Kamis, 29 Mei 2008

Diragukan, Pemilu Hasilkan Pemimpin Prorakyat

SUARA PEMBARUAN DAILY
--------------------------------------------------------------------------------

SP/Charles Ulag

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), La Ode Ida (kanan), bersama Ketua Pelaksana Harian Pimpinan Kolektif Nasional Partai Demokrasi Pembaruan, Roy BB. Janis tampil sebagai pembicara dalam diskusi satu abad Kebangkitan Nasional di Jakarta, Rabu (28/5).



[JAKARTA] Pemilihan Umum 2009 diragukan akan menghasilkan pemimpin yang berkomitmen terhadap kepentingan rakyat. Pasalnya, parpol yang ada saat ini hanya didiami oleh kader karbitan dan jauh dari profesionalisme.

Pandangan itu disampaikan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, seusai diskusi yang digelar Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bertajuk "Komitmen Pemimpin Terhadap Rakyat" di Jakarta, Rabu (28/5).

Bagi Siti, tumbuh suburnya parpol saat ini tidak menjamin lahir kader unggulan. "Parpol seharusnya menjadi gudang kader. Memang banyak parpol lokal, tapi kader karbitan juga banyak. Bahkan, jika ada koalisi, sebatas koalisi anomali," ujarnya.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Damai Sejahtera, Denny Temu mengatakan rendahnya komitmen para pemimpin terhadap rakyat menyebabkan berbagai persoalan bangsa sulit terselesaikan.

Dikatakan, setelah satu abad Kebangkitan Nasional, ternyata keadaan belum berubah menjadi lebih baik. Masih banyak rakyat yang miskin, tidak berpendidikan, dan bangsa pun masih dijajah asing.

Artinya, kata Denny, belum ada kemauan yang kuat dari pemimpin bangsa untuk mengubah kondisi itu. Oleh karena itu, dia khawatir setelah peringatan dua abad kebangkitan nasional pun situasinya belum banyak berubah dari sekarang. [ASR/O-1]

Parpol Masih Sakit

R Ferdian Andi R

INILAH.COM, Jakarta – Sepuluh tahun reformasi terasa tak cukup untuk mendesain partai politik yang mampu menciptakan pemimpin berkualitas. Selain proses demokratisasi yang masih belum matang, tragedi pembunuhan potensi yang dilakukan selama 32 tahun oleh rezim Orde Baru telah mengakibatkan sistem pengkaderan parpol tak pernah berkembang.

30523Menurut peneliti senior LIPI, Siti Zuhro, dibutuhkan sedikitnya tiga periode pemerintahan untuk menghasilkan kader parpol yang betul-betul berkualitas. “Pemimpin tidak lahir dalam waktu setahun dua tahun,” kata Siti Zuhro kepada INILAH.COM, di Jakarta, Rabu (28/5).

Di tengah menghangatnya suasana politik menjelang pemilihan umum, Siti Zuhro sengaja membahas isu kepemimpinan nasional serta prospek Pemilu 2009 terhadap proses demokratisasi di Indonesia. Berikut ini petikan wawancaranya:


Anda melihat Pemilu 2009 sulit menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Bisa dijelaskan lebih jauh?

Sebagai gudang kader, partai politik kita ternyata masih sakit. Sehingga tidak mungkin dalam tempo satu tahun langsung menglahirkan kader-kader yang bagus. Kader yang tidak karbitan, dalam sejarahnya itu, selalu memakan waktu yang cukup lama. Jadi Pemilu 2009 tidak akan mendapatkan kader-kader yang benar-benar kita harapkan.


Termasuk partai politik yang baru muncul menjelang Pemilu 2009 ini?

Ya. Jadi saat ini adalah masa kebangkitan partai politik. Tapi bukan masa kebangkitan kemunculan kader-kader yang unggulan. Karena, Orde Baru sudah berhasil memangkas kaderisasi yang sangat intens. Proses reformasi selama sepuluh tahun ini memang menumbuhkan masyarakat sipil. Tapi sepuluh tahun belum cukup bagi kita untuk bisa mengejar ketertinggalan akibat proses 32 tahun oleh Orde Baru tersebut.

Kita masih butuh waktu yang agak lama untuk menghidupkan semangat yang telah dibunuh sekian tahun oleh Orde Baru. Saat ini, kebangkitan politik lokal belum betul-betul mampu memberikan porsi yang yang tepat untuk memunculkan kader yang betul-betul baik. Pemimpin karbitan memang banyak. Tapi yang berkuaitas, belum.


Bagaimana Anda melihat proses koalisi partai-partai politik selama ini?

Partai politik di Indonesia tidak mengikuti aturan (fatsoen) politik yang bagus. Koalisi yang selama ini berlangsung, tidak memiliki format yang jelas. Karena dari pusat ke daerah, tidak ada bentuk yang pas dan cocok. Sehingga menyulitkan hubungan antara pusat dan daerah. Akibatnya proses desentralisasi terhambat karena munculnya sistem multipartai.


Jadi Pemilu 2009 masih belum akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas?

Belum. Kita tidak bisa berharap banyak dalam Pemilu 2009. Mungkin pada pemilu selanjutnya, yaitu pada 2014, agak berbeda. Mudah-mudahan. Tapi dalam tempo periode tiga periode (15 tahun) kita tidak bisa menuai dengan cepat, kecuali kader karbitan yang tidak memiliki nuansa kenegarawanan. Kaderisasi pemimpin itu adalah proses yang alami. Setelah 15-20 tahun baru kita akan mendapatkan kader yang berkualitas.


Bagaimana dengan penolakan oleh beberapa pemda dan kepala desa atas program bantuan langsung tunai (BLT) yang dicanangkan pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga BBM?

Penolakan itu adalah dampak yang sangat konkrit dari realisasi otonomi daerah. Jadi daerah memang sudah tidak bisa didikte lagi oleh pusat, terutama kabupaten dan kota, termasuk desa. Selain itu, memang ada kekecewaan yang lama terhadap pemerintahan pusat.

Baik di Jawa maupun di luar Jawa tingkat kekecewaannya kepada pemerintah pusat, sama. Karena pusat dianggap tidak konsisten berkaitan dengan kebijakan dari pusat yang menyangkut daerah. Jadi daerah merasa terkekang dan tidak mendapat porsi yang semestinya.


Bagaimana sebenarnya format hubungan antara pusat dan daerah dalam ketatanegraan kita?

Dalam bentuk ketatanegaraan kita, provinsi bertanggung jawab kepada pusat. Tentu saja kabupaten dan kota juga demikian. Kita tidak memiliki satu pengawasan yang bagus, ketika desentralisasi diterapkan. Jadi pada 2001 itu realisasi desentralisasi terjadi. Namun pengawasan dan pendampingan dari Depadgri tidak terjadi. Akhirnya ada semacam distorsi di level praksis.

Jadi meski desentralisasi berjalan, tapi tidak kemudian lepas sama sekali. Ini bukan negara federal. Untuk konteks BLT, bagi pemda yang menolak, maka akan mendapat sanksi secara administrasi. Ini bukan pembangkangan juga, tapi bagian dari bentuk kemandirian daerah. Ini kan era otonomi daerah, daerah juga punya hak untuk menolak sesuatu dari pusat. Itu sah-sah saja.

Tapi dalam konteks BLT kan kebijakannya top down. Jadi jangan dipisahkan kebijakan BLT dalam konteks kebijakan stabilitas nasional. NKRI harus terjaga. Supaya terjaga, maka diadakan BLT. [P1]

Jumat, 23 Mei 2008

Konferensi Internasional “Indonesia’s Decade of Democratisation: The Rise of Constitutional Democracy”

21-22 Mei 2008

Bertepatan dengan momentum 10 tahun reformasi, Pusat Penelitian Politik LIPI bekerjasama dengan Monash University Australia dan The Habibie Center mengadakan konferensi internasional bertajuk “Indonesia’s Decade of Democratisation: The Rise of Constitutional Democracy”. Acara ini berlangsung selama dua hari, dari tanggal 21 hingga 22 Mei 2008 bertempat di Ruang Seminar Gedung Widya Graha LIPI. Acara dibuka dengan opening remarks dari masing-masing pimpinan ketiga institusi penyelenggara, secara berturut-turut, Prof. Dr. Umar Anggara Jenie selaku Kepala LIPI; Prof. Muladi sebagai Kepala The Habibie Center; dan Prof. Stephanie Fahey yang merupakan Deputy Vice-Chancellor International of Monash University Australia. Film dokumenter “The Road to ‘Reformasi’: Democracy For A Better Future” yang menjadi pengantar sebelum memasuki sesi diskusi seolah menjejaki kembali peristiwa 10 tahun yang lalu, tuntutan reformasi dan turunnya Soeharto dari tampuk kepemimpinan.

Sesi diskusi pada konferensi hari yang pertama mengangkat tema “’Reformasi’, Monetary Crises and Soeharto’s Resignation” menghadirkan tiga pembicara, yaitu Prof. Hermawan Soelistyo (peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI) dengan makalahnya yang berjudul “Chicken’s Price Tag: Political Economy of the Downfalling Soeharto”; Ir. Sukmadji Indro Tjahyono (SKEPHI/Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia) membawakan makalahnya “Reformasi: Momentum Perubahan Yang Sia-sia”; serta Syafi’ Aliel’ha (Forum Kota/ FORKOT) dengan makalahnya “Reformasi Yang (Semata) Berbuah Oligarki”. Moderator dari sesi pertama ini adalah Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar, Deputi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI.

Setelahnya, sesi kedua hadir dengan mengangkat tema “Political Reform and Democratization”. Kembali menghadirkan tiga pembicara, yaitu Prof. Mochtar Pabottingi (peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI) dengan makalahnya “The Balance Sheet of The 1998 Reform in Indonesia”; Dr. R. Siti Zuhro (peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI sekaligus Manajer Program dan Riset The Habibie Center) yang membawakan makalahnya dengan judul “Political Reform and Democracy: Regional Autonomy, Local Bureaucratic Reform and Pilkada”; serta Dr. David Bourchier (University of Western Australia) dengan makalahnya “Victories and Looming Dangers In Indonesia’s Transition From Authoritarian Rule”. Prof. Lance Castell dari Monash Unversity menjadi moderator diskusi sesi kedua pada hari yang pertama ini.

Sesi ketiga yang mengangkat tema “Military Reform and Democratization” kemudian hadir dengan moderator, Dr. Edi Prasetyono, Kepala Departemen Hubungan Internasional, Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Ketiga pembicara yang dihadirkan adalah Prof. Ikrar Nusa Bhakti (Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI) dengan makalahnya “Agenda and Objectives Of Security Sector Reform in Indonesia”; Let. Jend. (Ret) Kiki Syahnakri yang membawakan makalahnya dengan judul “Reformasi Internal TNI Dan Demokratisasi”; Ass. Prof. Leonard Sebastian (Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura) dengan makalahnya “Tentara Nasional Indonesia: Impact of 10 Years Of Democratic Transformation”.

Panel keempat sekaligus sesi terakhir dari konferensi di hari pertama ini mengangkat tema “Islam and Democracy” menghadirkan tiga pembicara, masing-masing, Prof. Azyumardi Azra (dari Kantor Wakil Presiden) dengan makalahnya “Indonesian Islam And Democracy”; Dr. Syafi’i Anwar (dari ICIP/ International Centre for Islam and Pluralism” dengan makalahnya yang berjudul “Islam, Democracy. And The Clash Of Religio-Political Thought In Post-Soeharto Indonesia”; terakhir, Prof. Greg Barton (dari The Herb Feith Foundation, Monash University Australia) membawakan makalahnya “Islam In Indonesia After A Decade Of Democracy: Two Steps Forward, Two Steps Backward?”. Syahrul Hidayat, dosen di Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, menjadi moderator dalam sesi ini.

Hari kedua pelaksanaan komferensi internasional yang didukung oleh Departemen Dalam Negeri, TIFA Foundation, Bank BRI, dan The Asia Foundation ini dimulai dengan sesi pertama yang mengambil tema “Bureaucratic, Legal Reform and Decentralization” menghadirkan tiga pembicara, yaitu Eko Subowo (Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri) dengan makalahnya yang berjudul “The Policy of Decentralization in Indonesia”; Prof. Miftah Toha (dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) yang membawakan makalahnya “Bureaucratic, Legal Reforms And Decentralization”; serta, Dr. Denny Indrayana (dosen Universitas Gadjah Mada) dengan makalahnya “Indonesia Judicial Reform In The Midst Of Judicial Corruption”. Andrinof Chaniago, peneliti senior The Habibie Center sekaligus dosen Program Pasca Sarjana Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, menjadi moderator pada sesi pertama di hari kedua ini.

Sebagai sesi kedua, tema “Civil Society and The Media” menjadi topik yang diangkat dengan moderator Dr. Meuthia Ganie Rochman, dosen sekaligus sosiolog dari Universitas Indonesia. Keempat pembicara yang dihadirkan adalah Bambang Harymurti (Direktur Utama TEMPO Media Group) dengan makalahnya yang berjudul “The Media Environment In Indonesia: ‘Bright Light At The End Of Long Tunnel?”; Lilies Nurul Huda (Direktur PP LAKPESDAM/ NU) membawakan makalahnya dengan judul “Civil Society In 10 Years Of Reformation”; Prof. David T. Hill (Murdoch University Australia) dengan makalahnya yang berjudul “The Indonesian Media Ten Years On: The Transition To Post-Authoritarianism”; serta Dr. Charles Coppel (University Of Melbourne Australia) dengan makalahnya “Normalizing Chinese Indonesians?: The past Ten Years”.

Tema “The Economy” menjadi topik bahasan sesi diskusi selanjutnya dengan moderator Siwage Dharma, peneliti di Pusat Penelitian Ekonomi LIPI. Ketiga pembicara yang hadir adalah Dr. Rizal Ramli dengan makalahnya yang berjudul “Ten Years After: Impact Of Monetarist And Neoliberal Solutions In Indonesia”; Stephen B. Schwartz dari International Monetary Fund (IMF); serta, Ass. Prof. Ross H. McLeod dari Australia National University dengan makalahnya “A Decade of Reformasi: What Has Indonesia Gained, And What Has It Lost?”.

Sebagai penutup rangkaian acara konferensi internasional yang berlangsung dua hari ini, closing remarks bertajuk “Indonesia Ten Years On” dibawakan oleh Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar, mewakili Pusat Penelitian Politik LIPI dan The Habibie Center; Prof. Greg Barton, mewakili The Herb Feith Foundation Monash University Australia; Dr. Douglas E. Ramage, mewakili The Asia Foundation; dan, Yuli Ismartono sebagai wakil dari TIFA Foundation. (Lidya C. Sinaga)


Pengaruh Ormas Membuat Kinerja KPU Lamban

Molornya pelaksanaan verifikasi awal tehadap parpol dinilai akibat tarik-menarik kekuatan organisasi kekuatan masyarakat dan agama yang berpengaruh terhadap anggota KPU. Tarik-menarik NU dan Muhammadiyah sangat terasa di kalangan anggota KPU sehingga kerap terjadi beda pendapat. Memang tidak sampai menimbulkan konflik, namun kinerja KPU menjadi lamban.

"Memang beda pendapat di kalangan anggota KPU akibat tarik menarik kepentingan ormas seperti NU dan Muhammadiyah itu tidak sampai menimbulkan konflik atau konfrontasi, tapi ini memperlambat kinerja KPU. Selama ini kelambanan itu dimaklumi karena keterlambatan pengesahan UU No 10/2008. Belakangan ini penyebab kelambanan, itu perbedaan pendapat dan kuatnya tarik-menarik kepentingan ormas dan parpol. Kalau ini terus terjadi, KPU tidak akan bisa melaksanakan tahapan pemilu secara profesional sesuai jadwal," kata Peneliti Senior LIPI Siti Zuhro kepada Media Indonesia di Jakarta, Kamis (22/5).

Siti mengatakan KPU harus meminimalisasi kepentingan pihak-pihak ormas, parpol, dan pemerintah. "Itu pasti bisa dilakukan KPU kalau tetap menjaga independensi dan menghindari praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Tak perlu KPU melakukan upaya-upaya yang tidak profesional berpihak ke parpol atau ormas pendukungnya saat mengikuti seleksi KPU," katanya.

Siti mengatakan Sekretariat KPU sebagai perpanjangan tangan pemerintah juga sangat berpengaruh terhadap kinerja KPU. "Bisa saja keputusan di tingkat KPU sudah ada tapi pelaksanaannya lamban di sekretariat. Saya melihat pemerintah juga sangat berkepentingan sehingga pengaruhnya sangat kuat terhadap KPU, kalau kepentingannya untuk pemilu aman, jujur dan adil, tak masalah. Yang masalah itu, kalau pemerintah mengutamakan kepentingan poltik tertentu," katanya. (mediaindonesia)