Selasa, 20 Maret 2007

Cagub DKI Jakarta: Committed to You?

168948

R Siti Zuhro

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


"Menjengkelkan!" Itulah yang terasa ketika mengurus izin mendirikan bangunan (IMB) di sebuah kecamatan di Jakarta Selatan, baru-baru ini. Tak jelas di mana letak standar mutu layanan ISO 2000 yang pernah disandangnya! Ketika berhadapan dengan birokrasi, tiba-tiba kita seolah berada di pasar gelap. Tak ada standar waktu dan transparansi soal biaya yang jelas. Pertanyaan pun mencuat, "Ini kantor makelar atau pemerintah?"

Gubernur Sutiyoso bukannya tidak berupaya memperbaiki kinerja birokratnya. Dengan tunjangan khusus, mestinya tak ada alasan lagi untuk berkilah. Kini gaji guru SD DKI Jakarta telah melebihi gaji profesor Universitas Indonesia (UI). Ini jelas merupakan pekerjaan rumah (PR) dan sekaligus tantangan bagi calon gubernur (cagub) DKI yang bertarung dalam arena pilkada, Agustus 2007. Siapa pun yang menjadi cagub, dia harus mampu menghapus potret hitam birokrasi.

Dalam iklim politik yang demokratis, rasionalitas politik pemilih tak lagi dapat digantungkan pada sentimen suku, aliran, ras, agama (SARA), dan kekuasaan, tetapi lebih pada ekonomi. Karena itu, masalah "politik" perlu didekati dengan perspektif public choice, dan bukan budaya atau kekuasaan.

Dalam perspektif public choice, politik merupakan sebuah contractual agreement yang bersifat sukarela antara politisi (suppliers) dan pemilih (demanders). Meskipun unsur kekuasaan tetap melekat, politik lebih dilihat dalam terminologi paradigma pertukaran yang di dalamnya tak ada unsur paksaan atau dominasi kekuasaan.

Sebagai pengemban amanat rakyat, sukses-tidaknya sebuah pemerintahan amat ditentukan oleh kemampuannya mewujudkan pelayanan birokrasi yang baik. Pelayanan birokrasi yang tidak profesional selama ini telah mengakibatkan rendahnya kualitas hidup masyarakat. Berbagai persoalan akut di Jakarta, mulai dari banjir, harga beras, transportasi, sampai masalah pedagang kakilima tak bisa dilepaskan dari kualitas kinerja birokrasi.

Dalam konteks lebih luas, birokrasi Indonesia yang tidak probisnis telah memperlemah daya saing ekonomi Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekitar 5%. Salah satu masalahnya karena proses perizinan usaha berbelit-belit, lama, dan mahal. Menurut Survei Doing Bussiness 2006, pengurusan izin usaha di Indonesia membutuhkan 97 hari. Sementara di Malaysia hanya 30 hari, dan Vietnam 50 hari.

Contoh kecil pengalaman mengurus IMB menunjukkan bahwa kinerja birokrasi publik di Jakarta belum committed to public. Dalam Pilkada DKI Jakarta nanti, rakyat sangat berharap pada cagub yang -- seperti PT Telkom -- berkomitmen mewujudkan motto birokrasi: committed to you.

Menggelikan, di era reformasi sekarang ini ada cagub yang masih bermimpi menjadi "tuan", dan bukan "abdi" masyarakat. Untuk menjadi pemimpin, good will saja tak cukup, tapi perlu integritas dan political commitment.***