Jumat, 11 Mei 2007

Waspadai “Bola Liar” Amendemen UUD’45

Jakarta – Semua elemen bangsa harus mewaspadai munculnya bola liar dalam amendemen UUD’45 yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Meski DPD hanya menginginkan perubahan yang terkait dengan kewenangannya tidak tertutup kemungkinan gerilya politik untuk pasal lain juga dapat dilakukan di tengah jalan.
Hal tersebut dikemukakan pengamat politik Indo Barometer, Muhammad Qodari, dalam acara diskusi dengan tema “Di Balik Penarikan Dukungan Amendemen” di gedung DPD, di Jakarta, Jumat (11/5).
Diskusi itu juga dihadiri pakar hukum tata negara Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra dan pengamat otonomi daerah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro.
“Usulan amendemen ini bukan saja bisa menjadi bola liar tetapi juga bisa menjadi bola salju. Gerilya politik bisa terjadi dikemudian hari.Hanya sekarang itu belum kelihatan,” kata Qodari.
Untuk itu, ia mengusulkan supaya amendemen tersebut sebaiknya dilakukan setelah pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Ini juga diperlukan untuk menjaga kestabilan negara mengingat menjelang Pemilu tensi politik akan memanas.
Sementara itu, Yusril mengatakan apabila DPD dapat meyakinkan bahwa amendemen hanya akan dilakukan untuk pasal tertentu, pelaksanaan amendemen bisa dilakukan sebelum 2009. Namun, ia keberatan jika ke depan amendemen hanya dilakukan terhadap pasal-pasal yang terkait dengan DPD. Ia mengharapkan amendemen harus dilakukan secara meluas untuk mendapatkan kualitas UUD yang sesuai dengan kepentingan negara
Di bagian lain, Pimpinan DPD, Bambang Soeroso, menilai surat penarikan dukungan dilakukannya amendemen UUD oleh Ketua Fraksi Partai Demokrat (FPD) Syarif Hassan kepada pimpinan DPD salah alamat. Alasannya, tanda tangan dukungan amendemen dilakukan oleh anggota MPR sehingga jika ada penarikan dukungan, harus dilakukan oleh anggota bersangkutan dan ditujukan kepada pimpinan MPR.
Apa yang dilakukan Syarif Hassan untuk menarik dukungan sah-sah saja tetapi kurang pas dengan mekanisme yang seharusnya. Namun, DPD tidak kecewa dengan perubahan sikap Partai Demokrat yang sangat cepat tersebut.
“Kita hanya bisa kaget dan terkejut saja. Wong, tinta tanda tangannya saja belum kering, tiba-tiba sudah berubah haluan. Kok, bisa ya begitu?” kata Bambang Soeroso. Syarif Hassan mengirim surat Nomor FPD. 748/DPR-RI/2007 tertanggal 9 Mei 2007 perihal penarikan dukungan amendemen oleh 23 anggota Partai Demokrat.
Karena dinilai salah alamat, DPD mengembalikan surat tersebut melalui surat Nomor DN.190/4/ DPD/V/2007 sehari kemudian. Hal itu dilakukan sesuai dengan Pasal 78 Peraturan Tata Tertib MPR bahwa usul perubahan UUD 1945 diajukan kepada Pimpinan Majelis dan Pimpinan Majelis akan menilai persyaratan untuk Perubahan UUD 1945.

Menanggapi hal itu, Syarif Hassan mengatakan akan segera membenarkan mekanisme pengiriman surat tersebut siang ini juga. Ia menjelaskan penarikan dukungan oleh partainya setelah melihat peta pendapat di internal FPD, yakni 23 menyatakan mendukung amendemen sementara 37 menyatakan menolak. “Benar, dukungan disampaikan oleh anggota MPR, tetapi karena kita satu-kesatuan, harus ada kesamaan pendapat,” jelasnya.
Perubahan sikap Partai Demokrat sudah disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Ketua Den Pembina Partai Demokrat. Susilo Bambang Yudhoyono, menurut Syarif Hassan, telah menginstruksikan kepada fraksi untuk mengkaji kembali sikap terhadap usul amendemen tersebut paling lambat dalam dua minggu ke depan. Pertemuan pimpinan FPD dengan Presiden berlangsung, Kamis (10/5) petang di Istana Negara.
“Apa sikap Partai Demokrat nanti bisa lebih jelas setelah dua minggu dari kemarin sore itu,” tambah Syarif Hassan. Ia yakin penarikan dukungan, untuk sementara, terhadap usul amendemen UUD tersebut tak mempengaruhi citra partai di mata masyarakat.
DPD sendiri tak surut semangat karena sikap Demokrat. Malah, pagi ini sejumlah tanda tangan dukungan bermunculan. “Kami tetap melampaui batas jumlah minimal pengusul sekalipun 23 anggota Partai Demokrat dan satu dari Partai Pelopor menarik dukungan,” kata Bambang Soeroso.

Dipertanyakan


Sementara itu, penarikan dukungan Partai Demokrat yang mementahkan keinginan amendemen terhadap UUD 1945 dinilai mengecewakan. Penarikan dukungan tersebut dinilai karena adanya kekhawatiran partai utama pendukung Presiden Yudhoyono itu bahwa agenda amendemen akan mengganggu agenda Presiden. Sebenarnya agenda amendemen adalah untuk mempertegas kewenangan kelembagaan presiden. Partai Demokrat dinilai tak mengetahui hal ini secara komprehensif.
“Tapi dia (Presiden Yudhoyono-red) justru ‘terpenjara’ pasal UUD, karena ketidakjelasan dalam konstitusi tentang proses pemilihan menteri dan tindakan reshuffle dari kabinet yang dia pimpin. Penarikan kembali dukungan suara Partai Demokrat sangat disayangkan dan mengecewakan,” tutur Ketua KRHN (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional) Firmansyah Arifin di kantornya, Kamis (10/5).
Firman menjelaskan agenda amendemen yang pernah diangkat ke forum MPR yang pada 8 Mei 2007 dan memenuhi jumlah suara 226 anggota MPR (quorum) kini menjadi “mentah” karena adanya penarikan dukungan dari 23 anggota Fraksi PD itu. Beberapa persoalan sudah ada misalnya mulai dari pengukuhan MPR terhadap Presiden yang memperlihatkan sistem presidensil, namun dalam UUD terlihat campur aduk dengan sistem parlementer.
“Presiden yang terpilih oleh rakyat juga diharuskan konsultasi dengan partai yang memilih kabinet, padahal dalam sistem presidensial yang murni dipilih rakyat tak harus melakukan itu,” ujar Firmansyah.
Di kesempatan sama, Rahmat Bagja, Kadiv Konstitusi KRHN, juga mengungkapkan perlunya penegasan tentang posisi MPR sebagai lembaga permanen yang dalam konsepsi UUD kurang ditegaskan, walau telah dijelaskan UU Susduk sebagai lembaga permanen. “Menurut saya tidak perlu lagi, karena terbentuknya MPR adalah dari DPR dan DPP. MPR bukan lembaga permanen,” ujar Rahmat.
Selain itu, adanya jaminan konstitusional komprehensif untuk suatu mekanisme komplain dalam komisi konstitusi sebagai cerminan dari negara demokrasi. Amendemen UUD 1945 juga tidak bisa dilakukan secara parsial namun harus dilakukan secara komprehensif menyangkut kejelasan posisi dan hubungan (check and balances) Kelembagaan Negara, Kejelasan Sistem Pemerintahan, Kekuasaan Legislatif, Kekuasaan Kehakiman dan diproses sebelum Pemilu 2009.
(tutut herlina/inno jemabut/sihar ramses simatupang)

Jumat, 04 Mei 2007

Reshuffle Kabinet: So What?

172301

R Siti Zuhro

Pengamat politik


Sebersit harapan kembali mencuat. Presiden SBY telah menegaskan segera me-reshuffle sejumlah menteri.

Setahun belakangan ini memang muncul sejumlah masalah yang mengecewakan masyarakat. Masalah yang tergolong aktual, antara lain, kenaikan harga beras, dukungan Indonesia atas resolusi DK PBB tentang nuklir Iran, dan kecelakaan kereta api. Kekecewaan tersebut terakumulasi dan mendorong Presiden SBY merasa perlu melakukan reshuffle kabinet.

Menyusul pernyataan SBY, kini isu di kalangan elite politik dan profesional bergeser: siapa akan mendapat apa, dan apakah menteri baru nanti berasal dari kalangan politisi atau profesional?

Bagi rakyat kecil, itu tidak begitu dipikirkan. Sebagai rakyat kecil, yang dirisaukan apakah reshuffle kabinet akan berhenti pada penggantian menteri saja atau akan ada perubahan kebijakan?

Yang mereka harapkan, reshuffle kabinet kali ini dapat mengubah perilaku korup birokrat pelaksana. Birokrat korup ada di kelurahan, kecamatan, sekolah, rumah sakit, terminal bus, pelabuhan, kantor catatan sipil, sampai ke polsek.

Hingga kini, kinerja dan perilaku buruk birokrat belum banyak berubah. Ekonomi dan birokrasi biaya tinggi masih terus dikeluhkan masyarakat, termasuk di Jakarta yang PNS-nya telah memperoleh insentif tinggi dari Gubernur Sutiyoso.

Biaya pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) dan surat izin mengemudi (SIM) di Jakarta, misalnya, jauh dari harga standar yang ditetapkan. Demikian juga dengan masalah perizinan transportasi umum.

Adanya resistensi kuat birokrat pelaksana untuk tetap memperlambat perubahan merupakan tantangan berat bagi menteri. Instruksi Presiden SBY untuk tidak menutupi persoalan soal tewasnya praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Cliff Muntu dan sekaligus membenahi IPDN secara komprehensif, misalnya, tak mudah diwujudkan. Pejabat rektor baru IPDN pun mengalami kesulitan untuk sekadar menanggalkan seragam praja yang mirip militer.

Terhadap banyaknya keluhan rakyat atas kinerja pemerintah, menteri-menteri diharapkan lebih proaktif dengan memperbanyak frekuensi inspeksi mendadak (sidak) dan turun ke bawah (turba) sambil menjaring dan membuka akses yang luas atas pengaduan masyarakat. Kebiasaan menerima laporan dari pejabat bawahan, apalagi yang berkenaan dengan pelayanan publik di front terdepan, harus ditinggalkan karena hal itu cenderung menghasilkan laporan "asal bapak senang" (ABS). Sikap tegas dengan memberlakukan reward dan punishment merupakan hal yang amat dinantikan rakyat.

Penegasan Presiden SBY untuk segera merombak kabinet kita apresiasi. Semoga komitmen SBY melakukan perubahan ke arah yang lebih baik bisa menjadi kenyataan.***