terobosan baru dalam pengelolaan pemerintahan negara. Dan kemampuan ini dimiliki oleh calon-calon alternatif, yang bukan dari partai politik,” tandas ibu peneliti senior LIPI itu seraya menyebut nama Fadel Muhammad sebagai salah satu figur yang layak dilirik oleh rakyat.

Pembicara terakhir, Yudi Latief mengulas mengenai fenomena ramainya pendatang dadakan di pentas perpolitikan Indonesia saat ini yang mendeklarasikan diri mampu menjadi pemimpin Indonesia. Ia kemudian mengingatkan prinsip demokrasi dengan menyitir pendapat Montesquieu, seorang filosof Prancis.

“Demokrasi, menurut Montesquieu, terhambat tidak hanya ketika seseorang terkendala untuk menjadi pemimpin, namun juga karena terlalu banyak orang yang mengaku bias menjadi pemimpin,” ujarnya.

Keadaan banyaknya jumlah orang yang tiba-tiba muncul mempromosikan diri untuk jadi pemimpin bangsa “secara instant” adalah hal yang perlu disikapi dengan arif.

“Yang paling penting saat ini adalah bagaimana kita mengedukasi pemilih agar mereka tidak terjebak oleh popularitas dan ketenaran seseorang. Pemilih harus dididik untuk memilih pemimpin yang benar-benar memiliki kapasitas sebagai pemimpin,” lanjut pria yang akrab dipanggil Yudi ini.

Pada akhir pemaparannya, Yudi Latif mengungkapkan bahwa pembuatan parameter kepemimpinan yang baik dan kredibel sangat diperlukan, yang salah satunya adalah bagaimana seseorang membuat kebijakan yang berkualitas dalam mengelola persoalan-persoalan daerah.

“Yang seharusnya menjadi ukuran potensialnya seoang kandidat pemimpin bukan dari usia muda dan umur tua-nya, tapi lebih kepada quality of judgment, kulaitas kebijakan yang dibuatnya,” pungkas Yudi.

POLITIK
* Sumber: Bagian Hubungan Antar-Lembaga dan Pemberitaan Sekretariat Jenderal DPD

Korupsi: Kredibilitas DPR di Titik Nadir

POLITIK
JAKARTA (Suara Karya): Kredibilitas anggota DPR kini boleh dikatakan berada di titik nadir akibat sejumlah anggotanya diduga terlibat praktik korupsi. Untuk itu, di pemilu mendatang, partai politik harus memperbaiki rekrutmen calon anggota legislatif (caleg) sehingga kasus-kasus yang memalukan tidak terulang.

205860Demikian disampaikan peneliti The Habibie Centre Siti Zuhro dalam seminar bertajuk "Refleksi Perjalanan Bangsa dan Konsolidasi Demokrasi dalam Menyongsong Pemilu 2009", di Jakarta, Kamis (31/7).

Tampil pula sebagai pembicara anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ferry Mursyidan Baldan dan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Saiful Mujani.

Menurut Siti Zuhro, sebenarnya anggota DPR yang tidak terlibat kasus korupsi dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugasnya sebagai wakil rakyat lebih banyak. Namun, karena publikasi yang luas dan intensif dari media massa, citra DPR sebagai institusi menjadi rusak.

"Anggota DPR belum punya kredibilitas yang baik, sampai-sampai di-infotainment-kan," katanya.

Ia menambahkan, liputan media massa yang begitu intensif dan ekstensif terhadap sejumlah kasus yang melibatkan anggota Dewan, seperti korupsi, suap dan tindak asusila, secara tidak langsung juga telah membuat rakyat menjadi apatis dan khawatir terhadap partai politik.

Karena itu, menurut dia, perlu pemulihan akuntabilitas anggota DPR melalui peningkatan fungsi legislasi, perjuangan, dan pendanaan.

Siti Zuhro menilai parpol dan parlemen gagal melakukan demokratisasi karena banyak aspirasi masyarakat yang tidak direaliasikan. Ia mencontohkan, dengan sikap parlemen yang tidak begitu keras dan cenderung memolitisasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ketimbang memperjuangkan kebutuhan rakyat untuk memperoleh energi yang murah.

Ferry Mursyidan Baldan membantah masyarakat cenderung kehilangan kepercayaan terhadap parpol dan DPR. Menurut dia, banyaknya golput di pilkada sebagian besar diakibatkan karena kesalahan administrasi sehingga mereka tidak terdaftar dan tidak dapat memilih.

"Jadi, bukan karena rakyat apatis dan tidak percaya kepada parpol," tuturnya.

Mengenai pemberitaan yang begitu luas terhadap perilaku anggota DPR, Ferry mengatakan, hal itu sebagai konsekuensi demokrasi yang membuka kebebasan sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk mencari dan memperoleh informasi.

"Sebelumnya orang tidak tahu dia anggota DPR, setelah masuk infotaintment mereka jadi tahu itu anggota DPR," ujar Ferry.

Saiful Mujani mengatakan, mayoritas masyarakat merasa puas dengan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Jumlah yang merasa puas ini cenderung meningkat dalam sepuluh tahun terakhir.

Saiful mengatakan, komitmen masyarakat terhadap demokrasi sangat kuat. Tidak ada kelompok di masyarakat-- dengan kekuatan yang berarti-- yang menantang demokrasi.

"Masyarakat umumnya menghendaki Indonesia semakin demokratis. Masyarakat sudah mampu membedakan antara pemerintah sekarang dan pemerintah Orde Baru, di mana pemerintah yang sekarang jauh lebih demokratis dibanding Orde Baru. Namun bicara soal kesejahteraan, publik menghendaki agar Indonesia semakin demokratis, tapi lebih ingin lagi agar rakyat makin sejahtera," katanya.

Siti Zuhro dan Saiful Mujani berharap, partai politik dan kadernya di DPR bisa membangkitkan kembali semangat rakyat untuk memercayai parpol dan DPR sebagai alat untuk memperjuangkan aspirasi mereka.

Siti Zuhro mengingatkan, bagaimana pun parpol dan DPR adalah institusi demokrasi sehingga harus ada upaya untuk memperkuat peran dan legitimasi mereka di mata rakyat.

"Jadi, bukannya menghancurkan peran DPR dan parpol. Karena bagaimana pun, demokrasi akan bisa berjalan kalau DPR dan parpol melaksanakan tugasnya dengan baik," tuturnya.

Sementara itu, pengamat politik dari Center for Indonesian National Policy Studies (Cinaps), Endah Dewi Nawangsasi, menilai masyarakat akan semakin apatis terhadap partai politik karena banyaknya anggota DPR dari kader partai yang terlibat kasus korupsi.

"Sangat disayangkan jika ternyata di Indonesia parpol banyak meloloskan pribadi-pribadi yang bermasalah untuk duduk di parlemen," kata Dewi di Depok, Kamis, menanggapi banyaknya anggota DPR yang diduga tersangkut kasus korupsi.

Menurut dia, parpol harus lebih dulu menyelesaikan masalah domestik yang menyeret dan mempertaruhkan nama baiknya di meja hijau. Seorang kader seharusnya matang dan mapan baik secara finansial maupun akademis.

"Seharusnya kader parpol punya dasar moral, etika yang stabil dan kuat, agar tidak terjadi cultural shock ketika telah duduk di parlemen," katanya.

Selain itu, katanya, kader parpol harus selalu dapat menjaga, menegakkan citra dan kehormatan lembaga tinggi negara, karena etika dan moralitas itu secara substansi mengikat diri sendiri dan institusi.

Ia mengatakan hal tersebut membuat semakin buram potret para anggota legislatif di hati masyarakat.

Dewi menyoroti dugaan sejumlah anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 yang disebut-sebut menerima dana dari Bank Indonesia.

"Apa ini yang dinamakan demokrasi dan reformasi," katanya dengab nada bertanya.

Untuk itu, ia mengharapkan parpol seyogianya punya terobosan guna mengambil hati masyarakat dan mengembalikan kepercayaan, dan legitimasi publik. Menurut dia, parpol harus bekerja keras menyaring kadernya. (Rully)