Kamis, 27 September 2007

Legislasi: DPD Telah Keluarkan 113 Keputusan

JAKARTA (Suara Karya): Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hingga kini telah mengeluarkan sebanyak 113 keputusan yang meliputi 10 usul rancangan undang -undang (RUU), 52 pandangan dan pendapat, empat pertimbangan, 30 hasil pengawasan, dan 17 pertimbangan terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Demikian disampaikan Wakil Ketua DPD Irman Gusman ketika menyerahkan keputusan Sidang Paripurna DPD tanggal 20 September 2007 kepada Ketua DPR Agung Laksono di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (26/9). Pada 1 Oktober mendatang, DPD akan merayakan hari ulang tahunnya yang ketiga.

Menurut Irman Gusman, DPD telah melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan konstitusi. Semua hasil kerja tersebut disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

DPD kembali menyampaikan sebuah usul RUU tentang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pandangan dan pendapat tentang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, serta pertimbangan terkait Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran (TA) 2008.

Dalam pertemuan itu, hadir dari DPD Wakil Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) I DPD Hariyanti Syafrin, Ketua Tim Kerja (Timja) RUU Keistimewaan Yogyakarta PAH I DPD Subardi, Ketua PAH IV DPD Eka Komariah Kuncoro didampingi wakil ketua Benyamin Bura dan Ruslan Wijaya, serta Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD Muspani.

Sedangkan, dari DPR tampak Ketua Komisi VI DPR Didik J Rachbini didampingi Wakil Ketua Komisi VI Anwar Sanusi dan M Midin M Said, serta Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR FX Soekarno.

Menurut Irman, sesuai Pasal 22D UUD 1945 UUD bertugas di bidang legislasi, pertimbangan, dan pengawasan. Sesuai konstitusi, semua hasil pelaksanaan tugas DPD bermuara kepada DPR untuk ditindaklanjuti. Untuk itu, pertemuan dalam rangka menyerahkan hasil pelaksanaan tugas DPD yang ditetapkan melalui keputusan Sidang Paripurna DPD tanggal 20 September 2007.

Dalam rangka perayaan HUT-nya, Senin (1/10), DPD akan menyelenggarakan sarasehan bertema "Peningkatan Efektivitas Perjuangan Anggota DPD dalam Membela Kepentingan Daerah" yang bertempat di Plaza Gedung DPD dengan narasumber Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Bambang PS Brodjonegoro, peneliti otonomi daerah Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) R Siti Zuhro, dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat Universitas Andalas (Unand) Saldi Isra.

Irman juga menyampaikan catatan menyangkut administrasi dalam undang-undang atau lebih spesifik legal drafting konsiderans "mengingat". Setelah mencermati dokumen salinan delapan undang-undang tentang pembentukan kabupaten/kota yang diterima DPD dari Sekretariat Negara (Setneg), konsiderans "mengingat" delapan undang-undang itu tidak mencantumkan Pasal 22D UUD 1945.

"Sebelumnya, konsiderans 17 UU tentang pemekaran daerah sama sekali juga tidak mencantumkan Pasal 22D UUD 1945," kata Irman.

Sesuai ketentuan Pasal 22D UUD 1945, Pasal 43 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, DPD telah ikut membahas dalam proses pembentukan kedelapan undang-undang melalui mekanisme sebagaimana diatur undang-undang dan tata tertib lembaga.

"Berdasarkan ketentuan itulah, DPR berkewajiban konstitusional mencantumkan Pasal 22D UUD 1945 dalam konsiderans 'mengingat' dalam setiap undang-undang yang proses pembentukannya mengikutsertakan DPD," kata Irman.

Ia mencontohkan, UU No 1 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Empat Lawang di Provinsi Sumatera Selatan, UU 2/2007 tentang Pembentukan Kabupaten Nagekeo di Provinsi Nusa Tenggara Timur, UU 3/2007 tentang Pembentukan Kabupaten Sumba Tengan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. (Victor AS/*)

Rabu, 26 September 2007

Keterbukaan Informasi dan Reformasi Birokrasi

183002

R Siti Zuhro

Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


Selama periode 1998-2007, tuntutan agar birokrasi Indonesia direformasi cenderung menguat. Besarnya tuntutan tersebut didorong oleh kenyataan maraknya korupsi di birokrasi yang makin terbuka. Masalah korupsi tampaknya makin sulit diatasi. Beberapa kasus korupsi besar sejauh ini belum dapat dituntaskan. Oleh karena itu, rakyat menuntut pemerintahan agar secara sungguh-sungguh mengatasi masalah korupsi di birokrasi.

Mereformasi birokrasi berarti memperbaiki kualitas birokrasi. Utamanya memperbaiki kinerja pegawai dalam melakukan pelayanan publik, mengubah perilaku pejabat agar tidak korupsi, menata jumlah pegawai negeri agar sesuai beban pekerjaan, dan mengurangi keengganan birokrat untuk lebih bersikap transparan dalam menjalankan tugas. Pengaruh partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan publik juga masih terkesan kurang signifikan, sehingga ini berdampak pula terhadap akuntabilitas dan kredibilitas pemerintah.

Demokrasitisasi di Indonesia menyaratkan direalisasikannya pemerintahan yang terbuka. Dalam konteks itu, aktivitas pemerintah dapat dimonitor dan melibatkan partisipasi masyarakat. Hak memperoleh informasi, hak menyatakan pendapat, dan hak mendapat perlindungan atas pengungkapan fakta pun seharusnya dimiliki rakyat. Masalahnya, bagaimana masyarakat mau berpartisipasi dalam kegiatan program pemerintah bila mereka tidak mendapatkan informasi yang memadai?

Dalam konteks kebijakan publik, yang diperlukan masyarakat bukan hanya hasil final suatu keputusan pemerintah, tapi yang lebih penting adalah keterlibatan mereka dalam proses pembuatannya. Pengabaian terhadap eksistensi dan partisipasi masyarakat justru bertentangan dengan tekad pemerintah era reformasi yang hendak membuat "perubahan".

Lalu, bagaimana masyarakat bisa ikut serta membantu memberantas korupsi bila kebebasan memperoleh informasi publik yang menjadi keharusan dalam sistem pemerintahan yang transparan dibatasi atau ditutup? Hak-hak politik masyarakat dibatasi, terutama partisipasinya. Belum disahkannya RUU Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP) adalah salah satu indikasinya.

Meskipun birokrasi Indonesia sekarang ini dapat diklasifikasikan ke dalam bureaucratic pluralism--yang relatif lebih melibatkan partisipasi masyarakat--bukan berarti ini sudah final. Akan lebih demokratis bila menguatnya masyarakat sipil (civil society) di Indonesia saat ini tidak diinterupsi oleh pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan politik warga negara.

Artinya, upaya-upaya memberdayakan mereka perlu dilakukan secara berkesinambungan dengan memberikan peluang untuk berperanserta dalam proses pembuatan kebijakan publik. Inilah esensi reformasi birokrasi. ***