Senin, 30 April 2007

Reshuffle dan Reformasi Birokrasi

Republika

R Siti Zuhro
(Peneliti Senior The Habibie Center)

Polemik tentang reshuffle kabinet berakhir sudah. Baik presiden maupun wapres menegaskan bahwa tujuan reshuffle adalah untuk memperbaiki kinerja dan bukan karena adanya tekanan politik.

Menanggapi hal tersebut, tak sedikit kalangan yang menyatakan bahwa yang terpenting bukanlah perombakan kabinet itu sendiri, tetapi bagaimana menjadikan agenda reformasi birokrasi sebagai agenda utama untuk mengatasi persoalan bangsa. Dengan cara itu diharapkan pemerintah akan keluar dari lingkaran setan perombakan kabinet setiap tahun.

Faktor pendorong utama reshuffle adalah munculnya ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah. Masalahnya, rakyat merasa hidupnya makin sengsara sementara harga-harga kebutuhan pokok terus meningkat. Kemerosotan bidang ekonomi dicerminkan dengan jelas melalui makin banyaknya jumlah rakyat miskin dan pengangguran. Presiden dihadapkan pada pilihan yang realistis untuk mengganti menterinya yang dinilai kurang bagus kinerjanya sehingga kerja pemerintah tidak maksimal dan perekonomian Indonesia sulit bangkit.


Mengapa reformasi birokrasi?



Indonesia sering dijadikan contoh dari masyarakat yang mengalami perubahan ekonomi, sosial, dan politik, tapi masih menampakkan beberapa ciri tradisional. Menurut Crouch (1979), tak sedikit gambaran tentang sistem politik Indonesia yang berwajah patrimonial. Argumen tersebut masih relevan untuk digunakan dalam menganalisis politik Indonesia di era transisi. Kultur politik patrimonial itu masih sangat kental sampai 1998.

Masalah yang dihadapi birokrasi mencakup rendah kinerja, yang disebabkan oleh pola pikir PNS yang kurang berorientasi pada profesionalisme. Hal ini disebabkan oleh belum diberlakukannya penghargaan dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi dan masih berlangsungnya hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif, serta kurang mendidik.

Tak sedikit kalangan yang menuntut dilaksanakan reformasi birokrasi secara riil. Ada beberapa alasan penting mengapa reformasi birokrasi perlu mendapat perhatian serius. Pertama, sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa birokrasi senantiasa tidak ditempatkan pada posisi, fungsi, dan perannya sebagai sebuah organisasi yang mengurus negara secara profesional. Hal ini bisa ditelusuri mulai masa sebelum kolonial Belanda sampai era transisi sekarang ini.

Kedua, semasa orde baru, Indonesia tergolong negara yang relatif maju secara ekonomi, tapi terbelakang secara politik. Asumsi yang mengatakan bahwa Indonesia mengalami kemajuan ekonomi ternyata tidak sepenuhnya benar. Krisis yang melanda Indonesia membuktikan secara konkret bahwa fundamental ekonomi Indonesia tidak cukup kuat. Ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang tidak diikuti pembangunan politik menghasilkan rapuhnya institusi demokrasi.

Ketiga, dibanding Singapura, Malaysia, dan Thailand, birokrasi Indonesia tertinggal jauh. Di ketiga negara tersebut birokrasi mereka sudah memasuki tahap profesional.

Keempat, isu korupsi dalam birokrasi terus saja menjadi berita harian berbagai media. Di era transisi ini, isu tersebut tak juga mereda. Sebarannya malah meluas.

Asumsi dasar pentingnya agenda reformasi birokrasi salah satunya karena eksistensinya sebagai prasyarat penting bagi keberhasilan peningkatan daya saing Indonesia. Sulit dibantah bahwa rendahnya daya saing global Indonesia hingga kini adalah karena kentalnya praktik ekonomi biaya tinggi dalam birokrasi dan regulasi yang tidak probisnis.

Menurut Forum Ekonomi Dunia, posisi daya saing global Indonesia pada 2005 berada di peringkat ke-74 atau turun dibanding 2004 yang berada di peringkat ke-69 (dari 117 negara yang diteliti). Ini berbeda dengan Singapura dan Taiwan, yang memiliki peringkat tinggi dalam daya saing global karena keduanya telah memiliki pengelolaan lembaga publik dan swasta yang transparan serta efisien.


Konsep birokrasi modern



Konsep birokrasi modern dan rasional yang dianut banyak negara maju selama ini tak dapat dilepaskan dari gagasan Weber (1947:150). Weber memandang birokrasi sebagai sebuah organisasi yang hierarkhis, di mana PNS berkewajiban melaksanakan tugas yang berkaitan dengan urusan-urusan publik. Sebagai sebuah lembaga, birokrasi juga melaksanakan fungsi dan kewajiban pemerintahan. Idealnya, dalam suatu negara demokrasi, PNS memfokuskan tugasnya pada masalah pelayanan kepada masyarakat (Gladden, 1956:17-18).

Bagi Weber, birokrasi modern dan rasional dipandang sebagai bentuk yang paling efisien ketimbang administrasi patrimonial. Ini karena birokrasi modern dianggap sebagai suatu lembaga yang aktivitasnya terukur dan dapat diprediksi. Ini yang membedakannya dengan sistem administrasi patrimonial yang tidak mempertimbangkan gagasan tentang profesionalisme.

Namun, pemikiran Weber tersebut dipandang kurang partisipatif. Menurut Osborne dan Gaebler (1995), birokrasi perlu memerhatikan kerja tim dan kontrol rekan kerja dan bukan semata didominasi atau dikontrol atasan. Menurut mereka, paradigma baru birokrasi setidaknya memiliki ciri-ciri berikut: mengarahkan, memberdayakan, dan menciptakan persaingan dalam pelayanan publik.

Model birokrasi entrepreneur tersebut memerlukan sinergi antara pemerintah dan birokrasi. Keduanya perlu memosisikan diri sebagai pengarah dan bukan sebagai pengurus semua bidang kehidupan. Oleh karena itu, ke depan perlu membangun birokrasi yang dapat mendukung secara luas terciptanya ruang partisipasi publik, pemberdayaan, dan peningkatan kreativitas masyarakat.

Selain itu, penting pula bagi birokrasi untuk merekrut SDM dari luar guna memperkuat institusi dan transformasi birokrasi entrepreneur. Birokrasi yang kompetitif mengisyaratkan pentingnya membangun semangat kompetisi di dalam dan antarbirokrasi. Sebagai contoh, kehadiran Telkom, Indosat, dan perusahaan telekomunikasi lainnya, bisa menimbulkan persaingan yang sehat, menghindari terjadinya kelangkaan barang, dan memberikan harga terbaik bagi konsumen.

Masalahnya, sekarang ini adalah bagaimana membangun semangat kepeloporan dan mengurangi 'budaya petunjuk'. Setiap birokrat perlu membiasakan diri mencari cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan publik, inisiatif, antisipatif dan proaktif, tangkas membaca kebutuhan publik, memandang semua orang sederajat di depan hukum, serta menghargai prinsip kesederajatan. Kentalnya budaya petunjuk, misalnya, telah membuat lambannya pelayanan publik di negeri ini.

Bila perbaikan kinerja birokrasi dipandang sebagai hal yang signifikan dan lebih menjanjikan, maka reformasi birokrasi adalah suatu hal yang niscaya dan saatnya menjadi gerakan nasional. Perombakan kabinet jangan sampai hanya menjadi komoditas politik, dan upaya mengalihkan perhatian masyarakat. Reshuffle kali ini juga diharapkan dapat menjadi awal yang positif dan riil bagi gerakan reformasi birokrasi secara nasional dan memberikan dampak signifikan terhadap kebangkitan Indonesia di segala bidang.

  • Pendorong utama reshuffle adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.
  • Karena itu, reshuffle semestinya tidak hanya dilakukan untuk menghadirkan 'orang baru' tapi juga harus diikuti peningkatan kinerja.
  • Saat ini, kinerja birokrasi masih kurang berorientasi pada profesionalisme. - Kinerja birokrasi masih kolutif, koruptif, dan bergaya patrimonial.

Rabu, 18 April 2007

Quo Vadis IPDN?

171040

R Siti Zuhro

Peneliti The Habibie Center Jakarta


Kematian Cliff Muntu, mahasiswa IPDN, pada 3 April 2007, merupakan bukti konkret bahwa IPDN melakukan praktik kekerasan dan tindak kriminal. Sejauh ini tercatat lebih dari 30 praja IPDN meninggal.

Kasus itu menyulut pro-kontra dalam masyarakat. Ada yang ingin agar sistem pendidikan di IPDN dirombak total dan ada desakan agar IPDN dibubarkan saja.

Kelompok pertama menilai, IPDN patut dipertahankan namun sistem yang selama ini diterapkan harus dirombak total, termasuk sistem rekrutmen dan kurikulumnya. Dengan kata lain, sistem di IPDN perlu diformat ulang, termasuk apakah harus tetap nyantol ke Depdagri atau menjadi lembaga pendidikan pencetak pamong praja yang independen.

Tuntutan bagi kelompok kedua bukan tanpa alasan. Tak sedikit kalangan yang menilai IPDN sarat dengan warisan masa lalu. Budaya kekerasan telah menodai sistem pendidikan yang diterapkan. Praja dibekali budaya kekerasan dan budaya kekuasaan yang sama sekali tidak penting dan tidak relevan dengan tujuan pendidikan di IPDN.

Layaknya sebuah lembaga pendidikan, mestinya IPDN mampu menghasilkan lulusan yang berdedikasi tinggi dan siap mengabdi kepada negara dan masyarakat. Penerapan sistem pendidikan yang salah selama ini berpengaruh negatif terhadap kualitas pamong praja yang diharapkan menjadi garda depan pelayanan publik dan pelaksana pembangunan Indonesia. Meskipun hasil lulusan IPDN bukan satu-satunya yang menyebabkan buruknya kinerja birokrasi Indonesia, setidaknya kualitas lulusan yang masih jauh dari harapan juga ikut memperburuk kondisi birokrasi kita.

Fenomena di IPDN menunjukkan bahwa budaya kekerasan dan budaya kekuasaan harus diakhiri. Sistem di IPDN harus dikembalikan ke esensi pendidikan yang benar, yang mendidik dan membekali praja supaya menjadi pamong praja yang baik. Payung hukum juga diperlukan agar keberadaan IPDN tidak melanggar UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Akan lebih baik lagi bila IPDN dan pendidikan kedinasan di luar militer dan polisi ditata ulang berdasarkan UU Sisdiknas.

Solusi atas kasus IPDN tidak cukup hanya dengan ditundanya penerimaan praja baru untuk tahun ajaran 2007/2008, penonaktifan Rektor IPDN I Nyoman Sumaryadi, dan pembentukan Tim Evaluasi IPDN yang diketuai Ryaas Rasyid. Adalah penting dipikirkan dan dipertimbangkan secara jernih dan serius, apakah IPDN layak diteruskan, baik ditinjau secara substansial maupun secara finansial.

Beban anggaran yang harus ditanggung APBN (juga APBD) sungguh tidak kecil. Ini mengisyaratkan bahwa Indonesia mestinya lebih memfokuskan upaya keluar dari kemiskinan ketimbang mendanai IPDN yang tidak memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan nasib bangsa.***