Senin, 22 Mei 2006

Syariat Islam, dari Desa Mengepung Kota

LAPORAN KHUSUS
Oleh
Fransisca Ria Susanti

Pengantar Redaksi:
Penerapan peraturan daerah (perda) di sejumlah daerah yang mengacu pada hukum Islam memicu kontroversi. Kalangan perempuan kerapkali menjadi korban. Kebijakan otonomi daerah pun dipersoalkan. Liputan khusus kali ini menyoroti hal terkait, termasuk wawancara dengan Direktur International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) Syafii Anwar.


JAKARTA –- Minggu (21/5), jalanan Jakarta dipenuhi warna putih. Ribuan orang dengan umbul-umbul dan spanduk serta busana putih melakukan prosesi dari bunderan Hotel Indonesia (HI) menuju gedung DPR/MPR. Mereka mendesak DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang telah memicu kontroversi akhir-akhir ini.
Dipelopori Majelis Ulama Indonesia (MUI), ribuan orang ini tergabung dalam sejumlah organisasi masyarakat dan komunitas keagamaan, termasuk Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir, Forum Betawi Rembug (FBR), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan berbagai komunitas majelis taklim.
Ketua MUI, KH. Ma’ruf Amien dalam kesempatan tersebut mendesakkan sejumlah tuntutan kepada DPR. Dua di antaranya adalah pemberian sanksi tegas kepada pelaku pornografi dan pornoaksi serta adanya lembaga khusus yang menjamin RUU tersebut berlaku.
Aksi hari Minggu itu, seperti menjadi puncak dari seluruh rentetan “perjuangan” pelaksanaan syariat Islam di Indonesia. Ada pertunjukan kepada publik yang plural bahwa mayoritas penghuni republik ini membutuhkan aturan yang lebih khusus. Permintaan untuk kekhususan semacam ini sebenarnya mulai bergaung sejak penerapan otonomi daerah pada tahun 1999.
Pengamat otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, otonomi memberi semacam keleluasaan kepada daerah untuk membuat kebijakan publik sesuai dengan kepentingan daerahnya masing-masing.
Kebijakan top down yang berlaku di era Orde Baru mulai ditiadakan. “Ketika keleluasaan itu diberikan, mulai muncul keinginan daerah untuk menampilkan kekhasannya,” ungkapnya.
Dalam upaya memunculkan kekhasan daerah inilah, sejumlah wilayah mulai memunculkan perda bernuansa syariat, baik itu namanya Perda antipelacuran, antiperjudian, antimaksiat, busana muslim ataupun tentang wajib baca Al-Quran.
Perda semacam ini tak hanya muncul di tingkat provinsi, tapi juga kabupaten, bahkan desa. Desa Padang yang berada di Kecamatan Gantarang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, misalnya, telah mengeluarkan Peraturan Desa No 5 Tahun 2006 tentang Hukuman Cambuk. Hukuman ini diberikan kepada penzina, penjudi dan pemabuk.
Di daerah pemerintahan tingkat dua, sejumlah kabupaten dan kota yang bisa disebut telah mengeluarkan perda sejenis, antara lain Tangerang, Padang Pariaman, Kota Padang, Serang, Pandeglang, Cianjur, Pamekasan, Jember, Tasikmalaya, Kota Batam, Depok, dan Indramayu. Sementara di tingkatan provinsi, ada Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Barat, Riau, Gorontalo, DKI Jakarta dan Banten.
Ironisnya, kelahiran sejumlah perda syariat ini memunculkan keresahan di masyarakat. Banyak kisah salah tangkap yang muncul di berbagai wilayah akibat penerapan perda ini. Posisi perempuan pun, yang katanya akan “diselamatkan” dengan keberadaan perda ini justru semakin marginal.
Ketua Umum Fatayat NU Maria Ulfa Anshor secara tegas bahkan menyebut penerapan perda”syariat” ini merupakan kriminalisasi terhadap perempuan. “Hampir semua peraturan tersebut menjadikan perempuan sebagai objek,” ungkapnya.
Maria Ulfa menyebut, zaman jahiliah –sebelum Islam lahir- perempuan berada dalam posisi yang sangat tertekan dan tidak dihargai.Kondisi ini kemudian coba diatasi dengan munculnya Nabi Muhammad SAW yang memperkenalkan nilai-nilai keadilan dan kebersamaan, sesuatu yang diperjuangkan oleh Islam. Misi keadilan Islam ini termasuk membebaskan kondisi ketertekanan perempuan.

Politisasi Agama


Maria Ulfa juga melihat perda “syariat” ini sebagai upaya politisasi agama. Penerapan perda seolah-olah merujuk pada ajaran Islam. Padahal, ini murni masalah politisasi agama. “Indonesia kan bukan negara agama, sehingga kelompok mayoritas tetap tak bisa memaksakan kehendaknya,” katanya.
Sementara cendekiawan muslim, Yudi Latief, melihat penerapan perda “syariat” ini merupakan sindrom Victorian. Sejumlah besar birokrat dan pemimpin negeri ini mencoba memoles kepemimpinan mereka dengan berbagai peraturan dengan menyeret dalil-dalil agama. Padahal aturan yang berbalut dengan nilai-nilai agama tersebut tidak lebih dari sekadar cadar untuk menutupi buruknya kepemimpinan dan ketidakmampuan pemerintah mengatasi masalah-masalah nyata yang dihadapi warganya.
Ia yakin, upaya simbolik beberapa daerah membuat perda “syariat” dapat menjadi bumerang waktu jika pemerintah daerah setempat tidak mampu menjawab permasalahan nyata warganya.
“Ada titik jenuhnya. Ini boomerang efect jika perda- perda tersebut nantinya tidak membantu masyarakat keluar dari krisis,” katanya.
Menurutnya, komunitas agama seharusnya bergerak lebih maju dari sekadar formalitas dan bermain-main di tataran simbolik. Agama, menurutnya, harusnya hanya berkutat di dalam wilayah etik dan prinsip.
Uniknya, permainan di tataran formalitas ini tak hanya dilakukan komunitas Islam, tapi juga Nasrani. Di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan muncul perda serupa. Pemerintah kabupaten setempat mengeluarkan Perda No 10/2003 yang mengatur masalah ketertiban umum, seperti minuman keras, prostitusi dan judi. Ancaman hukuman terhadap tindak pidana tersebut maksimal enam bulan kurungan dan denda Rp 3 juta. Sedangkan, pihak yang berwenang untuk melakukan penangkapan dan penyidikan adalah polisi pamong praja.
Menurut Kepala Sub Bagian Pembinaan dan Pengendalian Perundang-undangan Kabupaten Alor, Melkson Beri, pihaknya sudah melakukan public hearing dan sosialisasi sebelum perda tersebut disahkan.
Hanya saja, berbeda dengan beberapa daerah yang telah menerapkan perda berdasarkan Syariat, perda di Alor tersebut tidak dapat dijalankan secara maksimal. Pasalnya, keberadaan perda tersebut berbenturan dengan tradisi masyarakat setempat yang menjadikan minuman keras sebagai sebuah minuman kehormatan dalam sebuah pesta. Begitu juga dengan perda yang mengatur soal prostitusi. Namun efektif atau tidaknya perda kesusilaan tersebut, implementasinya cukup meresahkan masyarakat dan telah menyeret-nyeret agama ke ranah politik.

Kaji Ulang


Kontroversi perda “syariat” ini telah membuat sejumlah kalangan mendesak pemerintah –dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri- untuk mengevalusi keberadaan perda-perda tersebut.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG) Ferry Mursyidan Baldan mengatakan, keberadaan perda-perda ini bertentangan dengan UU di atasnya. Menurutnya, UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sama sekali tidak mendelegasikan masalah hukum ke daerah. Perda dalam UU Pemda itu hanya untuk penyelenggaraan pemerintahan. “UU Pemda memang memberikan keleluasaan, tapi tidak seleluasa itu. Ini kalau dibiarkan akan menimbulkan keresahan,” katanya. Dia mengatakan, pemerintah dapat mengkaji dengan menggunakan dua cara, yakni membentuk tim khusus maupun memanggil kepala daerah yang telah melaksanakan perda itu. Pembentukan tim dilakukan untuk membuat petunjuk tentang batas-batas pembuatan perda. Pilihan kedua dilakukan supaya para kepala daerah mengerti kesalahannya. Tujuannya untuk kebersediaan merevisi perda itu.
Dia menambahkan, daerah yang berhak menerapkan syariat Islam hanya Aceh. Pasalnya, penerapan Syariat di daerah tersebut secara tegas diatur melalui UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pengaturan ini nantinya juga akan diakomodasi dalam UU Pemerintahan Aceh (PA)
yang saat ini dibahas DPR.
Siti Zuhro juga menilai bahwa Aceh memiliki kekhususan, sementara daerah lain tidak. Untuk itu, dia berharap pemerintah melakukan intervensi terhadap munculnya perda-perda “syariat” tersebut. Selama dini, menurutnya, Depdagri hanya sibuk mengurus perda yang dianggap mengancam kepentingan pusat, misalnya soal retribusi dan Penerimaan Anggaran Daerah. Padahal, menurutnya, perda “syariat” juga tergolong perda bermasalah karena telah menimbulkan keresahan di masyarakat.
Namun Siti Zuhro menekankan bahwa DPRD bertanggung jawab terhadap evaluasi dari sejumlah perda yang akan disahkan. Jika tidak bisa diselesaikan di tingkat kabupaten dan provinsi maka pemerintah pusat harus campur tangan. Ia juga mengusulkan ada pertemuan besar antara gubernur dan seluruh jajaran bupati di bawahnya untuk membahas sejumlah perda bermasalah. Jika hal-hal ini tidak dilakukan, dikhawatirkan akan memecah belah bangsa. Depdagri sendiri hingga saat ini mengaku sedang melakukan evaluasi terhadap sejumlah perda bermasalah. Apakah perda “syariat” termasuk bagian yang dievaluasi, jawabannya tak jelas. Pejabat di Depdagri mengaku bahwa pihaknya sedang melakukan evaluasi terhadap perda-perda syariat tersebut, sementara Menteri Dalam Negeri (Mendagri) M. Ma’ruf menjawab belum ada evaluasi.
(emmy kuswandari/tutut herlina)