Senin, 23 Juni 2008

Pengamat Politik Lokal Siti Zuhro: Tata Kembali Hubungan Pusat-Daerah

LIPUTAN KHUSUS

JAKARTA, SINAR HARAPAN - Pembangkangan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat sudah terjadi sejak tahun 2001, tepat saat desentralisasi dimulai. Menurut pengamat politik lokal LIPI, Siti Zuhro, akhir pekan lalu, pembangkangan pemerintah daerah terjadi karena pemerintah pusat tidak konsisten atas kebijakan yang telah dibuatnya sendiri. Berikut petikan wawancara SH dengan Siti Zuhro.

Bagaimana Anda melihat hubungan pemerintah pusat dengan daerah belakangan ini?
Di tatanan praktis otonomi daerah banyak kendala-kendala yang besar terutama konsistensi pemerintah pusat atas kebijakan otonomi daerah. Pemerintah daerah merasa terhambat dalam melaksanakan otonomi daerah. Di satu sisi, daerah harus mandiri sementara di sisi lain harus menjadi perpanjangan tangan pemerintah. Pekerjaan ini tidak dapat dilaksanakan daerah sekaligus.

Apakah ini juga akibat Pilkada langsung?
Pilkada adalah rentetan dari realisasi otonomi daerah. Karena merasa dipilih masyarakat lokal, pertanggungjawaban kepada rakyat.
Namun, jangan lupa ada perbedaan kewenangan yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 dengan UU Nomor 32 Tahun 2004. Untuk menata hubungan ini, harus merevisi UU tentang pemerintahan daerah.

Apa saja yang menjadi hal krusial yang perlu direvisi?
Revisi UU pemerintahan daerah sudah dibahas. Beberapa hal krusial yang harus dimasukkan dalam perubahan tersebut antara lain partisipasi publik, pelayanan
publik dan kewenangan DPRD. Pelayanan publik menjadi ikon dalam revisi pemerintah daerah.
Ke depan kita harapkan pemerintah tidak terjebak dalam kekuasaan. Namun, pemerintah menempatkan diri sebagai pelayan publik. Harus beralih dari dilayani menjadi dilayani.

Tapi, ada usulan dari Partai Golkar untuk memperbaiki koordinasi, agar gubernur dipilih oleh presiden?
Tampaknya ke depan ada kecenderungan kepala daerah akan dipilih oleh pemerintah pusat. Namun, risikonya memang tidak ada DPRD. Kecenderungan ini ditentukan dari perpanjangan tangan pusat yang dilengkapi sistem. Dalam konteks NKRI ini lebih konsistensi pada negara Indonesia yang menjadi negara kesatuan yang tidak kenal pembagian wilayah. Indonesia dalam bentuk archipelago (kepulauan) membutuhkan kesatuan yang utuh.

Jika menggunakan sistem tersebut, apakah justru tidak mengganggu?
Tidak. Karena yang menjadi wakil rakyat adalah pemerintahan di tingkat desa. Sebanyak 60 persen carut-marut Indonesia itu ada di desa, desa menjadi entitas. Perubahan dilakukan mulai dari desa (romauli)