Jumat, 09 November 2007

Pemekaran Daerah Rawan Masalah



Maraknnya pemekaran daerah di tanah air, diduga adanya konspirasi


Sejak tahun 1999 banyak lahir daerah otonomi baru hasil pemekaran. Tujuannya untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada publik. Namun ironisnya, masyarakat kurang merasakan manfaatnya.

Salah satu buah dari reformasi adalah lahirnya banyak daerah otonomi baru yang merupakan hasil pemekaran daerah. Sejak 1999 hingga Oktober 2007 lalu tercatat ada tambahan 7 provinsi, 135 kabupaten dan 31 kota. Saat ini total daerah otonom di Indonesia meliputi 33 provinsi dan 465 kab/kota. Nyaris dua kali lipat dari jumlah pemerintahan kab/kota sebelumnya.

Tujuan utama dari pemekaran dan pembentukan daerah otonomi baru memang mulia. Yakni untuk lebih mendekatkan pelayanan publik dan meningkatkan kehidupan serta kesejahteraan masyarakat setempat. Namun sayangnya, banyak daerah-daerah hasil pemekaran itu belum atau kurang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Hal ini diungkapkan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto pada Rapat Kerja Gubernur di Surabaya (22/10). Menurutnya, banyak daerah otonomi justru memunculkan masalah. Terutama soal efektivitas dalam memberikan pelayanan pada masyarakat.

Maraknya pemekaran wilayah mendapat sorotan tajam dari pengamat politik J.Kristiadi dan Fachry Ali. Kristiadi menyebut pemekaran wilayah sudah ‘gila-gilaan’. Pemekaran sudah menjadi komoditas politik. Para politikus memperlakukan pemekaran wilayah sebagai proyek. Dia juga prihatin karena uang negara habis untuk membiayai pejabat-pejabat daerah. Padahal dana itu sangat dibutuhkan untuk membangkitkan perekonomian dan pembangunan daerah.

Sedangkan Fachry Ali menilai, banyaknya daerah yang dimekarkan hanya menguntungkan elit lokal dan memberatkan pemerintah pusat. Dari sisi finansial, anggaran pusat akan bertambah terkait dengan perlunya membangun infrasturktur di daerah pemekaran. Sedangkan dari sisi sosial, pemekaran wilayah berpotensi menimbulkan konflik, seperti sengketa batas, perebutan lokasi ibukota dan konflik politik.


Konspirasi



Dalam bahasa yang berbeda, mantan Menteri Otonomi Daerah Ryaas Rasyid menyatakan, pemekaran wilayah yang marak itu akibat konspirasi intens antara partai politik, birokrat daerah dan pengusaha. “Parpol diuntungkan karena ada DPRD baru, birokrat beruntung karena banyak jabatan baru dan pengusaha juga berkepentingan, karena akan banyak proyek pembangunan kantor dan pengadaan,” katanya seperti dikutip Media Indonesia (18/10).

Akibatnya, terjadilah usaha ‘bahu-membahu’ melalui jalur Depdagri atau DPR untuk menggolkan usul pemekaran itu. Konspirasi ini bisa juga diperkuat calon kepala daerah yang kemudian bekerja sama membiayai ongkos pengurusan melalui salah satu atau kedua jalur itu.

Peneliti senior LIPI, Siti Zuhro, menambahkan, salah satu sumber masalah gagalnya pembentukan daerah-daerah otonom adalah adanya lobi-lobi politik yang sering mengalihkan penilaian obyektif. Manipulasi data pun dilakukan demi tercapainya pemekaran daerah. “Scoring ini sering dimainkan untuk mengelabui,” kata Zuhro seperti dikutip Kompas (27/10).

Lobi-lobi ini bisa terjadi di banyak lini, mulai dari DPRD, pemerintah provinsi/kabupaten/kota, Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), pemerintah pusat, DPR juga DPD. Berdasarkan evaluasi terhadap 98 daerah otonom baru, menurut Zuhro, ternyata sebanyak 76 daerah bermasalah.

Agar tidak terjadi lagi di masa depan, Zuhro berpendapat perlu ada sanksi pidana bagi pihak-pihak yang memanipulasi data. Sedangkan Kristiadi mengusulkan adanya moratorium pemekaran wilayah. Kalau perlu, segera dilakukan penggabungan wilayah yang dimekarkan.


Namun di mata anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Sulawesi Tengah, Ichsan Loulembah, tak seluruh daerah pemekaran mengalami kegagalan. Sebagai contoh, disebutnya Provinsi Gorontalo yang maju pesat setelah berpisah dengan Provinsi Sulawesi Utara. Begitu pula Kabupaten Parigi Moutong di Sulawesi Tengah.

Dia tak sependapat jika kegagalan pembentukan daerah otonom dibebankan seluruhnya kepada daerah. Kegagalan ini juga menjadi tanggung jawab pemerintah pusat yang punya kewajiban memberikan supervisi. “Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Presiden, juga ikut bertanggung jawab,” tegasnya.

Ke depan, dia menyarankan pemekaran daerah tidak lagi melalui tiga pintu (DPOD, DPD dan DPR) secara paralel, tetapi secara bertingkat. DPOD menganalisa dari sisi teknis, DPD menilai dari sisi hubungan pusat dan daerah. Sedangkan DPR memberi penilaian akhir.

Kajian pun tidak dilakukan secara formalistik, tapi diberikan parameter yang jelas dan terukur. Dengan demikian, bisa dilihat secara jelas, mana daerah yang layak dan mana yang tidak.Daerah yang selama ini dinilai gagal harus digabungkan kembali dengan daerah induk. Kebijakan ini perlu dilakukan agar ada reward and punishment yang jelas. Namun Ichsan tidak yakin presiden berani melakukannya karena kebijakan ini pasti akan dinilai tidak populis. SP (BI 50)